Sabtu, 25 Desember 2010

Orang AS Kaget Setelah Mengenal Islam

LAMONGAN, KOMPAS.com - Elaine Robinson, seorang guru dari Lewis and Clark Middle School, Tuska, Oklahoma, AS menyatakan prihatin kenapa selama ini terjadi prejudice (prasangka buruk) terhadap Islam di masyarakat barat. Padahal yang didapatkannya ketika mengikuti Program Kerjasama Lembaga Pendidikan Darul Ulum Medali, Sugio, Kabupaten Lamongan dengan East West Center Hawaii, Amerika Serikat, dia mendapatkan kesan tentang Islam jauh dari segala prasangka buruk.

Sejak 28 Juli hingga 3 Agustus tiga warga Amerika Serikat yakni Elaine Robinson, Grace Chao, keduanya guru dari Charter School, Hilo, Hawaii dan Namji Steinemann, Direktur Asia Pacific Ed, East West Center, mengamati secara langsung kehidupan di pesantren.

"Saya sedikit sekali mengenal Indonesia dan sedikit sekali mengenal Islam. Murid-murid saya ketika saya tanya tentang Indonesia ada di mana, mereka tidak tahu. Banyak kesalahpahaman sehingga terjadi prejudice dari masyarakat barat terhadap Islam," kata Elaine.

Sementara ketika dirinya dan dua rekannya ke Pesantren Darul Ulum, melihat ketulusan dan senyum ramah dari semua santri. "Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika hidup di tengah anak-anak yang bisa menerima mereka apa adanya meskipun mereka beragama Kristen, berkulit putih, atau berwajah China. Senyum lebar yang tulus terlihat betul, bukan senyum penuh kebencian," tambahnya.

Elaine menyatakan dia merasa aman saat berada di pesantren dan tidak ada yang perlu ditakutkan dan tidak ada yang rahasia. "Jadi saya heran mengapa Islam sering disudutkan atau dianggap buruk. Maka saat kembali ke Amerika saya akan ceritakan semua yang ada di sini, sehingga mereka lebih paham tentang Indonesia dan Islam. Siswa-siswa sekarang adalah pemimpin di masa mendatang, kalau mereka bisa saling menghormati dan mengerti, maka dunia ini akan menjadi lebih damai dan lebih baik," katanya.

Grace yang keturunan China menyatakan terkesan dengan kehidupan santri di Ponpes Darul Ulum Medali Sugio yang begitu sederhana. Dia heran mengapa mereka begitu senang dan ceria padahal tinggal di asrama yang sempit dengan kamar kecil hanya untuk menyimpan pakaian dan buku.

"Santri tidur tanpa tikar, makanan sederhana, belajar agama di lantai tanpa meja dan kursi. Siswa-siswa di Amerika harus tahu ini dan harusnya mereka bersyukur terhadap apa yang telah dipunyai sekarang," tutur Grace.

Grace setelah berinteraksi selama seminggu dengan santri menyatakan kalau para santri akan bisa lebih bertahan hidup dari pada yang bukan santri. Para santri sejak dini telah diajari bagaimana menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya.

Menurut Grace siswa di luar santri hanya meminta dan meminta saja tanpa tahu apa yang dilakukan saat ada bencana atau saat dunia ini dilanda krisis energi dan air bersih. "Untuk itulah saya sangat bersyukur bisa melihat pesantren ini," paparnya.

Wakil Ketua Yayasan Ponpes Sunan Drajat Medali Sugio, R Chusnu Yuli Setyo menuturkan selanjutnya pada tahun 2011 akan ada program pertukaran guru dan siswa ke Amerika yang diatur oleh East West Centre. Dua orang guru tersebut juga diajak ke SMPN 1 dan SMPN 4 Lamongan sehingga memungkinkan guru dan siswa di Lamongan mendapatkan beasiswa itu.



sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/04/20240861/Orang.AS.Kaget.Setelah.Mengenal.Islam

PENDIDIKAN ISLAM

Bicara Sejarah, Jangan Lupakan Pesantren


Pondok pesantren yang merupakan sarana pendidikan agama Islam dinilai turut mengambil bagian penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pesantren, yang hanya dimiliki Indonesia itu, berperan membangun sensitifitas kebangsaan pada masa penjajahan.
Sejarahnya, Belanda cukup direpotkan dengan pesantren.
-- Mamat S Burhanuddin

"Pesantren ini menjadi tonggak. Sejarahnya, Belanda cukup direpotkan dengan pesantren," ujar Sekretaris Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Mamat. S Burhanuddin dalam diskusi Rekfleksi Akhir Tahun Islamic College, Jakarta, Jumat (24/12/2010).

Mamat mengatakan, pondok pesantren membangun sensitifitas kebangsaan yang membuat pribumi merasa berbeda dari kompeni. Salah satu caranya dengan mengeluarkan fatwa yang melarang santri-nya mengenakan pakaian ala Belanda.

"Haram pakai baju orang belanda, kemeja, dasi, yang menyerupai suatu kaum itu bagian dari kaum itu. Tapi sayangnya fatwa itu tidak segera dianulir. Sampai sekarang masih ada yang selalu pakai sarung," tuturnya.

Hanya saja, kata Mamat, saat ini pesantren tidak lagi dipandang demikian baik. Berdasarkan hasil penelitian di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, lanjutnya, pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya seperti madrasah, didiskreditkan sebagai sarang teroris. Media-media luar pun menyamakan pesantren di Indonesia dengan pusat pendidikan Islam di Timur Tengah.

"Padahal sangat jauh berbeda," pungkasnya.

Selain itu, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah ini melanjutkan, Nahdlatul Ulama (NU) sangat prihatin dengan indikasi keberadaan kelompok-kelompok yang berusahan mencari identitas bangsa lain yang kabur dari identitas bangsa. Padahal, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu hal yang final.

"Tinggal bangsa Indonesia perlu mengisi identitas kebangsaannya ini, yang selama ini seringkali dicoba, digoyang, dikeroposi," katanya.

Identitas kebangsaan Indonesia, lanjut Mamat, seringkali digerogoti oleh indentitas lain seperti primodialisme keagamaan atau kedaerahan. Hal tersebut, lanjut Mamat, cukup berbahaya bagi bangsa. Oleh karenanya, peran para ulama dibutuhkan dalam mengisi identitas kebangsaan Indonesia.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/24/21280299/Bicara.Sejarah..Jangan.Lupakan.Pesantren

Senin, 13 Desember 2010

KUALITAS PENDIDIK

Profesionalisme Guru Diprioritaskan


Jakarta, Kompas - Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan, dengan adanya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan yang baru dibentuk di bawah Kemendiknas, pengembangan profesi berkelanjutan guru akan dijamin. Selain itu, juga dijamin perlindungan kepada guru.

”Badan ini juga akan mengevaluasi apakah delapan standar pendidikan nasional itu sudah terpenuhi,” katanya di Jakarta, Jumat (3/12). Dia mengatakan, badan ini akan memperbaiki berbagai program peningkatan profesionalisme guru. Penilaian portofolio untuk sertifikasi juga diperketat.

”Kesejahteraan guru bisa dikatakan semakin membaik meski belum merata. Di satu sisi itu penting. Tetapi, kunci untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan, kan, datang dari guru profesional. Ini yang belum banyak disentuh,” kata Nuh.

Adapun pendidikan profesi guru (PPG) yang harus dijalani calon guru setelah lulus D-4/S-1 dari perguruan tinggi harus mulai tahun 2011—dimulai dengan 300.000 guru yang sudah ada.

Rukmana, Kepala SMPN 2 Pakisjaya, Karawang, mengatakan, pelatihan untuk pengembangan kapasitas guru agar mampu mengembangkan metode pembelajaran yang memacu siswa menjadi kritis, kreatif, aktif, dan inovatif sangat terbatas. ”Pelatihan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Guru sangat butuh diajar bagaimana memotivasi diri sehingga selalu bergairah bekerja,” katanya.

Rosmini Lede, guru SD Alkhairaat di Poso, Sulawesi Tengah, mengatakan, ”Biasanya yang dapat pelatihan yang punya kedekatan dengan dinas. Jadi, orangnya, ya, itu-itu saja.” Sumarno, seorang guru swasta di Tangerang, menyampaikan, ”Terutama guru swasta, kesempatan dipilih ke berbagai pelatihan minim. Padahal, itu investasi mendidik guru sehingga kinerjanya baik, kan, dimanfaatkan anak-anak bangsa juga.”

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/06/02584933/.Profesionalisme.Guru.Diprioritaskan

ORGANISASI GURU

Dibutuhkan, Organisasi Guru yang Kuat!

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak akan pernah ada reformasi pendidikan yang fundamental di Indonesia selama tidak ada organisasi guru yang kuat, independen, dan konsisten dalam memperjuangkan kemashalatan pendidikan nasional. Pendobrak sistem pendidikan harus bermula dari guru.
Organisasi guru di negeri Paman Sam memiliki peran yang sangat kuat dalam reformasi pendidikan.
-- Teten Masduki

Demikian diungkapkan Teten Masduki dalam dskusi Pentingnya Perlindungan Hukum bagi Guru yang diselenggarakan Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) di Komnas HAM, Sabtu (11/12/2010). Karena menurutnya, dalam sejarah reformasi pendidikan di Amerika Serikat (AS) yang dimulai di Chicago, pendobrak perbaikan sistem pendidikan justeru dimotori oleh para guru yang tergabung dalam organisasi guru.

"Para guru kemudian bersinergi dengan para orangtua murid yang kemudian membuahkan perubahan positif dalam kebijakan pendidikan. Isu yang diangkat dalam reformasi tersebut adalah kualitas pendidikan bagi seluruh anak AS. Isu ini sangat ampuh sehingga menjadi tonggak reformasi sistem pendidikan di AS. Jadi, organisasi guru di negeri Paman Sam tersebut memiliki peran yang sangat kuat dalam reformasi pendidikan,” jelas Teten.

Oleh karena, kata Teten, FMGJ diharapkan bisa menjadi salah satu organisasi guru yang lahir dari perjuangan melawan diskriminasi dengan beranggotakan guru-guru yang kritis dapat menjadi pendobrak sekaligus “agen perubah” dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) adalah organisasi guru yang didirikan di Jakarta pada 16 Maret 2010. Terbentuknya forum guru ini sebagai respon atas kebijakan diskriminatif pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam hal Tujangan Kinerja Daerah (TKD) guru yang besarnya dibedakan dengan PNS DKI Jakarta yang bukan guru. Para guru yang tergabung dalam FMGJ tersebut kemudian menggandeng LBH Jakarta, ICW dan Koalisi Pendidikan dalam upaya membantu advokasi perjuangannya mengkritisi SK Gubenur No 215 tahun 2009 jo. No 41 tahun 2010 tentang TKD.

"Selanjutnya forum ini terus melakukan kritisi kebijakan maupun sistem pendidikan mulai dari masalah PPDB online, pemutasian guru secara sewenang-wenang, korupsi dalam pendidikan, Ujian Nasional (UN) yang kontraversial dan lain-lain,” jelas ketua FMGJ, Retno Listyarti.

Retno mengatakan, tumpulnya organisasi guru selama ini di Indonesia karena kondisi politik yang mengukung guru dalam upaya memperjuangkan kepentingannya dan kepentingan anak didik. Dalam perjuangannnya para guru kerap mengalami intimidasi dan ancaman dari birokrasi pendidikan.

“LBH Jakarta sudah melakukan pendampingan selama bertahun-tahun terhadap para guru yang mengalami berbagai intimidasi dan perlakuan ketidakadilan oleh pihak yayasan pendidikan maupun oleh birokrasi pendidikan. Namun, pendampingan tersebut kerap kali kurang berhasil karena ternyata guru secara peraturan perundangan tidaklah masuk kategori pekerja dan para guru sendiri juga enggan dikategorikan pekerja karena terkesan disamakan dengan buruh”, kata Nurcholis Hidayat, Direktur LBH Jakarta.

Lebih lanjut, Nurcholis menyatakan harapan yang sama dengan Teten. Ia mengatakan, FMGJ harus menjadi organisasi guru yang berbeda dari yang sudah ada, yaitu organisasi yang bervisi "perlawanan" dan LBH Jakarta akan membantu mendukungnya secara hukum.

Untuk itu, Deklarasi FMGJ dilaksanakan bertepatan dengan peringatan “Hari HAM Sedunia, yang jatuh pada 10 Desember. Momen tersebut digunakan sebagai waktu yang tepat untuk mendeklarasikan berdirinya organisasi guru yang profesional, independen, merdeka, berani menuntut keadilan, berani mengemukakan pendapat, dan bersedia memperjuangkan kemashalatan pendidikan.

Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal, Nurcholis menyatakan jaminan Komnas HAM untuk melindungi Kebebasan berserikat, berekspresi, berpendapat dan hak atas kesejahteraan yang layak bagi para guru.

“Mustahil bicara kualitas pendidikan nasional, jika pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan guru," ujar Nurcholis

sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/13/15034417/Dibutuhkan..Organisasi.Guru.yang.Kuat.

Senin, 06 Desember 2010

MUTU PENDIDIK

Dibentuk, Badan untuk Tingkatkan Profesionalisme Guru
Jumat, 3 Desember 2010 | 04:41 WIB



Jakarta, Kompas - Pemerintah membentuk badan baru di Kementerian Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu guru. Badan baru yang dipimpin pejabat setingkat eselon satu itu dinamakan Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal itu pada puncak peringatan Hari Guru Nasional 2010 dan HUT ke-65 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Kamis (2/12) malam.



Presiden menjelaskan, badan tersebut khusus untuk menangani peningkatan profesionalisme, perlindungan, serta menjamin kesejahteraan guru. ”Guru akan dilayani lebih baik untuk lebih meningkatkan mutu dan profesionalismenya,” kata Presiden.



Sebagai informasi, para guru yang tergabung dalam PGRI memprotes rencana pemerintah melikuidasi Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) di Kemendiknas menjadi setara direktorat. Bahkan, PGRI pernah menggelar aksi secara nasional yang akhirnya direspons pemerintah lewat pembentukan badan baru tersebut.



Presiden juga berpesan agar Menteri Pendidikan Nasional serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menuntaskan pengangkatan guru bantu menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) sesuai tahapan.

Pendidikan holistik



Dalam perayaan Hari Guru Nasional itu, Presiden meminta guru menyesuaikan metodologi pembelajaran dengan perkembangan abad XXI yang merupakan abad pengetahuan. ”Paradigma pendidikan semakin kompleks dan beragam. Untuk itu, guru harus lebih mengutamakan proses pendidikan untuk menjadikan siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat dan pendidikan holistik,” ujarnya.



Presiden menegaskan, guru memiliki tugas untuk mengembangkan dimensi keimanan, keilmuan, keterampilan, dan kepribadian siswa. Untuk itu, guru mesti berpegang pada panggilan tugasnya sebagai pendidik. Adapun guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan harus meningkatkan kinerjanya.



Hadir dalam perayaan tersebut, antara lain, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II serta pimpinan MPR/DPR dan DPD. Juga hadir penerima penghargaan Satyalancana Pembangunan di bidang pendidikan yang terdiri dari dua gubernur, tujuh bupati/wali kota, empat guru, empat kepala sekolah, serta dua pengawas yang berprestasi dan berdedikasi luar biasa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.



Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, mulai 2011 akan dilaksanakan pendidikan profesi guru (PPG). Guru layaknya seperti dokter yang harus menjalankan pendidikan profesi dokter.

”Guru harus profesional. Namun, kesejahteraan dan martabatnya tetap harus diperhatikan,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mengatakan, upaya pemerintah meningkatkan profesionalisme guru mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Namun, pemerintah diminta untuk terus konsisten melindungi guru, membuat desain pelatihan guru mulai dari perekrutan, penempatan, pembinaan karier, hingga remunerasi yang terintegrasi. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk segera membuat peraturan tentang perlindungan dan standar upah guru tidak tetap


sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/03/04415347/Dibentuk..Badan.untuk.Tingkatkan.Profesionalisme.Guru

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi

DELISERDANG, KOMPAS.com - Wakil ketua Komisi D DPRD Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Syarifuddin Rosha mengatakan, kinerja dan kualitas mengajar para guru yang sudah bersertifikasi di daerah itu perlu dievaluasi secara periodik.

"Melalui program evaluasi secara periodik akan diketahui sejauh mana kinerja masing-masing guru pemegang sertifikasi melaksanakan tugas dan pengabdian dalam upaya mencerdaskan para siswa," katanya di Lubuk Pakam, Minggu.

Guru adalah pendidik profesional, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No.14/2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Mengacu pada aturan dan perundang-undangan tersebut, lanjut dia, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan antara lain untuk menentukan kelayakan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional.

Tujuan lainnya yakni meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, meningkatkan kesejahteraan guru, meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Dia mengatakan, pemberian sertifikasi guru harus diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik.

Tunjangan tersebut berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil atau guru yang mengajar di sekolah swasta.

Syarifuddin menegaskan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk tunjangan para guru pemegang sertifikasi dari tahun ke tahun terus meningkat.

Di Kabupaten Deli Serdang, misalnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat untuk tahun 2010 mengalokasikan anggaran pembangunan pendidikan lebih 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp1,6 triliun lebih.

Alokasi anggaran pembangunan pendidikan relatif besar di Deli Serdang tersebut. Menurut politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) itu, patut dibarengi peningkatan perbaikan kualitas dan prestasi para murid.

Sejalan dengan hak yang diterima para guru tersebut, kata Syarifuddin, setiap guru pemegang sertifikasi wajib menunjukkan kinerja terbaik dalam menjalankan tugas dan pengabdian untuk mencerdaskan para peserta didik.




sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/05/03121837/Evaluasi.Kinerja.Guru.Bersertifikasi.

Jumat, 26 November 2010

Sertifikasi Guru Bukan Jaminan

Program sertifikasi guru dengan model portofolio yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 2006 lalu pada kenyataan tidak menjamin peningkatkan kualitas guru. Meski hasil penilaian portofolio dinyatakan lulus, namun tidak serta merta mampu meningkatkan kompetensi guru tersebut.

Hasil kajian yang dilakukan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski telah lulus sertifikasi, namun tetap tidak mampu mendongkrak kompetensi guru. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.

“Kenyataan itu menunjukkan bahwa program sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2006 itu tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Bahkan sekalipun guru telah menerima tunjangan profesi bukan berarti mereka telah memilkiki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang,” kata Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi.

Kondisi tersebut terjadi karena banyak faktor, utamanya guru mengikuti program sertifikasi berkaitan dengan masalah finansial. Saat guru yang masuk dalam kuota mengikuti program sertifikasi dinyatakan lulus, maka tunjangan profesi sebesar satu kali gaji akan diperoleh guru tersebut.

Fenomena tersebut terlihat sejak pemerintah pada tahun 2006 mulai menerapkan kebijakan sertifikasi guru, maka bersamaan dengan berlakunya kebijakan itu semakin banyak guru khususnya guru tingkat sekolah dasar (SD) yang beramai-ramai melanjutkan pendidikan demi meraih ijazah sarjana (S1) yang menjadi salah satu persyaratan untuk mengikuti program sertifikasi.

Efeknya banyak guru yang panik dan kemudian secara “sembarangan” mencari perguruan tinggi yang ada di daerahnya masing-masing agar bisa melanjutkan pendidikannya dan secara cepat bisa meraih gelar sarjana tanpa memperdulikan kualitas pendidikan sarjana yang diperolehnya.

Kalangan guru mengakui cara tersebut semata-mata agar bisa lolos tahapan untuk memenuhi pesyaratan seleksi sertifikasi guru dengan model portofolio.

“Kebanyakan dorongan utama untuk melanjutkan kuliah hanya untuk mengejar sertifikasi guru, bukan peningkatan kualitas guru. Dengan memegang ijasah S1, berarti guru sudah memenuhi syarat untuk ikut sertifikasi guru kalau lolos, maka akan ada penambahan gaji pokok 100 persen,” kata Ida Kastiargo, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Cipinang Jakarta Timur.

Terkait dengan peningkatan kualitas guru setelah menyandang gelar sarjana, ujar Ida hal itu masih perlu dipertanyakan sebab perguruan tinggi yang dipilih pun tidak jelas statusnya.

Dalam kondisi normal tanpa ada iming-iming penambahan tunjangan profesi melalui program sertifikasi, kualitas mengajar kebanyakan guru masih perlu dipertanyakan. Dari sekitar 2,6 juta guru hanya sebagian kecil saja yang sudah menyandang gelar S1 bidang yang relevan dengan latar belakang profesinya, bahkan sebanyak 1,2 juta di antaranya adalah guru sekolah dasar (SD) yang sebagian besar belum memiliki pendidikan sarjana (SI).

Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Nanang Fatah menyatakan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena kualifikasi dan kompetensinya tidak sesuai. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di negeri.

Kondisi rendahnya kualitas para guru pun tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi dan geografis yang heterogen kemudian memunculkan kisah ironis terkait program sertifikasi, seperti ruang kuliah yang setiap akhir pekan dipenuhi oleh para “orang tua” alias guru-guru senior, rata-rata guru tersebut bertugas di desa sehingga terpaksa harus mencari tumpangan sana sini serta banyak guru yang mengalami masalah konsentrasi saat kuliah berlangsung akibat terlalu banyak pikiran.

Tantangan

Hasil kajian Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski lolos sertifikasi, nilai kompetensi guru rata-rata di angka kisaran 52-64 persen. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.

Adapun kompetensi yang dinilai pada kajian itu, antara lain, kompetensi pedagogik yang terkait dengan kemampuan mengajar, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Rata-rata nilai untuk kompetensi pedagogik para guru yang lolos sertifikasi sebesar 54,33 persen, nilai kompetensi kepribadian 52,37 persen, kompetensi profesional 64,36 persen dan kompetensi sosial sebesar 53,92 persen.

Kajian tersebut menyatakan guru yang dinyatakan lulus sertifikasi melalui penilaian portofolio menunjukkan tidak meningkat kinerjanya. Bahkan, sebagian guru menunjukkan adanya penurunan kinerja.

Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga kependidikan(PMPTK) Depdiknas, Baedhowi mengakui kondisi tersebut sebagai tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah, yakni bagaimana meningkatkan nilai kompetensi guru-guru yang telah lolos sertifikasi.

Menurut Baedhowi sebenarnya hasil kajian tersebut merupakan kenyataan yang ada di lapangan. Dimana hampir 98 persen guru yang mengikuti sertifikasi dikarenakan alasan finansial.

Kenyataan ini menunjukkan proses sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru. Bahkan meski mereka telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti mereka telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, katanya.

Kondisi itu terlihat sangat wajar jika melihat latar belakang pendidikan guru. Baedhowi menyebutkan dari sekitar 2,6 juta guru pegawai negeri sipil (PNS), baru sekitar 40 persen yang memiliki kualifikasi pendidikan diploma 4 atau sarjana (S-1). Sedangkan sisanya sebanyak 60 persen memiliki kualifikasi di bawah D-4 atau S-1.

Sebanyak 60 persen dari 2.607.311 tenaga pendidik di Indonesia baik guru taman kanak-kanak (TK), pendidikan dasar dan menengah negeri maupun swasta belum memenuhi standar kualifikasi akademik.

“Dari 2.607.311 guru itu baru sekitar 1.043.000 (40 persen) yang telah menyelesaikan pendidikan diploma empat atau sarjana (S 1). Sedangkan sisanya yang berjumlah sekitar 1.564.311 orang (60 persen) belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat atau sarjana,” ujarnya.

Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk program beasiswa bagi para guru yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya hingga S-1. Namun, karena jumlah yang perlu dibantu sangat banyak, prosesnya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana pemerintah, tuturnya.

Guru yang sekarang ini belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat (D4) atau sarjana (S1) agar melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang terakreditasi.

“Bagi guru yang melanjutkan studi harus di perguruan tinggi yang telah terakreditasi, sebab kalau mereka itu asal melanjutkan, ijazahnya tidak akan diakui,” katanya.

Untuk pelaksanaan peningkatan standar kualifikasi akademik guru ini telah dilakukan kerja sama dengan 81 perguruan tinggi negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh tanah air.

“Silakan bagi para guru yang belum memiliki latar belakang pendidikan D4 atau S1 untuk ikut masuk program pendidikan tersebut di perguruan tinggi yang telah ditunjuk, agar tidak keliru di kemudian hari,” katanya.

Namun demikian, menurut Baedhowi terpenting yang harus dilakukan adalah mengubah mindset guru bahwa sertifikasi harus dilihat sebagai upaya untuk mengukur dan meningkatkan kompetensi mereka, tak semata-mata disikapi sebagai upaya memperoleh peningkatan kesejahteraan.

Oleh sebab itu, pihaknya akan terus mendorong para guru untuk meningkatkan kompetensi pasca sertifikasi. Kedua paradigma berpikir guru itu sebenarnya harus ditanamkan pada guru jauh sebelum proses sertifikasi agar tidak terjadi rekayasa yang tidak dibenarkan.

Realita kompetensi guru pascasertifikasi yang belum menunjukkan adanya peningkatan seperti yang diharapkan, seharusnya tidak dianggap sebagai masalah melainkan tantangan terutama bagi guru.

Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional dan kompeten pasca sertifikasi, ujarnya dilaksanakan melalui Program Peningkatan Profesionalisme Berkesinambungan (Continuous Professional Development/CPD).

Program tersebut telah diterapkan banyak negara maju dan berkembang, dan diyakini cukup efektif dalam memelihara dan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru.(*Zita Meirina/an/z)
http://matanews.com/2009/11/23/sertifikasi-guru-bukan-jaminan/
sumber

Kamis, 25 November 2010

Sekolah Partikelir Gugat UU Sisdiknas

JAKARTA, KOMPAS.com — Kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama lewat pendidikan dasar sembilan tahun bagi semua anak bangsa yang masuk dalam usia wajib belajar, dinilai diskriminatif.

Pasalnya, pemerintah tidak memberikan perlakuan yang setara dalam membiayai pelaksanaan pendidikan dasar di sekolah negeri dan partikelir atau swasta.



Padahal, sekitar 80-90 persen sekolah swasta membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan dasar yang berkualitas bagi anak-anak bangsa yang bersekolah di perguruan swasta.

Namun, pemerintah dan pemerintah daerah tidak memberikan kontribusi yang memadai dan tidak memberikan kepastian adanya bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata seperti yang didapat sekolah-sekolah negeri.



E Baskoro Poedjinoegroho dari Tim Advokasi Keadilan Pelayanan Pendidikan Dasar untuk Anak Bangsa di Jakarta, Senin (22/11/2010), menyatakan, sikap pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak merasa wajib memerhatikan sekolah swasta itu karena mengacu pada Pasal 55 Ayat 4 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Di ayat itu disebutkan, lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.



Kata dapat pada pasal tersebut, ujar Baskoro, bermakna jamak, yakni bisa memperoleh bantuan atau bisa tidak memperoleh bantuan. Padahal, dalam Pasal 31 UUD 1945 Pasal 2 disebutkan tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan dasar, termasuk yang diselenggarakan oleh masyarakat.



Sekolah-sekolah swasta pun berjuang menghapuskan diskriminasi pemerintah, terutama di jenjang pendidikan dasar.

Perwakilan masyarakat dari perguruan swasta yang diwakili Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria) menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi UU Sisdiknas Pasal 55 Ayat (4), terutama karena pencantuman kata dapat.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/23/07195184/Sekolah.Partikelir.Gugat.UU.Sisdiknas
sumber:

HARI GURU NASIONAL

Mendiknas: Guru Perlu Introspeksi Diri
Kamis, 25 November 2010 | 10:32 WIB
LASTI KURNIA/KOMPAS IMAGES

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada hari Kamis (25/11/2010) diperingati oleh semua guru Indonesia. Dalam upacara HGN di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengucapkan terima kasih kepada semua guru Indonesia atas dedikasinya terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Meski guru terkadang kurang menerima haknya, kurangnya itu bisa dijadikan investasi ke depan kepada masyarakat.
-- Mohammad Nuh

"Guru memiliki peran penting untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang mampu membangun karakter jujur, teguh, peduli," kata Nuh.

Nuh mengatakan, HGN kali ini mengambil tema "Memacu Peran Strategis Guru dalam Mewujudkan Guru yang Profesional, Bermartabat, dan Sejahtera". Dari tema tersebut, lanjut Nuh, ada tiga hal yang dapat dipetik dari peringatan HGN tahun ini. Pertama, HGN sangat baik untuk dijadikan ajang refleksi diri para guru.

"Meski guru terkadang kurang menerima haknya, kurangnya itu bisa dijadikan investasi ke depan kepada masyarakat," tandas Nuh.

Kedua, HGN diharapkan menjadi upaya introspeksi. Ketiga, HGN sebagai upaya menatap masa depan lebih baik dan menggapai cita-cita luhur. Berdasarkan hal itu, lanjut Nuh, ada tiga tugas penting yang harus diemban oleh seorang guru, yaitu mengajarkan ilmu, membentuk karakter yang mulia, serta menanam optimisme dan cita-cita positif.

"Jika guru berhasil menggabungkan ketiga tugas penting ini, maka sekolah akan menjadi rumah untuk membentuk kepribadian yang mulia bagi anak didik," tambah Nuh.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/25/10321566/Mendiknas:.Guru.Perlu.Introspeksi.Diri

HARI GURU NASIONAL

Zaman Guru dan Guru Zaman
Oleh Rahmah Purwahida

KOMPAS.com - Murid adalah sosok paling dekat dengan guru. Karena itu, ”arti” guru di hadapan murid sesungguhnya kunci sukses pendidikan.

Telah tercatat sekian ”rupa” guru dalam memartabatkan muridnya. Akan tetapi, apakah dari sekian zaman yang dilalui guru itu, ia telah benar-benar dicatat untuk dimartabatkan?

Setiap kali Hari Guru datang menjelang, kali itulah refleksi untuk dan bagi guru selalu didengungkan. Ada yang menyoal penderitaan-peruntungan sampai perjuangan-penghargaan.

Namun, semua itu akan terjawab dengan berbagai versi yang bermula dan bermuara dari arti guru bagi murid dalam setiap zaman. Penentuan arti tersebut tidak terlepas dari peranan perubahan situasi sosial, politik, dan budaya.

Guru dalam lintasan sejarah pendidikan bangsa ini pernah dikenal dalam empat arti, yaitu sepandai-pandainya orang di dunia, kaum cerdik-pandai, mesin transfer doktrin, dan sosok yang mampu mengartikulasikan dirinya sendiri. Ketika kemerdekaan belum menjadi euforia, bangsa ini menyadari bahwa guru adalah orang terpandai di dunia yang mampu mengobarkan semangat ilmu dan kebebasan. Sebab pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, ruang gerak memperoleh ilmu pengetahuan bagi bangsa ini dipersempit.

Sedikit sekali kaum pribumi yang beruntung bisa mengenyam pendidikan. Angka yang sedikit itu menjadikan mereka sangat berharga di hadapan muridnya.

Ki Hajar Dewantara, salah satunya. Ia tersohor dengan konsep Taman Siswa-nya dan menjadi salah satu sosok yang hingga kini dikenal sebagai orang yang sangat pandai. Ketika itu, kemarahan guru adalah hal yang ditakuti muridnya. Perasaan ”durhaka” seakan menghampiri benak para murid bila kemarahan Sang Guru datang, tetapi bukan karena rasa takut melainkan sebab rasa hormat.

Masa itu kemudian bergerak menuju era pencapaian kemerdekaan. Masa sekolah berkembang ke seluruh negeri. Jumlah lulusan yang melanjutkan ke sekolah-sekolah menengah dan berbagai universitas di pusat-pusat kota meningkat pesat. Sedikit bergeserlah arti guru bagi muridnya, menjadi kaum cerdik pandai. Arti itu mulai membuka kesadaran bahwa guru adalah sosok terdidik yang patut dihormati tetapi ia juga memiliki dunia sendiri yang mulai dapat dirambah oleh muridnya.

Murid mulai mengenal guru sebagai sosok yang galak dan semua perintahnya harus dipatuhi. Kepatuhan murid terhadap guru mulai mengembang sebagai bentuk rasa ”takut” yang acap kali nihil dari kesadaran menghormati dan menghargai. Lantas datanglah masa di mana kelas-kelas dijadikan alat melanggengkan ”bapak pembangunan”. Guru dituntut ”berseragam” baik dalam pikir, tindak, dan ucap, sampai me- milih partai politik dalam pemilihan umum.

Begitu pula yang terjadi pada murid, turut diseragamkan pula. Murid-murid yang masuk dengan latar belakang sosial, ekonomi, agama, dan kebudayaan yang berbeda dicetak menjadi sama sesuai versi ”bapak”. Seragam sekolah merupakan suatu kewajiban yang menghapus perbedaan-perbedaan para murid dan menjadikan mereka tampil dengan citra sebagai murid yang manut.

Lama-kelamaan, daya kritis murid-murid itu membeku dan suara mereka mulai menyerupai ”bebek” yang siap menyanyikan ”lagu” kesayangan ”bapak”. Inilah masa guru diartikan sebagai mesin transfer doktrin dari ”bapak pembangunan”.

Kini, tibalah masa di mana reformasi bergulir dan ruang bagi guru untuk mengartikulasikan dirinya sendiri dibuka dengan lebar. Hanya persoalannya apakah ruang-peluang tersebut telah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan, memanusiakan manusia. Itulah tantangan dan pertanyaan yang segera harus dijawab oleh guru zaman.

Guru zaman

Mohammad Natsir adalah sosok guru yang kemurnian sosoknya tak lekang oleh zaman. Hidupnya dipenuhi idealisme memajukan bangsanya melalui dunia pendidikan meskipun ia bukanlah lulusan ”sekolah” kependidikan.

Setelah tamat Algemene Middelbare School (AMS), ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Ia juga giat mendanai, mengajar, dan membuka lapangan kerja bagi guru. Tidak segan ia menggadaikan perhiasan istrinya untuk memperpan- jang kontrak tempat ”sekolah” itu. Ia juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool.

Semangat memberi tanpa mengharap itu hidup dan menghidupi dirinya untuk berjuang mencerdaskan bangsanya. Aura Natsir kini hidup kembali. Lahir dalam rupa Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai Anies Baswedan (Tempo, 21/11). Hanya sebanyak 51 peserta yang dipilih dari 1.383 pemuda dan pemudi yang melamar.

Para pengajar muda ini lulusan strata satu dengan prestasi akademik dan non- akademik skala nasional dan internasional. Mereka rela meninggalkan segala profesi yang menggiurkan dan memilih mendidik murid-murid di daerah yang belum dijamah oleh program kemakmuran pendidikan. Hanya saja, Indonesia tidak cukup dengan 51 ”generasi penerus Natsir” itu.

Bagaimana dengan sekian jumlah penyandang status guru yang tersebar di sekian sekolah kini? Sudahkah semangat Natsir hidup dan menghidupi perjuangan mereka dalam mendidik? Sebab kenyataannya bangsa ini membutuhkan guru zaman yang tidak sedikit jumlahnya untuk mengatasi problem pendidikan yang juga tidak sedikit.

Guru yang hasil perjuangannya tak lekang oleh zaman mampu mendidik murid-murid yang tidak tergilas zaman. Murid-murid itu akan mampu memartabatkan diri dan bangsanya. Tentu penuh kesadaran untuk memartabatkan gurunya. Dengan demikian, persoalan penderitaan-perjuangan guru akan digantikan dengan peruntungan-penghargaan sesuai ”arti” guru yang sesungguhnya. Tabik!

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/25/15074116/Zaman.Guru.dan.Guru.Zaman

Sabtu, 13 November 2010

RSBI/SBI

Ah, Apanya yang Internasional?
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.
Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi pembenar bagi sekolah melakukan pungutan. Ini keliru besar.
-- Mochtar Buhori

Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan. Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.

Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11/2010), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.

Dana melimpah

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.

Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.

Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.

Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.

”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.

Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris. (ELN)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/06/10290178/Ah..Apanya.yang.Internasional.

RSBI

Tak Perlu Mentah-mentah "Copy Paste"

BANGKOK, KOMPAS.com - Untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak perlu melalui pendirian sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Justru akan lebih efektif jika pemerintah memusatkan perhatian pada metode dan proses pengajaran, baik di RSBI maupun non-RSBI.
Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri.
-- Hywel Coleman

Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11/2010) di Bangkok, Thailand.

Bahkan, lanjut Whitehead, RSBI sebenarnya bisa mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan tetap berdasarkan kurikulum nasional. Pemerintah tidak perlu mengambil mentah-mentah contoh kurikulum dari negara lain.

”Jangan justru mendahulukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh,” kata Whitehead.

Hal senada diutarakan konsultan pendidikan di British Council Indonesia, Hywel Coleman. Ia mengaku khawatir RSBI justru menciptakan diskriminasi pendidikan yang semakin lebar. Apalagi, kurikulum RSBI sebagian diambil dari sekolah luar negeri.

”Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri,” kata Coleman.

Ia khawatir, banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan berkualitas baik, seperti di Pakistan dan Thailand. Karena sudah telanjur harus ada sesuai undang-undang, Whitehead dan Coleman menyarankan agar pemerintah mengawasi dan mengevaluasi RSBI, terutama efektivitas dalam pengajaran menggunakan bahasa Inggris.

”Sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah tentang RSBI,” kata Whitehead

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/12/11525916/Tak.Perlu.Mentah.mentah..quot.Copy.Paste.quot.

PENDIDIKAN SEJARAH

Empat Sebab Pelajaran Sejarah Mandek

JAKARTA, KOMPAS.com — Apa pun caranya, minat anak didik terhadap pelajaran Sejarah harus dibangkitkan kendati saat ini pembelajaran sejarah yang ideal masih jauh dari harapan. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menyangkut mulai dari sarana pembelajaran hingga sumber daya manusia atau guru Sejarah.
Materi esensial yang dimaksud adalah materi yang dimengerti oleh siswa untuk membangun nilai-nilai bangsa.
-- Ratna Hapsari

Hal ini terungkap dalam Diskusi Publik Nasional: Mengkaji Ulang Peranan Pendidikan Sejarah, Jumat (12/11/2010), di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).

Staf Program Pendidikan ISSI, Grace Leksana, mengatakan, beberapa faktor penyebab itu, pertama, adalah belum lengkapnya buku-buku dan sumber belajar yang tersedia secara gratis. Kedua, terbatasnya jam tatap muka dan adanya perbedaan materi ajar pendidikan Sejarah di program IPA, IPS, dan Bahasa. Ketiga, masih terbatasnya kegiatan pengembangan profesi guru Sejarah, baik dalam bentuk pelatihan, lokakarya, maupun seminar.

"Keempat, sangat terbatasnya peran guru Sejarah dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan, khususnya terkait dengan pendidikan Sejarah. Kelima, minimnya fasilitas dan pendanaan yang diberikan pemerintah pusat dan daerah terhadap pengembangan organisasi profesi guru Sejarah," urainya.

Ratna Hapsari, Ketua AGSI, mengaku sangat prihatin dengan kondisi kurikulum pendidikan Sejarah Indonesia saat ini yang terlalu padat. Seharusnya, kata dia, materi-materi yang disampaikan adalah materi yang esensial.

"Maksud esensial adalah materi dimengerti oleh siswa untuk membangun nilai-nilai bangsa," ujar Ratna.

Sebagai contoh, lanjut dia, pada materi sejarah zaman Majapahit, toleransi antaragama semestinya bisa dipelajari dan nilai-nilai positifnya bisa diambil anak didik. Namun, sekarang ini pelajaran Sejarah terbelenggu oleh kurikulum yang linear, yaitu bersifat menghafal.

"Setiap sejarah di Indonesia seharusnya dimaknai, dibenahi, dan dikembangkan lewat suatu metode diskusi, misalnya siswa harus bisa mempresentasikan apa yang didapatnya dari materi tersebut," lanjut Ratna.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan bahwa metode pembelajaran bisa dikembangkan melalui pelatihan secara intensif, berkesinambungan, dan yang terpenting harus memiliki kontrol. Ia mengatakan, pelatihan selama berbulan-bulan yang tanpa umpan balik bagi anak didik pada akhirnya hanya akan mengembalikan metode pembelajaran secara hafalan.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/12/16402418/Empat.Sebab.Pelajaran.Sejarah.Mandek

Kepsek penentu kemajuan pendidikan

MEDAN - Kepala sekolah (Kepsek) di Sumatera Utara, dinilai sangat berperan besar terhadap kemajuan dunia pendidikan, sebab dibawah kepemimpinannya yang bijaksana akan tercapai insan-insan yang intelektual.

"Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menerapkan sistem pembelajaran yang berbasis karakater, berbasis sains, berbasis lingkungan serta berbasis Informasi dan Teknologi (IT) di lingkungan sekolah yang dipimpinnya," kata Kepala Dinas Pendidikan, Hasan Basri, tadi malam.

Ia mengatakan, pihaknya telah mempersiapkan sosok kepala sekolah agar dapat membangun sekolah menjadi lebih baik. Dengan demikian sekolah dapat melahirkan insan yang berbudi pekerti, berdaya saing dan mampu memberikan pengabdian di tengah masyarakat melalui profesi yang dipilihnya.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan sosok kepala sekolah dimasa mendatang adalah dengan menggelar diklat calon kepala sekolah. Dengan diklat tersebut, calon kepala sekolah diharapkan dapat menata sekolah menjadi lingkungan belajar yang nyaman, kondusif, sehat dan segar.

Diklat tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas calon kepala sekolah secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi.

Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan calon kepala sekolah yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

"Kita juga berupaya Diklat ini untuk memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan pendidikan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat," katanya.

Menurut dia, karena persoalan pendidikan sangat kompleks, maka perlu dipersiapkan calon-calon kepala sekolah untuk menggantikan kepala sekolah yang telah selesai masa pengabdiannya, maupun untuk menggantikan kepala sekolah yang dianggap tidak cakap dan tidak mampu menjalankan tugasnya untuk memajukan kualitas pendidikan.

Apalagi, lanjut dia, dewasa ini salah satu fokus pembangunan kota Medan kedepannya adalah pembenahan persoalan pendidikan.

Karena memang pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks dan untuk memecahkannya harus dilakukan dengan semangat kebersamaan melalui sinergisitas yang tinggi.

"Untuk itu, program pembenahan pendidikan akan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari pembenahan prasarana dan sarana, peningkatan disiplin dan kualitas serta dedikasi para pelaku pendidikan dan peningkatan disiplin sekolah," katanya

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=156316:kepsek-penentu-kemajuan-pendidikan&catid=15:sumut&Itemid=28

Kamis, 11 November 2010

Festival Bercerita

Ketika Anak-anak Festival Bercerita
KOMPAS.com- Di Pulau Bali yang indah, ada anak laki-laki yang bernama Made. Ia malas berpikir dan sukanya tidur. Ayahnya menyuruh dia gembala ternak... Begitu awal cerita yang dinarasikan. Lalu, semua pengunjung yang memenuhi ruangan Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (11/11/2010) siang, matanya tertuju ke panggung.

Bayangkan, anak-anak yang masih duduk di taman kanak-kanak, bisa menyajikan cerita rakyat yang begitu menarik ditonton di pentas. Mereka anak TKK Penabur 10, Pantai Kapuk, yang mementaskan cerita rakyat Bali berjudul Made dan Keempat Sahabatnya.

Singkat cerita, ketika mengalami kesulitan karena didenda orangtua agar mengganti kehilangan ternak gembalaannya dengan 40 keping emas, Made mendapat pertolongan dari binatang-binatang yang ditolong Made sebelumnya.

Ketika suatu kerajaan menggelar perlombaan berhadiah emas, Made dan empat temannya ikut serta. Keempat teman Made juara di empat jenis perlombaan, tanpa kalah sekali pun. Sehingga, hadiah emas sebagian dari harta kekayaan kerajaan diraih Made dan kawan-kawan.

Dasar Made orangnya baik dan jujur, ia tak mau dikasih emas terlalu banyak. Cukup 40 keping saja. Ketika Made pulang membawa kepingan emas itu, orangtuanya kaget tak percaya. Ternyata Made ketika diberi tantangan, baru diketahui bahwa ia seorang anak yang cerdas, rajin, jujur, dan suka bekerja keras. Tidak seperti gambaran awal, pemalas dan suka tidur.

Kisah Made tersebut ditampilkan di panggung dengan baik, menarik, dan lucu di panggung Festival Bercerita IX, yang digelar Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) bekerjasama dengan BBJ, Grasindo, Kementerian Diknas, dan Mandiri Investasi.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengaku terharu dan bahagia. "Saya terharu dan merasa bahagia. Cerita rakyat membuat hati kita bangga. Selamat buat Pak Raden dan para guru," katanya.

Fasli Jalal, ketika membuka Festival Bercerita IX, membacakan cerita rakyat dari Manokwari, berjudul Masarasenani dan Matahari. Cerita berdurasi sembilan menit itu mampu dibawakan Fasli dengan sangat menggugah. Masing-masing tokoh, dibawakan Fasli dengan warna suara, intonasi dan tekanan, serta karakter yang berbeda.



Upaya mencerdaskan

Festival Bercerita yang rutin digelar sekali dua tahun sejak 20 tahun lalu berdirinya Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA), menurut Ketua KPBA Murti Bunanta, adalah upaya mencerdaskan bangsa lewat beragam acara yang bersifat edukatif.

"Kami menyelenggarakan festival ini selama bertahun-tahun dengan tujuan untuk melestarikan budaya membaca bahasa Indonesia dan keragaman Nusantara. Kami tidak hanya fokus kepada anak-anak, namun juga kepada guru-guru dengan cara memberikan pelatihan kepada pengajar anak-anak usia dini agar mereka memiliki keterampilan dalam menceritakan cerita-cerita yang sarat akan pesan moral kepada anak-anak," jelasnya.

Pada hari pertama Festival Bercerita, Duta Besar Slovakia Stefan Rozkopal, tidak saja menunjukkan kemampuannya bercerita kepada anak-anak, tetapi juga kemampuannya berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Stefan membacakan cerita berjudul Kancil dan Raja Hutan.

Sebaliknya, seorang murid kelas 6 SD di Surabaya bernama Jasmine Wirawan malah bercerita dalam bahasa Inggris. Tampil sendirian mementaskan cerita Suwidak Loro, yang ditulis Murti Bunanta, Jasmine tampil energik, lincah, kocak, dan tentu saja menarik.

Presiden Direktur Mandiri Investasi, Abiprayadi Riyanto, pun tampil membacakan cerita dari Aceh berjudul Anak Kucing yang Manja.

Menurut Abiprayadi, pelestarian budaza membaca bacaan brevaza Indonesia sangatlah penting bagi anak-anak Indonesia. "Di era modernisasi dan teknologi yang semakin canggih ini, anak-anak Indonesia harus tetap diajarkan untuk mengenal dan mencintai cerita dari negerinya. Indonesia Sangat kaya akan cerita rakyat dan pahlawan yang memiliki pesan budi pekerti luhur yang dapat menjadi suri teladan anak dalam berprilaku di masyarakat," ungkapnya.

Melalui festival ini, Mandiri Investasi memberikan bantuan buku cerita rakyat dwibahasa yang akan disumbangkan ke berbagai sekolah dan perpustakaan di 10 kota di Indonesia. Selain itu, buku juga akan diserahkan kepada 30 orang perwakilan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) yang akan berada di Yakarta, untuk mengikuti pelatihan bercerita yang diselenggarakan oleh KPBA. (YURNALDI)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/11/21345626/Ketika.Anak.anak.Festival.Bercerita

KONGRES GURU

Guru bak Seniman, Bukan Tukang
JAKARTA, KOMPAS.com — Proses pendidikan di Indonesia terasa semakin jauh dalam usaha memuliakan kehidupan. Guru semakin tertantang untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Demikian diungkapkan oleh budayawan B Herry Priyono dalam orasi budaya yang disampaikan pada Konferensi Guru Nusantara (KGN) 2010 bertema "Guru Abad 21: Transformasi untuk Menjawab Tantangan Guru", 9-10 November 2010 di Unika Atmajaya, Jakarta.

"Berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan dalam konteks ini bisa dipertukarkan dengan bersekolah, agaknya saat ini menjadi sebuah jalan yang mesti dilalui oleh semua warga masyarakat yang menyebut dirinya modern," ungkap Herry.

Sementara itu, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dr Sonny Keraf mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan, tugas guru bukan semata mengajari, melainkan juga menginspirasi. "Tapi guru yang mampu memberi arahan pendidikan bagi pembangunan berkelanjutan," tandas Sonny.

Lendo Novo, penggagas sekolah alam di Indonesia, punya pendapat sedikit berbeda. Dia mengatakan, guru tidak bekerja laiknya seorang tukang, tetapi bak seniman. "Guru seperti ini tidak sekadar berusaha mencetak murid-murid naik kelas dengan standar angka-angka tertentu, namun ia mampu membekali murid-muridnya dengan inspirasi yang tak penah mati," ujar Lendo.

"Bahkan, jika sang murid terpaksa tak mampu melanjutkan sekolah atau gagal memenuhi standar nilai yang ditetapkan, inspirasi itu tetap hidup dalam diri si murid," lanjutnya.

Adapun penyelenggaraan KGN 2010 merupakan sebuah konferensi pendidikan ilmiah berskala nasional yang diselenggarakan oleh Provisi Education. Dilaksanakan sejak 2006, KGN diperuntukkan bagi guru-guru Indonesia dengan harapan bisa membantu percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia untuk membuka wawasan, pengetahuan, dan pengalaman mengenai konsep-konsep, metode, ataupun praktik-praktik pembelajaran yang mutakhir dan bermutu.
Editor: Erlangga Djumena Dibaca : 569
Sent from Indosat Black

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/10/22312728/Guru.bak.Seniman..Bukan.Tukang

Kualitas Guru Lolos Sertifikasi Tetap Rendah

Surabaya, Kompas - Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun.

Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam pembukaan Seminar dan Pelatihan Guru Menulis di Media Massa yang diadakan harian Kompas dan Surya serta Ikatan Guru Indonesia di Gedung PDAM Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/10). Sepanjang 2006-2009 terdapat 251.326 guru yang disertifikasi melalui portofolio, sedangkan 301.732 melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).

Dalam kajian implementasi sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2009, kemampuan pedagogis guru sertifikasi portofolio sebagian tidak meningkat dan sebagian lainnya malah menurun. Hanya segelintir guru sertifikasi portofolio yang mengalami peningkatan. Di kemampuan sosial, profesional, ataupun kepribadian, tetap saja bagian terbesar adalah mereka yang stagnan kualitasnya, bahkan menurun.

Pada guru-guru yang disertifikasi melalui PLPG, umumnya lebih banyak yang meningkat atau sangat meningkat pada keempat kemampuan tersebut. Kendati demikian, ada pula sekitar 40 persen guru hasil PLPG yang tidak maju dalam kompetensi kepribadian dan sekitar 10 persen lainnya pada kemampuan profesional dan kemampuan sosial.

”Seharusnya sertifikasi itu untuk mengukur dan meningkatkan (kualitas guru),” kata Nuh kepada sekitar 480 guru peserta pelatihan menulis. Menurut Nuh, model portofolio ini tidak akan dihapus. Namun, akan dikaji cara menyaring kualitas guru supaya tunjangan profesi pendidik (TPP) yang diberikan sesuai dengan peningkatan kualitas dan kinerja.

Manusia berkepribadian

Secara terpisah, kemarin, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki mengatakan, PLPG yang hanya 10 hari juga tidak bisa menghasilkan guru yang profesional. Semestinya portofolio bisa menjadi syarat untuk sertifikasi. Sayangnya, sistem portofolio saat ini tidak menunjukkan rekam jejak apa yang sudah dilakukan guru ataupun prestasinya.

”Kalau memang sungguh- sungguh, sertifikasi melalui portofolio akan lebih bagus daripada PLPG yang hanya 10 hari,” ujarnya.

Masalahnya, dalam portofolio guru harus jujur pada diri sendiri. ”Sikap yang tidak terbentuk dalam pendidikan Indonesia sekarang yang lebih mengutamakan nilai tes atau ujian nasional ketimbang kepribadian,” tutur Zainuddin.

Untuk itu, menurut Zainuddin yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, orientasi pendidikan harus diperjelas. Pendidikan perlu menghasilkan manusia yang berkepribadian, berwatak baik, dan kreatif.

Anggaran naik

Tahun 2010, hampir Rp 60 triliun anggaran pendidikan dialokasikan untuk gaji guru pegawai negeri sipil (PNS), tunjangan khusus untuk guru di daerah terpencil, dan TPP. Untuk TPP saja anggarannya mencapai Rp 16 triliun. Tahun 2012, biaya gaji dan tunjangan guru akan sama dengan keseluruhan anggaran pendidikan tahun 2006, sekitar Rp 80 triliun.

Karena itu, menurut Nuh, peningkatan kompetensi guru adalah mutlak perlu. Sebab, hak guru tidak bisa dikurangi kendati anggaran yang diperlukan akan terus melonjak.

Salah satu peningkatan kompetensi adalah menulis. Saat ini jumlah guru golongan IVB hanya 0,087 persen, golongan IVC 0,007 persen, dan IVD 0,002 persen. Kebanyakan guru stagnan di golongan IVA, sekitar 569.611 atau 21,84 persen.

”Banyak guru tidak bisa naik ke golongan IVB karena tidak mampu menulis karya ilmiah,” kata Nuh. Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional memfasilitasi penulisan karya ilmiah online melalui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan,” ujarnya.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/01/06080956/Kualitas.Guru.Lolos.Sertifikasi.Tetap.Rendah

TENAGA DIDIK

Berkaca pada Guru Malaysia

Politisi Malaysia tidak sekadar pandai menyatakan, guru tonggak pembangunan intelektual. Keyakinan itu diwujudkan dengan aturan yang jelas tentang standar dan kualitas guru.

Tidak berhenti di atas kertas, nyatanya guru Malaysia memang memiliki status, kondisi kerja, dan pengembangan diri yang lebih baik dibandingkan guru di Indonesia.

Presiden Persatuan Pendidikan Malaysia Dato Ibrahim bin Ahmad Bajunid yang hadir di Kantor Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, perubahan kebijakan negara yang meningkatkan martabat guru memberikan ruang untuk menghasilkan guru-guru bermutu. Sebab, guru-guru yang berkualitas itu jadi tumpuan bagi Malaysia untuk mewujudkan visi menjadikan warga negaranya berilmu dan berpendapatan tinggi.

”Pendidikan berkualitas bagi semua warga, termasuk yang di perbatasan, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, guru perlu punya pendidikan yang baik, kepribadian yang baik, dan memiliki penguasaan teknologi digital masa kini,” kata Ibrahim.

Deputy President Persatuan Pendidikan Malaysia Dato Hussein bin Ahmad menambahkan, dalam lima tahun terakhir, Malaysia memperkuat dan meningkatkan motivasi serta profesionalisme guru. Perekrutan guru bukan cuma melihat kualitas intelektual, melainkan juga kepribadian.

Guru mesti ikut pelatihan dan pendidikan sekitar 40 jam per tahun untuk pelatihan secara berjenjang yang dibiayai negara. Guru yang mampu mengembangkan diri dan berprestasi dihargai, baik dalam jenjang karier maupun insentif.

Guru-guru pun mulai mengubah cara mengajar yang tradisional dengan cara-cara yang baru dan kreatif. Bahkan, guru-guru telah diarahkan untuk menguasai teknologi digital.

Hussein mengatakan, anggaran pendidikan nasional 22-24 persen dari total anggaran belanja Malaysia. Anggaran militer justru lebih kecil.

Kebijakan memperkuat guru, ditambah lagi dengan menyediakan fasilitas pendidikan, yang kualitasnya merata di seluruh Malaysia membuahkan hasil. Kenyataannya, lompatan Malaysia dalam peningkatan sumber daya manusia lewat peran besar pendidikan di tingkat global melesat jauh dibandingkan Indonesia.

Daya saing Malaysia di tingkat global berada di posisi ke-26, sedangkan Indonesia di urutan ke-44. Indeks pembangunan manusia Malaysia berada di kelompok tinggi di urutan ke-66, sedangkan Indonesia di kelompok medium pada urutan ke-111.

Malaysia berhasil belajar dari pengalaman masa lalu. Malaysia pernah memiliki masalah serius soal guru sehingga meminta bantuan dari Indonesia untuk mengirimkan guru-gurunya ke negeri jiran itu pada 1968.

Indonesia memang mulai mereformasi guru. Namun, sayangnya baru sebatas hal-hal yang bersifat administratif lewat sertifikasi guru.

Ada kebijakan bahwa guru yang mau naik golongan dalam empat tahun harus memiliki bukti ikut diklat 180 jam atau 48 jam per tahun. Tapi, diklat itu mesti dibiayai guru sendiri.

Ada juga kesempatan diklat dari pemerintah. Namun, selain terbatas dan diskriminatif karena mengutamakan guru pegawai negeri sipil, materinya juga tidak menyentuh kebutuhan guru untuk kreatif dan inovatif dalam pembelajaran di kelas.

Ketua Harian Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, program pendidikan dan pelatihan guru berkelanjutan belum berjalan. Adapun Malaysia memiliki rancangan yang jelas dalam peningkatan mutu guru.

Untuk itu, PGRI segera akan membuat pusat pelatihan dan peningkatan profesi guru. Organisasi guru mesti berada di depan untuk bisa memberdayakan diri dan kualitas para guru.

Kerja sama dengan organisasi guru Persatuan Pendidikan Malaysia pun dibangun. Kedua negara ini hendak saling belajar dan saling melengkapi.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mengatakan, persoalan guru Indonesia sangat khas sehingga mesti ditangani secara khas pula. Misalnya soal kualitas guru yang mesti ditingkatkan, tingkat kesejahteraan guru, dan persebaran yang tidak merata. ”Yang terpenting, pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru serta komitmen ini diwujudkan dalam upaya yang konkret,” ujarnya. (ELN)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/10/04250163/Berkaca.pada.Guru.Malaysia

Rabu, 03 November 2010

Permendiknas 28/2010 Pastikan Kepsek Penuhi Standar Kompetensi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah tidak menggantikan kewenangan daerah untuk memilih calon kepala sekolah.''Kewenangan tetap di daerah. Pusat hanya memastikan sebelum ditunjuk menjadi kepala sekolah harus memenuhi standar kompetensi sebagai kepala sekolah,'' tutur Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal kepada Republika, Rabu (3/11).

Guru yang akan menjadi kepala sekolah, kata Fasli tetap dipilih oleh bupati. Yaitu orang-orang yang sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan kriteria yang dimiliki daerah dan siap menjadi kepala sekolah.

Lahirnya Permendiknas No 28 tahun 2010 ini juga melengkapi peraturan sebelumnya yaitu UU Sisdiknas yang di antaranya mengatur bahwa penugasan menjadi kepala sekolah harus sesuai standar karena kepala sekolah memegang peran penting.

Selain itu adanya permen ini pun, menurut Fasli, untuk menjawab adanya keraguan dari masyarakat terhadap pemerintah daerah.''Sering terjadi tuduhan-tuduhan kalau ada bupati baru membawa orang-orangnya,'' tutur dia.

Jumlah guru yang mengikuti ujian standar kompetensi inipun, menurut Fasli, disesuaikan dengan jumlah kepala sekolah yang dibutuhkan.''Tapi tetap ada lebihnya sedikit untuk memberi ruang gerak kepada kepala daerah untuk memilih,'' tutur dia.

Di antara syarat menjadi kepala sekolah, dipaparkan di antaranya harus lulus S-1 dan pada beberapa kasus harus lulus S-2 dan sudah lama menjadi guru serta lulus uji kompetensi menjadi kepala sekolah. Setelah uji kompetensi, kata Fasli, calon kepala sekolah pun harus menjalani serangkaian pelatihan mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah.

sumber: http://id.news.yahoo.com/repu/20101103/tpl-permendiknas-28-2010-pastikan-kepsek-97b2f71.html

BENCANA ALAM

Sekolah Belum Tanamkan Sadar Bencana
JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia seharusnya mengajarkan anak-anak didik untuk hidup harmonis bersama alam. Dengan pengetahuan lingkungan yang kuat, anak-anak Indonesia akan mampu memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan serta menjaga alam sebaik-baiknya guna mencegah terjadinya bencana atau kerugian yang lebih besar dari fenomena alam.
Kunci utama dari persoalan ini sebenarnya bagaimana kurikulum dalam pendidikan kita itu memiliki roh utama tentang lingkungan.
-- Lendo Novo

"Di tengah banyaknya bencana alam yang terjadi, memang, pendidikan kebencanaan mutlak diperkuat di sekolah-sekolah sejak dini. Tetapi, kunci utama dari persoalan ini sebenarnya bagaimana kurikulum dalam pendidikan kita itu memiliki roh utama tentang lingkungan," kata Lendo Novo, pemerhati pendidikan lingkungan yang juga penggagas Sekolah Alam, di Jakarta, Rabu (3/11/2010).

Menurut Lendo, bencana alam yang terutama karena ulah manusia serta ketidaksiagaan masyarakat mengantisipasi bencana, tidak lepas dari kontribusi kesalahan pada sistem pendidikan nasional. Hal itu terjadi karena pemahaman masyarakat soal prinsip-prinsip lingkungan sekitar dan dampak baik-buruknya dalam kehidupan sehari-hari sangat terbatas.

Sekolah sendiri tidak menjadi contoh atau representasi dari peduli lingkungan dan siaga bencana. Bangunan sekolah yang tahan gempa, misalnya, masih minim. Pendidikan bagi siswa untuk mengantisipasi adanya bencana alam juga belum secara sadar dilakukan pihak sekolah.

Lendo menambahkan, sudah semestinya pemerintah mewajibkan sekolah untuk memperkenalkan kepada siswa tentang peta gempa atau bencana nasional yang sebenarnya sudah ada. Siswa akan tahu dan sadar bagaimana lingkungan yang dihadapinya dan dibekali dengan keterampilan untuk mengantisipasi datangnya bencana alam tersebut.

Salah satunya, dengan membuat buku soal daerah rawan bencana dan cara mengantisipasinya. Buku-buku tersebut mesti disebarkan ke sekolah, sambil tetap membiasakan siswa dengan latihan-latihan siaga bencana.

"Coba kita contoh pendidikan di Jepang. Anak-anak sejak usia TK sudah tahu bahwa mereka hidup di daerah rawan gempa dan tahu bagaimana mengantisipasinya. Ketika besar, kesadaran itu ada dengan ketaatan mengikuti aturan membangun rumah tahan gempa, misalnya," ujar Lendo

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/03/1747342/Sekolah.Belum.Tanamkan.Sadar.Bencana

Jumat, 29 Oktober 2010

Pelatihan Otak Tengah

Tak Ada Cara Instan Cerdaskan Anak

JAKARTA, KOMPAS.com- Tidak ada guna bagi orang tua menyertakan anaknya dalam pelatihan aktivasi otak tengah yang diklaim bisa mencerdaskan seorang anak dalam waktu singkat. Untuk membuat anak menjadi pintar, orang tua harus menekankan buah hatinya agar rajin belajar sambil membangkitkan minat dan bakat.

"Saya melihat pelatihan aktivasi otak tengah itu tidak bermanfaat karena tidak mungkin seorang anak jadi pintar dalam dua hari," ujar Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono, Jumat (29/10/2010) di Jakarta.

Pria yang akrab disapa Mas Ito ini ragu dalam 48 jam kecerdasan anak bisa meningkat dengan cepat. "Untuk orang tua yang berpunya, uang sebesar Rp 3,5 juta itu tak seberapa. Tapi, kasihan pada sang anak kalau gagal memenuhi harapan ayah dan ibunya, menjadi orang pandai seperti Einstein," tutur pakar Psikologi Sosial itu.

Mas Ito juga memastikan di dalam psikologi tidak dikenal istilah aktivasi otak tengah atau mid-brain. Ia mengkhawatirkan anak bisa menjadi takut kalau dipaksa oleh orangtuanya ikut kegiatan yang mengklaim otak tengah anak masih dapat diaktifkan.

Menurut Sarlito, kecerdasan seorang anak kembali pada bagaimana rajin belajarnya si anak itu sendiri. Orang tua perlu memberikan latihan asosiasi kepada anaknya.

"Orang tua juga harus mencari minat dan bakat apa yang dimiliki anak hingga kemudian orang tua terus berusaha mendukung dan membangkitkan minat dan bakat tersebut," kata peraih gelar doktor pada tahun 1978 di University of Leiden, Belanda itu.

Sarlito meminta kalangan guru untuk memberikan pengajaran yang menyenangkan dan menghibur bagi muridnya, sehingga ilmu bisa lebih cepat diserap tanpa disertai kebosanan dan ketakutan. "Saya yakin anak mampu menjadi sosok yang cerdas apabila sang anak diberikan dorongan dan kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakatnya sendiri. Dan, untuk mencapai titik cerdas itu, tidak cukup dalam waktu instan," tegasnya.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/29/22483634/Tak.Ada.Cara.Instan.Cerdaskan.Anak

Kamis, 14 Oktober 2010

APBS

Anggaran Sekolah Mirip Dokumen Rahasia?


JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak guru di berbagai sekolah di Indonesia masih mengalami berbagai ancaman atau intimidasi, baik ketika berupaya mengkritisi Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS) maupun saat memperjuangkan "persamaan" tunjangan kinerja daerah (TKD) yang dinilai sangat diskriminatif terhadap guru.
APBS itu seolah menjadi dokumen rahasia sekolah. Guru-guru yang menanyakan APBS malah ditekan, yang menekan tak hanya kepala sekolah, tapi juga komite sekolah.
-- Ade Irawan

Duabelas orang guru SMAN 1 Purwakarta, misalnya. Para guru tersebut mengalami mutasi massal secara sewenang-wenang karena mengkritisi Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS).

Koordinator Divisi Monitoring ICW Ade Irawan mengungkapkan, guru saat ini semakin dituntut profesional, tetapi dibayar dengan gaji rendah. Kondisi semacam itu sangat tidak adil bagi guru.

"APBS itu seolah menjadi dokumen rahasia di sekolah. Guru-guru yang menanyakan APBS malah ditekan, yang menekan tidak hanya kepala sekolah, tetapi juga komite sekolah ikut-ikutan," kata Ade dalam sebuah acara refleksi guru yang masih mengalami intimidasi dan diskriminasi secara sistematik yang digelar Forum Musyawarah Guru DKI Jakarta (FMGJ) dan ICW di Jakarta, Senin (4/10/2010).

"Intimidasi dan ancaman mutasi rasanya cukup manjur untuk membuat guru-guru menjadi diam dan tidak kritis," tambahnya.


sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/04/2010292/Anggaran.Sekolah.Mirip.Dokumen.Rahasia..

TRANSPARANSI DANA BOS

Darmaningtyas: Masyarakat Kita Pengecut!
Laporan wartawan KOMPAS Luki Aulia

JAKARTA, KOMPAS.com — Komite sekolah yang seharusnya memiliki posisi kuat dan independen sebagai representasi publik pada banyak kasus justru lemah dan menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah. Untuk memastikan transparansi anggaran sekolah, guru dan orang tua murid harus diberdayakan agar selalu kritis dalam mengawasi arus keluar masuk anggaran untuk beragam kegiatan di sekolah.

Perlu pemberdayaan masyarakat agar berpikir kritis, tetapi ada problem kultural. Pada dasarnya masyarakat itu pengecut, tak akan ada perubahan kalau begitu.
-- Darmaningtyas

Oleh karena itu, yang harus didorong, menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, adalah pelaksanaan manajemen sekolah yang terbuka. Namun, itu pun tidak cukup jika masyarakat, terutama orang tua murid, tidak peduli atau takut untuk kritis mempertanyakan anggaran sekolah.
"Perlu pemberdayaan masyarakat agar berpikir kritis, tetapi ada problem kultural. Pada dasarnya masyarakat itu pengecut. Tidak akan ada perubahan apa-apa kalau begitu," kata Darmaningtyas dalam diskusi "Transparansi Anggaran Dana BOS" yang diselenggarakan Institut Studi Arus Informasi, Kamis (14/10/2010) di Jakarta.
Jumono dari Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan mengakui, selama ini tidak ada pemberdayaan orang tua yang terwakili di dalam komite sekolah. Manajemen berbasis sekolah, yang artinya setiap sekolah memiliki otonomi masing-masing, justru menutup akses informasi bagi guru dan orang tua murid.
"Manajemen sekolah tidak akan punya arti apa-apa jika orang tua murid tidak diberdayakan," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengaku tengah mendorong sekolah agar lebih profesional melalui komite sekolah yang seharusnya bertanggung jawab mengawasi dan mengawal sekolah dari sisi finansial dan mutu akademik. Fasli mengakui, pihaknya belum puas dengan tata cara pemilihan anggota komite sekolah.
"Padahal, sudah ada aturannya di peraturan menteri. Masyarakat memang harus diberdayakan supaya manajemen berbasis sekolah tidak di-abuse," kata Fasli.


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/14/21324614/Darmaningtyas:.Masyarakat.Kita.Pengecut.

Senin, 11 Oktober 2010

Akibat Perang Seperlima Penduduk Irak Buta Huruf

Departemen Pendidikan Irak mengeluarkan pernyataan bahwa hampir seperlima dari penduduk Irak mengalami buta huruf dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan adanya kekerasan serta peningkatan yang luar biasa dalam jumlah penduduk yang mengalami putus sekolah.

Pernyataan resmi departemen pendidikan Irak terkait banyaknya buta huruf dari warga Irak bertepatan dengan pengumuman yang dikeluarkan oleh organisasi PBB yang memperkirakan bahwa seperlima dari orang dewasa Irak, yaitu antara usia 10 dan 49, tidak tahu cara membaca atau menulis, surat kabar berbasis di London al-Hayat melaporkan Rabu kemarin (15/9).

Gelombang kekerasan yang menyapu negara itu sejak invasi pimpinan Amerika 2003 memainkan peran penting dalam meningkatkan tingkat buta huruf di Irak, kata Walid Hassan, juru bicara Departemen Pendidikan.

"Tingginya tingkat buta huruf sejak invasi terutama karena anak-anak menjadi putus sekolah dan bekerja demi menghidupi keluarga mereka setelah mereka kehilangan segalanya dalam perang," katanya dalam pernyataan tersebut.

Perang juga membuat sulit bagi pemerintah untuk menerapkan UU wajib pendidikan dan membuat para keluarga tidak bisa mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah atau menjadikan anak-anak mereka drop out sebelum menyelesaikan pendidikan dasar mereka.

Ketidakstabilan politik negara tersebut telah menderita sejak tahun 2003, kata pernyataan itu, sehingga menyebabkan tidak adanya strategi pendidikan yang komprehensif dan kurangnya pendanaan yang tepat.

"Tidak ada cukup koordinasi antara pemerintah dan pihak terkait, seperti sektor swasta, dan masyarakat sipil."

Pernyataan itu menambahkan bahwa selain kebutuhan untuk merumuskan strategi baru dan mengembangkan kurikulum sekolah, pusat-pusat untuk mendidik orang dewasa harus didirikan dalam rangka untuk mengajar warga Irak yang buta huruf yang telah melewati usia masa sekolah.

"Kami telah membuka beberapa pusat pendidikan di beberapa governorat dan menyusun kurikulum yang sesuai dengan umur dan keterampilan siswa, namun hal ini membutuhkan anggaran secara keseluruhannya."

Illiteracy rates Tingkat buta huruf

Menurut pernyataan kementerian pendidikan, persentase buta huruf di kalangan perempuan Irak adalah 24%, lebih dari dua kali lipat persentase di antara perempuan (11%). Adapun anak-anak dari kedua jenis kelamin, sekitar 19% antara usia 10 dan 14 tahun tidak bersekolah.

Tingkat buta huruf berbeda menurut daerah karena mencapai 25% di pedesaan dan tidak melebihi 14% di wilayah perkotaan. Persentase berbeda menurut propinsi dan mencapai tingkat terendah di Diyala, Baghdad, dan Kirkuk dan tertinggi di Duhok dan As Sulaymaniyah di kawasan Kurdi.

Pada pertengahan 1980-an, Irak tercatat sebagai negara yang bebas buta huruf setelah pemerintah meluncurkan kampanye luas untuk menghilangkan buta huruf. (fq/aby)


sumber: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/akibat-perang-seperlima-penduduk-irak-buta-huruf.htm

Kiat Pendidikan Islami Sejak Dini pada Anak

Anak adalah amanah yang diberikan Allah Swt pada para orang tua. Karenanya, orang tua berkewajiban mengasuh, mendidik, melindungi dan menjaga amanah Allah itu agar menjadi generasi muslim yang bukan hanya sukses di dunia, tapi juga di akhirat kelak.
Dalam keseharian, para ibulah yang memegang peranan penting dalam pengasuhan dan pendidikan putra-putrinya. Pernahkah para ibu merenungkan sejauh mana peranan yang mereka mainkan akan berpengaruh dalam perjalanan hidup si anak? Kita semua tahu bahwa semua perbuatan manusia selama di dunia dicatat dalam sebuah buku yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Begitu pula anak-anak kita kelak, dan isi catatan buku mereka selama di dunia sangat tergantung dengan bagaimana cara kita mendidik mereka, apakah kita menerapkan pola pengasuhan dan pendidikan yang cukup Islami.
Sebagai contoh, apakah anak-anak kita sekarang sudah memahami tentang hubungannya dengan Sang Pencipta? Nasehat apa yang akan kita berikan pada anak-anak ketika kita menjelang ajal, sehingga ketika kita dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt tentang anak-anak kita, kita mampu menjawab, "Ya Allah, aku membesarkan anak-anakku dengan ihsan (sempurna) semampu yang saya bisa, agar taat dan tunduk pada ajaran-Mu."
Di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini. Tugas mendidik, menjaga dan melindungi anak dari pengaruh buruk arus globalisasi dan modernisasi, bukan perkara yang ringan. Bekal pendidikan dari sekolah berkualitas, menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin serta moral tidak cukup, jika tidak diimbangi dengan bekal pendidikan agama yang baik.
Bekal pendidikan rohani yang harus para ibu tanamkan sejak dini adalah membangun keyakinan yang kuat dalam hati mereka tentang ke-esa-an Allah Swt, mengajarkan rasa cinta yang besar pada Nabi Muhammad Saw dan mengajarkan mereka nilai-nilai serta ketrampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan mereka saat dewasa nanti.
Sejak dini, tanamkan pada diri anak-anak tentang konsep Tiada tuhan Selain Allah. Allah tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Selalu mengingatkan pada anak-anak bahwa Allah Mahatahu apa yang ada di bumi dan di langit, agar anak-anak selalu menjaga ucapan dan tindakannya. Beritahukan pada anak-anak, apa sesungguhnya tujuan hidup ini dan arahkan mereka agar tetap fokus dan memiliki visi yang jelas tentang konsep hidup.
Itulah tantangan bagi para ibu untuk menghasilkan generas-generasi muslim yang hebat dan bermanfaat bagi umat. Generasi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga cerdas dari sisi sosial, emosi dan spiritual. Tentu saja untuk melakukan itu semua, para ibu harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mendidik dan berinteraksi dengan anak-anak. Tips-tips berikut bisa menjadi acuan bagi para ibu dalam menerapkan pola asuh dan pendidikan bagi anak-anak di rumah, agar menjadi generasi yang Islami:
1. Setiap anak itu unik
Kita harus memahami bahwa setiap anak terlahir unik. Pahami bahwa setiap anak lahir sebagai individu yang mewirisi kualitas kepribadian yang berada di luar kendali orang tua. Itulah sebabnya, orang tua harus mampu mengidentifikasi karakteristik yang unik dan perilaku anak-anak kita, tanpa harus mencetak dan mendorong anak-anak ke arah yang orang tua sukai. Jika kita memahami hal ini, kita akan memberikan pengasuhan, bimbingan dan dukungan yang anak-anak butuhkan untuk melengkapi potensi yang telah Allah berikan pada mereka.
2. Membangun dan menanamkan tentang kasih sayang Allah Swt pada anak-anak
Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (Surat At-Tahrim;6). Tanamkan pada anak-anak bahwa tentang kecintaan dan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi adalah atas kehendak Allah. Ajarkan mereka selalu mengucapkan "La illaha illah Allah; jika anak meminta sesuatu, katakan pada mereka untuk berdoa, meminta pada Allah karena Allah yang memiliki segala sesuatu. Ajarkan kecintaan pada Allah saat santai dan berbincang-bincang dengan anak, agar mereka mudah memahami mengapa manusia beribadah, harus taat dan melaksanakan ajaran-Nya.
3. Salat
Rasulullah Saw berkata, "Ajarilah anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan ketika mereka berusia sepuluh tahun, hukumlah jika mereka melalaikan salat.". Orang tua harus membiasakan mengajak anak salat tepat waktu. Jadikah salat berjamaah sebagai kebiasaan dalam keluarga, bahkan jika anak masih di bawah umur, tak ada salahnya selalu mengajak mereka salat. Jika kewajiban salat sudah melekat kuat dalam diri anak, maka anak-anak akan terlatih untuk salat dengan khusyuk.
4. Kegiatan Sosial
Ajaklah anak-anak sesering mungkin untuk melakukan aktivitas sosial, berjalan-jalan ke taman, berkunjung ke kebun binatang atau museum, belajar berenang, bertaman, mengamati matahari tenggelam, dan kegiatan lainnya. Sebisa mungkin, jauhkan anak dari kebiasaan nonton tv dan isi waktu luang mereka dengan aktivitas fisik, misalnya melakukan olahraga yang mereka sukai.
5. Berkumpul dengan Keluarga
Biasakan berkumpul dengan seluruh keluarga, mendiskusikan berbagai isu yang merangsang semua anggota keluarga mengemukakan pendapatnya. Kebiasaan ini melatih rasa percaya diri anak dan kemampuannya bicara di muka umum dan akan mengakrabkan sesama anggota keluarga. Kebiasaan berkumpul ini juga bisa dilakukan dengan cara memainkan permainan yang melibatkan seluruh anggota keluarga atau memanfaatkan waktu makan, dengan membiasakan makan bersama.
6. Membangun kesadaran pada anak-anak akan pentingnya kebersihan dan menjaga lingkungan hidup
Kesadaran ini harus dimulai dari rumah sendiri, dengan melibatkan anak-anak dalam urusan pekerjaan rumah. Mintalah anak memilih pekerjaan rumah apa yang bisa ia lakukan, apakah menyapu, mengepel, mencuci piring, untuk membantu meringankan tugas ibu di rumah.
7 Komunikasi
Komunikasi adalah ketrampilan yang paling penting yang akan dipelajari anak-anak. Bicaralah pada anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Rasulullah Saw mencontohkan, saat bicara dengan anak-anak menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas sehingga anak-anak mau mendengarkan dan bisa memahami apa yang disampaikan.
8. Disiplin
Kita tahu bahwa disiplin dan pengendalian diri merupakan karakter utama seorang muslim. Kita belajar dan melatih diri tentang kedisiplinan dan pengendalian diri melalui ibadah puasa dan perintah Allah itu menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang dalam Islam. Orang tua harus menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak-anak, dan apa konsekuensinya jika hal itu dilanggar. Tentu saja larangan itu dalam batas-batas yang wajar. Misalnya, orang tua tidak melarang anak nonton tv sama sekali, tapi memberi batasan berapa lama anak boleh nonton televisi, misalnya cuma 30 menit. Orang tua juga harus menepati janji jika menjajikan sesuatu pada anak, karena jika tidak, anak akan menganggap orang tuanya tidak bisa dipercaya.
9. Rutin
Membiasakan anak-anak melakukan tugas-tugasnya dengan rutin, misalnya salat tepat waktu, membaca dan menghapal Al-Quran, membaca hadis, membiasakan membaca doa-doa Rasulullah sebelum tidur, beramal meski cuma dengan senyum, dan kebiasaan lainnya yang akan menjadi kegiatan rutin bagi anak kelak.
10. Memberikan Teladan yang baik
Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik bagi kaum Muslimin. Bacakanlah kisah-kisah tentang Rasulullah Saw, pada anak-anak agar anak-anak mengikuti Sunah-Sunahnya dengan rasa cinta. Bacakan pula kisah-kisah tentang para nabi, sahabat-sahabat Nabi, dan pahlawan-pahlawan dalam sejarah Islam sehingga tumbuh rasa cinta anak pada Islam.
11. Melakukan perjalanan yang menyenangkan
Perjalanan yang menyenangkan bersama keluarga tidak harus selalu mengunjungi tempat-tempat wisata, tapi bisa juga mengunjugi masjid-masjid lokal. Kunjungan ke masjid sekaligus mengajarkan anak tentang bagaimana etika berada di dalam masjid dan menumbuhkan rasa cinta pada masjid, terutama bagi anak lelaki. Selain masjid, ajaklah mereka berkunjung ke tempat-tempat bersejarah Islam agar mereka tahu warisan-warisan budaya dan sejarah Islam.
Tips-tips di atas cuma menjadi acuan bagi para orang tua, khususnya para ibu untuk menanamkan pendidikan yang Islami sejak usia dini. Tentu saja ikhtiar ini harus didukung oleh doa orang tua yang tak putus-putus untuk anak-anak mereka, agar harapan akan anak-anak yang bertakwa pada Allah Swt terkabul. (ln/Khafayah Abdulsalam-ProdMuslim)

Sumber: http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/kiat-mengasuh-anak-menjadi-pribadi-yang-percaya-diri-dan-islami.htm

Sabtu, 09 Oktober 2010

Olimpiade Penelitian Siswa

Wow, Ada 983 Makalah Penelitian Siswa!
Laporan wartawan Kompas.com M.Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) tahun ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Kelompok Sains Dasar (matematika, fisika, kimia, biologi), Kelompok Sains Terapan (ekologi, mesin dan eletronika, komputer/informatika, kesehatan, pertanian), serta IPS dan Humaniora (ekonomi dan manajemen, sejarah dan kebudayaan, bahasa dan kesusastraan, pendidikan dan psikologi, sosiologi dan antropologi).
Peran guru sangat penting dalam mendukung motivasi siswa untuk meneliti. Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh siswa.
-- Moh. Hasroel Thayib

Dari 983 naskah OPSI 2010 yang diterima panitia, terdapat 240 makalah yang masuk dari bidang sains dasar, 472 dari bidang sains terapan, dan 199 dari bidang IPS dan humaniora. Untuk melakukan proses seleksi terhadap 983 makalah itu, Direktorat Pembinaan SMA, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdiknas, telah membentuk tim juri yang berasal dari beberapa pakar penelitian dan dosen dari berbagai perguruan tinggi negeri dengan latar belakang ilmu ataupun bidang yang diteliti.

Koordinator juri bidang sains terapan, Dr Moh. Hasroel Thayib mengatakan, secara garis besar penilaian makalah penelitian OPSI meliputi aspek-aspek antara lain keterpenuhan metode ilmiah, keunikan ide penelitian dan kreativitas, peluang aplikasi, orosinilitas, serta kebahasaan.

"Maka, peranan para guru sangat penting dalam mendukung motivasi siswa untuk meneliti. Dari beberapa makalah yang diseleksi, masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh siswa, khususnya metodologi penelitian yang dilakukan masih belum terstruktur," ujar Hasroel kepada Kompas.com, Selasa (31/8/2010), di Jakarta.

Menurut Hasroel, guru harus lebih dulu memberikan pemahaman pada siswa tentang prosedur-prosedut meneliti yang baik. Dia bilang, sampai saat ini masih banyak makalah yang perlu mendapat perhatian khusus para guru, meskipun beberapa diantaranya sudah ada yang cukup baik untuk tataran siswa SMA.

"Namun demikian apa yang sudah dilakukan para siswa yang mengirimkan naskah OPSI ini kita berikan apresiasi yang luar biasa atas keinginan mereka untuk meneliti, ini sebenarnya tujuan utama kita," jelas Hasroel.

Adapun pelaksanaan Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2010 telah memasuki tahap awal, yakni proses penyeleksian naskah penelitian. Sebanyak 983 makalah yang diterima oleh Subdit Kesiswaan Direktorat Pembinaan SMA Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah diseleksi oleh tim juri pada 20 – 22 Agustus 2010 lalu.

Kepala Seksi Bakat dan Prestasi Siswa-Direktorat Pembinaan SMA, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdiknas, Suharlan, mengatakan, OPSI merupakan format baru dan penyempurnaan dari kegiatan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) sebagai pintu gerbang prestasi para siswa Indonesia di kancah internasional seperti yang diatur dalam Permendiknas nomor 34 dan 38 tentang pembinaan prestasi peserta didik.

"Ini untuk menghindari kompetisi-kompetisi internasional tanpa melalui proses seleksi secara terbuka yang hanya menunjuk dan membina sekolah-sekolah tertentu," ujarnya.


sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/31/11440573/Wow..Ada.983.Makalah.Penelitian.Siswa.

Olimpiade Penelitian Siswa

Inilah, Bakso Keong ala Pratama....

JAKARTA, KOMPAS.com - Dari hama menjadi ladang wirausaha, kiranya itulah ide penelitian yang muncul di benak Pratama Rachmat Wijaya, siswa SMA 1 Muhamadiyah, Solo, Jawa Tengah. Di tangan Pratama, keong yang selama ini hanya menjadi hama padi dan musuh petani, diteliti untuk menjadi bahan daging bakso yang lezat dan menguntungkan.
Teksturnya juga lebih kenyal seperti bakso urat dan warnanya agak gelap.
-- Pratama Rachmat Wijaya

Pratama adalah satu dari 95 peserta tingkat SMP-SMA yang menggelar hasil penelitiannya pada Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2010 di Jakarta sejak 4 hingga 9 Oktober 2010.

"Penelitian saya ini memang lebih mengedepankan sisi wirausaha ekonomi masyarakat desa, karena keong yang merupakan hama tanaman padi bisa dimanfaatkan untuk membuat daging bakso," ungkap Pratama kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (4/10/2010).

Pratama menambahkan, ditinjau dari aspek ekonomi, petani mengalami kerugiam besar karena hama keong. Untuk itu, penelitian yang dilakukannya diupayakan dapat membantu kerja petani, yaitu membasmi keong dengan cara memanfaatkan dan mengubahnya menjadi bermanfaat sebagai lahan wirausaha daging bakso.

"Satu kilogram daging keong dijual Rp 10.000. Jika diolah dengan bumbu dan sayur-sayuran, modal awal untuk 20 mangkok bakso yang siap makan sebesar Rp 34.000. Dari modal itu kemudian dibagi menjadi 20 mangkok, maka satu mangkok bisa dijual Rp 1.700. Penjual bisa menjualnya Rp 3.500. Maka, jika dihitung-hitung, satu mangkok bisa untung Rp 1.800," jelas Pratama.

Dia memaparkan, dilihat dari kesehatannya, daging keong pun lebih banyak keunggulannya dibandingkan daging ayam. Untuk bakso ayam kandungan kalorinya 51, 56 %, sedangkan bakso keong 134, 76 %. Untuk karbohidrat, bakso ayam memiliki kandungan hingga 7,30 %, sementara bakso keong memiliki nilai karbohidrat hingga 33, 69 %.

"Proses penelitian ini saya kerjakan selama 1,5 bulan. Idenya dari menonton TV, saya melihat banyak petani yang merugi akibat hama ini, padahal hama ini bisa dimanfaatkan," lanjut Pratama.

"Teksturnya juga lebih kenyal seperti bakso urat dan warnanya agak gelap," tambahnya.

Diberitakan sebelumnya, OPSI 2010 yang digelar untuk kedua kalinya ini diharapkan mampu menjadi wahna pengembangan dan kompetisi dalam bidang penelitian bagi siswa/siswi tingkat SMP dan SMA, baik bersifat pengungkapan (discovery) maupun penemuan (inovation). Dibuka sejak Rabu (4/10/2010), OPSI diikuti 95 peserta dari tingkat SMP-SMA dan akan ditutup pada Sabtu (9/10/2010).

Selain "Bakso Keong" karya SMA 1 Muhammadiyah Solo, penelitian lain yang unik dan menarik untuk dilihat di OPSI 2010 adalah "Seni Wayang Potehi" karya SMAN 3 Kediri dan "Tren Lesbian pada Remaja" karya SMA RSBI Negeri 1 Cibadak, Jawa Barat.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/08/09593376/Inilah..Bakso.Keong.ala.Pratama....

OPSI 2010

IPS, "Ladang" Baru Penelitian Siswa
Laporan wartawan Kompas.com M.Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) tahun ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Kelompok Sains Dasar (matematika, fisika, kimia, biologi), Kelompok Sains Terapan (ekologi, mesin dan eletronika, komputer/informatika, kesehatan, pertanian), serta IPS dan Humaniora (ekonomi dan manajemen, sejarah dan kebudayaan, bahasa dan kesusastraan, pendidikan dan psikologi, sosiologi dan antropologi). Dihadirkannya penelitian bidang IPS menjadi pengembangan OPSI yang baru sehingga bidang penelitian siswa menjadi lebih luas.
Kami ingin budaya meneliti itu benar-benar menyebar di kalangan siswa sejak SD sampai SMA.
-- Suharlan

"Pada tahap penjurian, dari 983 naskah penelitian yang diterima panitia terdapat 240 makalah yang masuk dari bidang sains dasar, 472 dari bidang sains terapan, dan 199 dari bidang IPS dan humaniora," ujar Kepala Seksi Bakat dan Prestasi Siswa Direktorat Pembinaan SMA, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdiknas, Suharlan, kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (8/10/2010).

Untuk melakukan proses seleksi terhadap 983 makalah itu, kata Suharlan, Direktorat Pembinaan SMA telah membentuk tim juri dari beberapa pakar penelitian dan dosen berbagai perguruan tinggi negeri dengan latar belakang ilmu ataupun bidang yang diteliti.

"Penilaian mereka (dewan juri) secara garis besar meliputi aspek-aspek antara lain keterpenuhan metode ilmiah, keunikan ide penelitian dan kreativitas, peluang aplikasi, orosinilitas, serta kebahasaan," lanjut Suharlan.

Suharlan, mengatakan, OPSI merupakan format baru dan penyempurnaan dari kegiatan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) sebagai pintu gerbang prestasi para siswa Indonesia di kancah internasional seperti yang diatur dalam Permendiknas nomor 34 dan 38 tentang pembinaan prestasi peserta didik. Hal tersebut untuk menghindari kompetisi-kompetisi internasional yang digelar tanpa melalui proses seleksi secara terbuka yang hanya menunjuk dan membina sekolah-sekolah tertentu.

"Kami ingin budaya meneliti itu benar-benar menyebar di kalangan siswa sejak SD sampai SMA," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, OPSI 2010 digelar untuk yang kedua kalinya sebagai wahana pengembangan dan kompetisi dalam bidang penelitian bagi siswa/siswi tingkat SMP dan SMA, baik bersifat pengungkapan (discovery) maupun penemuan (inovation). OPSI dibuka sejak Rabu (4/10/2010) diikuti 95 peserta dari tingkat SMP-SMA dan akan ditutup pada Sabtu (9/10/2010) ini.

Adapun beberapa karya menarik dari OPSI 2010 antara lain "Bakso Keong" karya SMA 1 Muhammadiyah Solo, "Seni Wayang Potehi" karya SMAN 3 Kediri, serta "Tren Lesbian pada Remaja" karya SMA RSBI Negeri 1 Cibadak, Jawa Barat.


sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/08/11081181/IPS...quot.Ladang.quot..Baru.Penelitian.Siswa

Karya Ilmiah Sebaiknya Bergaya Cerita

Laporan wartawan KOMPAS Erwin Edhi Prasetyo

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Karya-karya ilmiah ada baiknya perlu disajikan dalam wujud tulisan bergaya cerita. Dengan cara ini akan lebih menarik dan memudahkan pembaca awam memahami isi tulisan.

"Dengan gaya penulisan cerita, sebuah gagasan serius, sebuah pergulatan pemikiran bisa diungkap dengan gaya bahasa yang sederhana sehingga bagi pembaca akan mudah memahaminya," ucap Abdur Rozaki, peneliti Institute for Research and Empowerment yang juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga , Fakultas Dakwah, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam), dalam diskusi buku Kliwon : Perjalanan Seorang Saya karya Mukhotib MD di Yogyakarta, Kamis (7/10/2010).

Abdur mengungkapkan, diperkirakan jumlah pembaca buku-buku ilmiah hanya sekitar 20 persen, sisanya memilih membaca buku-buku cerita, seperti novel dan komik. Penulisan buku-buku ilmiah yang cenderung kaku dan formal, seringkali justru membatasi minat orang untuk membaca.

"Pendekatan menulis menja di sesuatu yang penting, metode penulisan penting diperhatikan penulis dengan melihat siapa pembacanya. Sebuah gagasan bila tidak dikemas dengan baik, justru akan meleset dan tidak kena sasaran," ungkapnya.

Ia mencontohkan, banyak karya ilmiah ataupun hasil penelitian, dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat saat ini ma sih banyak ditulis secara kaku dengan banyak catatan kaki. "Padahal, segmen pembaca yang disasar adalah kelompok-kelompok marginal yang mereka dampingi sehingga menjadi sulit memahami isi tulisan. Bukan hanya pembaca yang beradaptasi dengan buku namun penulis juga beradaptasi dengan suasana batin keseharian pembaca," tutur Abdur.

"Kelebihan dari gaya tutur bercerita seperti novel atau komik yaitu memiliki daya fleksibilitas dan kelenturan dalam menarasikan dialektika pergulatan teoritis dengan pengalaman keseharian sehingga mudah dipahami pembaca awam. Penting juga, penulis membuat tulisan pendek karena saat ini pembaca juga membutuhkan tulisan yang sekali baca langsung selesai. Sampaikan secara pendek tetapi pembaca tetap mampu menangkap ide," ungkapnya.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/07/20530968/Karya.Ilmiah.Sebaiknya.Bergaya.Cerita

Kasus SMAN 1 Purwakarta

Seharusnya, Guru Jangan Takut Kritis...

JAKARTA, KOMPAS.com — Persoalan mutasi massal dan sewenang-wenang pada 12 guru SMAN Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) 1 Purwakarta, Jawa Barat, dan intimidasi yang dialami seorang guru SMAN 6 Jakarta harus dituntaskan. Kepala sekolah atau bentuk birokrasi lain di sekolah atau setingkat dinas pendidikan yang mengintimidasi guru dalam bentuk apa pun dinilai telah melanggar Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Jaminan Perlindungan Profesi Guru.
Siapa pun yang melanggar pasal itu bisa dikenai sanksi. Ini tidak bisa ditoleransi.
-- Suparman

"Siapa pun yang melanggar pasal itu bisa dikenai sanksi. Ini tidak bisa ditoleransi," ujar Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman kepada Kompas.com, Jumat (8/10/2010).

Seperti diberitakan sebelumnya di Kompas.com, Selasa (5/10/2010), sebanyak 12 guru SMAN RSBI 1 Purwakarta, Jawa Barat, mengalami mutasi massal secara sewenang-wenang karena kritis terhadap uang dana sumbangan pendidikan (DSP) yang diberikan oleh para orangtua murid. Menurut para guru yang dimutasi itu, DSP tersebut sebesar Rp 1.207.100.000. Namun, kepala sekolah mengaku hanya menerima Rp 800 juta.

Sebelumnya, di SMAN 6 Jakarta, lantaran terlalu kritis dalam menyikapi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekolahnya, seorang guru menjadi korban intimidasi kepala sekolahnya. Kepada Kompas.com, Senin (4/10/2010), guru yang bersangkutan mengungkapkan ihwal banyaknya kejanggalan di SMAN 6, terutama masalah transparansi keuangan, tunjangan kinerja daerah (TKD), bimbingan belajar kelas, dan manipulasi kenaikan kelas.

Menanggapi hal itu, Suparman kembali menegaskan bahwa terkait dengan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS), guru ataupun dewan pendidikan wajib menolak RAPBS. Bahkan, kata dia, kepala sekolah wajib melaporkan semua kegiatan sekolah.

"Termasuk melaporkan dana pendidikan kepada dewan pendidikan. Jadi, tidak ada alasan sikap kritis guru mempertanyakan transparansi keuangan dijawab dengan ancaman intimidasi dalam bentuk apa pun," ujar Suparman

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/08/17374977/Seharusnya..Guru.Jangan.Takut.Kritis...

Budaya Membaca Masih Memprihatinkan

Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu
JAKARTA, KOMPAS.com — Budaya membaca masih menjadi persoalan di Indonesia. Peningkatan minat membaca sejak dini di sekolah terkendala minimnya koleksi-koleksi buku yang menarik bagi siswa.
Jika melihat indikator sosial dan budaya Badan Pusat Statistik, salah satu yang dilihat adalah penduduk berumur 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah. Semakin tahun, jumlah itu semakin menurun.
Tahun 2009, baru sebanyak 18,94 persen yang membaca surat kabar atau majalah. Tahun sebelumnya, jumlah pembaca itu berada di kisaran 23 persen. Sebaliknya, jumlah penduduk yang menonton televisi terus meningkat. Tahun 2009, jumlahnya mencapai 90,27 persen, sedangkan tahun sebelumnya 85,86 persen.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia Setia Dharma Madjid di Jakarta, Kamis (7/10/2010), mengatakan bahwa minat baca belum menguat karena koleksi buku yang ada belum sesuai dengan kebutuhan mereka. "Kita mesti punya grand design kebutuhan buku secara nasional," kata Setia.
Kukuh Sanyoto, Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Suratkabar bidang Pendidikan, mengatakan bahwa pemerintah mesti menyedikan informasi murah dan mudah untuk masyarakat. Untuk itu, perlu ada subisidi terhadap buku, surat kabar, dan lain-lain. Media literasi masyarakat masih terpusat di ibu kota.
Koleksi buku-buku di perpustakaan SD masih didominasi buku-buku teks pelajaran. Di sekolah-sekolah, jarang ada program rutin untuk membuat siswa biasa memanfaatkan perpustakaan.

Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/07/19573456/Budaya.Membaca.Masih.Memprihatinkan