Rabu, 14 Juli 2010

Kemendiknas Audit RSBI

Kamis, 15 Juli 2010
Pendidikan Nasional , Banyak Sekolah Unggulan Belum Memenuhi Syarat
JAKARTA – Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terus melakukan audit terhadap sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sepanjang bulan ini. Selain itu, beberapa kriteria yang harus dipenuhi sekolah RSBI juga terus diawasi.

Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Suyanto, untuk menjadi sekolah bertaraf internasional, sekolah negeri harus memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya minimal 10 persen guru untuk tingkat SD harus berjenjang magister (S-2) dan doktoral (S-3), sedangkan untuk SMP harus 20 persen, dan SMA sebesar 30 persen.

Selain itu, menurutnya, juga dengan persyaratan yang harus dimiliki kepala sekolah, minimal berpendidikan S-2 dan mampu berbahasa asing aktif. Sekolah juga harus mendapatkan akreditasi A dari badan standar sekolah terpercaya.

Sarana dan prasarana juga harus lengkap dengan teknologi, informasi, dan komunikasi terdepan. Terkait dengan persyaratan kurikulum, selain menyesuaikan dengan standar nasional juga diperkaya dengan kurikulum negara maju.

Selain itu, RSBI harus mengacu pada sistem bilingual (dua bahasa) serta manajemen sekolah harus berstandar ISO 9001:14000. “Sekolah RSBI juga harus diaudit oleh lembaga independen sehingga transparan dan akuntabel,” papar Suyanto saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/7).

Rumitnya persyaratan yang ada, menurutnya, menyebabkan tidak semua sekolah di Indonesia mampu memiliki status internasional. Namun, sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya Pasal 50 Ayat 3, setiap kabupaten atau kota minimal harus memiliki satu SD, SMP, SMA, dan SMK yang menyandang status RSBI.

Pengamat pendidikan Satria Dharma mengatakan pada dasarnya Dirjen Mandikdasmen membuat rumusan empat model pembinaan SBI tersebut, yakni model sekolah baru (newly developed), model pengembangan pada sekolah yang telah ada (existing school), model terpadu, dan model kemitraan.

Padahal, menurutnya, jika dilihat sebenarnya hanya ada dua model yang dilaksanakan, yakni model sekolah baru dan model sekolah yang telah ada. “Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya,” terang dia.

Dan menurut dia, anehnya, buku panduan penyelenggaraan RSBI yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada model sekolah baru, padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah model pengembangan pada sekolah yang telah ada.

“Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau model,” pungkasnya.

Evaluasi RSBI

Sementara itu, Direktur Pembinaan TK dan SD, Mudjito, mengakui sebagian besar dari total sekitar 200 SD berstatus RSBI belum sepenuhnya memenuhi persyaratan untuk menjadi SBI.

“Sebagian besar memang belum memenuhi syarat, dimaklumi karena namanya juga masih rintisan, tapi yang pasti sudah di atas standar nasional,” kata Mudjito di sela-sela penjemputan tim Olimpiade Primary Mathematics World Contest (PMWC) di Bandara Soekarno Hatta, kemarin.

Dalam evaluasi kali ini Mudjito mengatakan apa pun hasil evaluasi RSBI di jenjang SD, Kemendiknas belum akan memberlakukan sanksi pencabutan status. Sebab, saat ini pelaksanaan RSBI di jenjang SD baru memasuki tahun keempat dalam pelaksanaannya.

Saat ini yang dilakukan Kemendiknas lebih pada pemberdayaan dari sekolah-sekolah tersebut, baik dari sisi tata kelola maupun sumber daya manusia (SDM).

Namun jika setelah lima tahun upaya pemberdayaan tersebut tidak berhasil, baru akan dilakukan tindakan pencabutan. “Tindakan akan diambil kalau pemberdayaan sudah optimal,” terang Mudjito.
cit/N-1

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57291

Krisis Global Hambat Kemajuan Pendidikan

Rabu, 07 Juli 2010
Sidang FASPPED
JAKARTA – Krisis global telah mengganggu kemajuan pen didikan di berbagai belahan dunia dan menghambat keinginan negara-negara untuk mewujudkan pendidikan untuk semua pada 2015.

“Dampak krisis keuangan global tidak hanya mengakibatkan jutaan anak di dunia terancam tidak dapat mengenyam pendidikan, tetapi juga mengakibatkan langkah mundur bagi pencapaian tujuan kedua Millennium Development Goals, yakni mencapai pendidikan dasar secara universal,” ujar Presiden Forum of Asia Pasific Parliamentarians for Education (FASPPED) Marzuki Alie dalam pidato pembukaan sidang umum pertama FASPPED di Jakarta, Selasa (6/7).

Marzuki menjelaskan akibat resesi ekonomi, pada 2010 ini, diperkirakan 90 juta orang akan masuk jurang kemiskinan.

Dia mengatakan perpaduan antara meningkatnya kemiskinan dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi di dunia dipastikan akan berdampak negatif terhadap pencapaianpencapaian pen didikan yang telah diraih selama ini.

“Menurut laporan yang ada, capaian target-target pendidikan untuk semua agar dapat terwujud pada 2015 telah mengalami penurunan,” ujarnya.

Peran Parlemen

Parlemen, kata Marzuki, harus menjadi aktor yang mendorong perbaikan bidang pendirikan.

Sebab, dalam kondisi sekarang, pemerintah berada dalam tekanan untuk dapat memberikan bantuan pendidikan di setiap tingkatan sistem pendidikan.

Krisis keuangan berisiko mempersulit upaya penerapan kebijakan bantuan pendidikan yang pada akhirnya berdampak pada pemotongan anggaran pendidikan, pengurangan kemampuan para pelajar untuk membayar biaya pendidikan, serta pengurangan aliran dana bantuan pendidikan.

Perannya, jelas Marzuki, adalah mengoptimalkan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pertama, parlemen hendaknya memiliki komitmen yang kuat untuk menghasilkan UU yang mendukung terwujudnya target pendidikan untuk semua.

“Parlemen juga perlu meminta pemerintah untuk meng alokasikan anggaran yang memadai di bidang pendidikan yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat kurang mampu,” jabarnya.

Menteri Koordinator Kesejahtaraan Rakyat Agung Laksono mengatakan peningkatan kualitas pendidikan merupakan hal yang mutlak dilakukan.

Sebab, menurutnya, terdapat korelasi yang kuat antara pendidikan rakyat di sebuah negara dan kekuatan negara itu sendiri.

Agung menuturkan forum FASPPED ini dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan di negara berkembang agar mampu menghadapi persaingan dengan negara lain.

Sementara itu, perwakilan Direktur Jenderal UNESCO Gwang Jo Kim mengharapkan pertemuan FASPPED dapat menghasilkan sesuatu yang mampu mempercepat atau memastikan pencapaian progam pendidikan untuk semua pada 2015.
har/G-1
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56698

Senin, 12 Juli 2010

Hari Pertama Sekolah, Siswa Desak-desakan

Liputan6.com, Mandailing Natal: Hari pertama kegiatan di SDN Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, diwarnai desak-desakan di antara para siswa, Senin (12/7). Jumlah siswa yang diterima melebihi daya tampung sekolah, sehingga pihak sekolah menyewa rumah warga dan mengubahnya menjadi ruang belajar.
SDN Panyabungan sebenarnya sudah membatasi daya tampung siswa baru maksimal 90 orang untuk tiga kelas. Namun, hal itu ditentang para orangtua siswa. Bahkan, pihak sekolah didesak untuk menambah daya tampung.
Di Parepare, Sulawesi Selatan, para siswa SMUN 1 Parepare mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) dengan berdandan seperti orang gila. Mereka diwajibkan memakai papan nama dari kertas karton yang dikalungkan di leher [baca: Siswa Baru Berdandan ala Orang Gila].
Sementara di Bandung, Jawa Barat, orangtua siswa baru SDN Karya Mulya terpaksa ikut masuk ke kelas, karena beberapa anak tidak mau ditinggal. Pihak sekolah pun mengizinkan para orangtua itu, agar proses adaptasi sang anak bisa dilakukan.(WIL/SHA)
Sumber: http://id.news.yahoo.com/lptn/20100712/tpl-hari-pertama-sekolah-siswa-desak-des-9c562ac.html

Minggu, 11 Juli 2010

UN Akan Jadi Prasyarat Masuk PTN

Senin, 12 Juli 2010
JAKARTA – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan menjadikan Ujian Nasional (UN) sebagai prasyarat masuk perguruan tinggi negeri mulai 2011.

“Dengan integrasi ini, tidak perlu lagi ada tes rumit untuk masuk kuliah negeri,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh pada rapat koordinasi penyelenggaraan UN di Jakarta, Jumat (9/7).

Menurut M Nuh, hasil tes UN akan digabungkan dengan tes potensi akademik yang digelar oleh perguruan tinggi negeri.

Meski demikian, sistem baru itu tidak wajib diterapkan di perguruan tinggi.

Menurut Nuh, Kemendiknas telah memberikan penjelasan dan kerja sama dengan perguruan tinggi pasca penolakan yang dilakukan pihak PTN terhadap rencana kebijakan tersebut.

Selain itu, Kemendiknas mengajak perguruan tinggi ikut menyusun soal dan mengawasi jalannya ujian nasional di semua sekolah.

Untuk itu, Kemendiknas mengundang para kepala dinas pendidikan se-Indonesia dan para rektor perguruan tinggi negeri guna berkonsolidasi mengenai perbaikan UN.

Dalam pertemuan tersebut, dirangkum segala masukan tentang kejadian apa yang terjadi selama pelaksanaan UN.

Dia menambahkan UN digunakan untuk pemetaan. Dari pemetaan itu, tegas Nuh, intervensi kebijakan dari pemerintah pusat tentang peningkatan mutu sekolah yang mendapat nilai UN jelek kemarin bisa dilakukan.
cit/G-1

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56995

Sabtu, 10 Juli 2010

Tes untuk si Upik dan si Buyung

Minggu, 04 Juli 2010
Pagi itu wajah Yuyun tampak berseri. Bersama anak-anak tetangga lainnya, bocah perempuan berusia enam tahun itu riang memasuki pekarangan SD 03 Cipulir, Jakarta Selatan. Halimah, ibu Yuyun, ikut mendampingi putrinya itu.

Dia membawa berkas-berkas untuk pendaftaran siswa baru, seperti akte kelahiran dan kartu keluarga. Yuyun mau bersekolah.

Namun, kata Halimah, setelah melengkapi berkas-berkas ternyata putrinya diminta untuk mengikuti tes membaca, menulis, dan berhitung.

“Saya kaget kok pakai tes segala, setahu saya dulu-dulu tidak, dan saya pun bingung, karena kebetulan anak saya ini memang belum bisa baca tulis dan berhitung, ya karena belum sekolah (belum pernah masuk TK),” ujarnya.

Karena disyaratkan, Halimah pun pasrah meski dia pesimis anaknya bakal lulus. Dan ternyata benar saja, Yuyun yang diminta membaca tulisan yang tertera di papan tulis nampak kebingungan karena dia memang belum mengenal huruf.

Halimah yang seharihari bekerja sebagai buruh cuci, mengaku tidak pernah mengajarkan putrinya membaca. Begitu pun dengan sang ayah yang bekerja serabutan.

“Karena tidak tega saya pun masuk ke ruangan kelas dan menjelaskan kepada guru yang ada di dalam bahwa anak saya memang belum bisa baca.

Saya jelaskan kepada guru itu bahwa kami orang tidak mampu, jadi tolong dipertimbangkan untuk bisa masuk, tetapi dia hanya menjawab ya nanti ditunggu saja pengumumannya,” ungkap Halimah.

Tiga hari berselang, Halimah kembali datang ke sekolah dan ternyata benar anaknya tidak diterima. Menurut Halimah, selain membaca, Yuyun juga harus mengikuti tes berhitung sederhana serta menulis. Halimah lalu minta kebijaksanaan pihak sekolah agar anaknya diluluskan. Namun, pihak sekolah bergeming.

“Mereka bilang tidak bisa sebab sudah prosedurnya seperti itu,” tutur Halimah pasrah. Pengalaman serupa juga dialami Farida yang mendaftarkan anak ketiganya, Syifa Nuraini ke SD 09 Cipulir, Kebayoran Lama.

Namun, berbeda dengan Yuyun, Syifa yang sebelumnya mengenyam pendidikan taman kanak-kanak, diterima karena dia bisa mengikuti tes yang disyaratkan (membaca, menulis dan berhitung).

“Saya juga baru tahu kalau sekarang masuk SD harus mengikuti tes seperti itu, padahal ketika anak pertama dan kedua saya masuk SD, hanya cukup mendaftar dan membayar uang seragam saja,” ungkap Farida.

Memang tidak semua sekolah memberlakukan tes ini. Di SD Gunung 02 Petang, Kebayoran Baru, misalnya, calon siswa hanya diwajibkan membawa berkas-berkas pendaftaran seperti akte kelahiran dan sebagainya. Begitu pun di SD Pondok Kopi 04 Jakarta Timur.

“Ya, minimal usianya 6 tahun per tanggal 12 Juli,’’ kata Djumiati S.Pd, anggota tim Penerimaan Siswa Baru SD Gunung 02 Petang, Rabu, pekan lalu.

Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, Suyanto, Kemendiknas memang melarang tes atau ujian masuk seperti berhitung dan membaca bagi calon murid sekolah dasar. Sebab, katanya, hal itu memang belum boleh dilakukan.

“Gak boleh itu, itu melanggar Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2010,” katanya saat ditemui di Gedung E Lantai 5 Kemendiknas, Kamis pekan lalu.

Menurutnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pihak se kolah tidak tidak diperkenankan melakukan tes atau ujian masuk.

“Dasarnya adalah umur (minimal 6 tahun), kalau tahunnya sama bedakan jam,” tegas Suyanto. Hal ini, kata dia, berlaku tanpa kecuali baik untuk SD negeri maupun swasta.

Namun, Suyanto tidak bisa menjelaskan apa sanksi yang akan diberikan bila ada sekolah yang melanggar. Sebab, kata dia, itu bukan wewenang Kemendiknas, tetapi pemerintah daerah setempat.

Tes Observasi Berdasarkan penelusuran Koran Jakarta, di beberapa SD negeri maupun swasta juga diberlakukan tes untuk menyaring calon siswa. Mereka umumnya beralasan, lantaran jumlah peminat dan daya tampung sangat tidak sebanding.

Di SD Al Azhar 4 Kebayoran Lama, misalnya, calon siswa yang men daftar harus mengikuti tahap ob servasi. Selain karena peminatnya membeludak, tes ini memang merupakan syarat di sekolah ini.

Memang ben tuknya bukan tes membaca dan berhitung, tapi semacam pengenalan potensi calon siswa tentang keterampilan berpikir, auditori (pengamatan, ingatan), visual (pengamatan, ingat an), sosial emosional dan pe nge tahuan mengenai agama Islam.

“Jadi ini sekali lagi bukan tes,’’ ujar Zainal Arifin S.Pd, Kepala Sekolah Al-Azhar 4 Kebayoran Lama. Menurutnya, dasar dilakukannya observasi ini adalah untuk menyaring siswa apakah memenuhi standar atau tidak untuk Al-Azhar.

Menyaring di sini maksudnya jika nanti jumlah murid yang mendaftar melebihi kuota yang ditetapkan, maka pihak sekolah bakal menentukan berdasarkan nilai observasinya yang terbaik.

Selain itu, kata Zainal, obervasi ini bertujuan mengetahui potensi sang anak. “Jadi untuk melihat anak ini memiliki kemampuan apa, makanya nanti diformulirnya ditulis anak itu pernah punya prestasi apa, kemampuan atau bakat apa, yang nantinya bisa kita maksimalkan.”

Menurut Zainal, materi observasinya antara lain siswa diberikan kertas yang berisikan bentuk gambargambar, lalu diminta menyebutkan atau menunjuk gambar yang dimaksud.

Misalnya, gambar pensil atau bola yang mana. Selain itu, katanya, calon siswa disuruh berjalan di titian untuk observasi keseimbangan. Juga melempar bola.

“Sebetulnya itu materi yang memang sudah ada di Taman Kanak-kanak pada umumnya,” kata Zainal. Menurutnya, yang membuat materi dari pihak sekolah sendiri namun berdasarkan garis besar yang telah ditentukan oleh pihak yayasan Al-Azhar pusat, untuk observasinya diawasi oleh guru-guru.

Dari hasil observasi tersebut, pihak sekolah bakal memberikan nilai antara 1,2,3, misalkan auditori melempar bola, dia tidak bisa melempar sama sekali maka nilainya satu, lalu bisa melempar tetapi tidak masuk nilai nya 2, dan melempar terus masuk itu nilainya 3, “Jadi setiap materi obser vasi ada nilainya yang nanti kita akumulasikan,” ujarnya.

Seperti di Al Azhar, di SD RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) Palembang, juga diberlakukan tes, namun bentuknya berupa psi kotes dan wawancara dengan orang tua dan calon siswa.

Pengamat pendidikan Arief Rachman mengaku bisa memahami jika ada sekolah yang melakukan pemetaan untuk mengetahui potensi calon muridnya.

Misalnya, potensi membaca, menulis dan berhitung. “Tapi, ini bukan tes seleksi. Sekadar memetakan,’’ tegasnya.

Menurut Arief, pada dasarnya sekolah itu semuanya harus mempunyai mutu yang sama, sehingga orang itu tidak milih-milih sekolah. Kalau tidak diterima SD 1, dia bisa ambil di SD 2. Dan seterusnya.

Namun, faktanya tidak semua SD mutunya sama. Akhirnya ada SD Negeri favorit, akhirnya lari ke situ. “Akhirnya, babak belur.

Bagaimana sekolah harus menyeleksi? Lalu dibuat seleksi untuk masuk ke SD,” ujarnya. Kata Arief, secara falsafah siswa yang ingin masuk SD itu bukan tidak boleh dites, tetapi tidak dipersyaratkan untuk tidak bisa sekolah.

Karena itu dia menganjurkan dari masyarakat ada kemauan masuk sekolah mana saja dan tidak pilih-pilih, “Tapi kalau dia mau sekolah yang bermutu yang siswanya membeludak, dia harus mau diseleksi,” tegasnya. Ya, Arief boleh jadi benar.

Di SDN Sidoarum Bantul Jogyakarta misalnya, antara daya tampung dan calon siswa sangatlah timpang, sehingga mereka terpaksa melakukan tes seleksi.

“Jumlah pendaftar mencapai 54 calon siswa, padahal kuota di sekolah ini hanya 36 siswa, itupun dikurangi satu karena terdapat satu siswa yang tidak naik kelas pada tahun ajaran lalu.

Nah, bagaiamana kalau tidak diseleksi, dari 54 calon siswa itu kan semua pingin masuk sini,” kata Kepala Sekolah SDN Sidoarum, Ngadri.
ayyi achmad hidayah/ mochamad ade maulidin/henry agrahadi/eko s putro (yogyakarta)/ noverta salyadi (palembang)
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56401

Kamis, 08 Juli 2010

Terbukti Lakukan Pungutan, Kepala Sekolah Dicopot

Jumat, 09 Juli 2010
Penerimaan Siswa
JAKARTA – Sekolah negeri yang telah mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak dibenarkan memungut biaya dalam bentuk apa pun. Jika ada sekolah yang terbukti melakukan pungutan, kepala sekolah yang bersangkutan dapat dicopot.

“Sekolah negeri penerima BOS tidak ada alasan untuk memungut biaya apa pun,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal saat ditemui seusai Forum Pemimpin Muda Nasional, di Gedung Kemendiknas, Jakarta, Kamis (8/7).

Menurut Fasli, jika dalam praktiknya dana BOS tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, menjadi tugas Pemerintah Daerah untuk menanganinya.

“Kalau dengan BOS masih kurang, itu harus ditambah oleh pemda setempat,” terangnya. Untuk itu jugalah, menurut Fasli, perlu adanya badan pengawas daerah di daerahdaerah, seperti Inspektur Jenderal dan DPRD.

Lembaga dan badan yang memiliki fungsi mengawasi tersebut harus merespons setiap laporan yang masuk tentang pungutan liar. “Jika ada oknum yang terbukti, dapat dihukum atau dipecat, bahkan kepala sekolahnya dapat dicopot.

Karena tidak mungkin kita menerapkan sanksi penarikan dana BOS,” urainya. Namun, jika lembaga-lembaga pengawasan itu tidak juga responsif terhadap pengaduan, menurut Fasli, dapat diartikan tidak aspiratif.

“Masyarakat dapat melakukan impeachment atau tidak usah dipilih lagi di periode mendatang,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Fasli menegaskan dalam permendiknas juga telah ditegaskan bahwa lingkungan sekolah tidak boleh melakukan kegiatan bisnis, termasuk bisnis buku dan seragam sekolah.

Sebab setiap murid sekolah negeri mendapatkan buku gratis. Namun, Fasli mengungkapkan Komite Sekolah diperbolehkan menyumbang bila berkeinginan menambah fasilitas sekolah seperti laboratorium.

“Tetapi itu harus atas inisiatif dan dikelola oleh Komite Sekolah. Komite Sekolah membahas siapa yang bersedia menyumbang, tapi tidak boleh diwajibkan semua harus ikut membayar,” ujar dia.

Sebelumnya, Febri Hendri, peneliti pelayanan publik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), mengungkapkan pungutan liar masih terjadi di sejumlah sekolah, terutama jenjang sekolah SD dan SMP, menjelang tahun ajaran baru.

Rehabilitasi Sekolah

Dalam kesempatan yang sama, Fasli Jamal mengatakan pemerintah pada 2010 menyediakan anggaran 9,3 triliun rupiah untuk merehabilitasi 138 ribu kelas tingkat sekolah dasar (SD) yang masih rusak.

“Total kebutuhan anggaran yang dibutuhkan 14 triliun rupiah. Sisa kekurangan anggaran akan disediakan tahun depan,” ujarnya. Fasli menyebutkan jumlah SD, termasuk madrasah ibtidaiyah (MI), yang dibangun pada masa SD Inpres 178 ribu unit.

Pada saat itu, karena mengejar target jumlah, kualitas bangunan sederhana. “Sekarang sekolah itu sudah mulai berguguran, dan ini yang kita rehabilitasi setiap tahun.

Tahun ini mengeluarkan 9,3 triliun rupiah,” katanya. Anggaran tersebut, lanjut Fasli, adalah untuk membangun ruang kelas baru, merekonstruksi, sampai dengan memperbaiki.

“Kita harapkan SD-SD yang berguguran itu sudah bisa kita perbaiki,” katanya.
cit/G-1
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56401

Penelitian Jam Belajar

Sekolah, Lebih Siang Lebih Bermanfaat?
Kamis, 8 Juli 2010 | 18:20 WIB

M.LATIEF/KOMPAS.COM
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine pada Juli ini mengindikasikan, memundurkan jam sekolah memberikan manfaat besar bagi para siswa.
KOMPAS.com - Sebuah penelitian terbaru di Amerika Serikat (AS) ini memberikan gambaran, betapa anak-anak sekolah membutuhkan istirahat dan tidur yang cukup guna menyerap pelajaran dengan lebih baik. Penelitian dilakukan dengan memundurkan jam masuk sekolah 30 menit lebih telat dari jadwal sekolah pada umumnya.

Akan banyak tantangan bagi sekolah umum untuk menerapkan usulan ini, seperti padatnya jadwal angkutan dan kesibukan orang tua.
-- Judith Owens

Penelitian kecil itu dilakukan di sebuah sekolah di Rhode Island. Pihak sekolah memundurkan jam masuk 30 menit lebih telat dari jadwal sekolah pada umumnya.
Namun, penelitian dirancang untuk melihat perubahan kebiasaan tidur serta perilaku, tidak bertujuan untuk memonitor kinerja akademis para siswa. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine pada Juli ini mengindikasikan, memundurkan jam sekolah memberikan manfaat besar bagi para siswa.
"Hasilnya menakjubkan. Kami sama sekali tak menyangka," kata Patricia Moss, dekan akademis St. George's School di Middletown Rhode Island.
Banyak tantangan
Menerapkan jam masuk sekolah lebih siang 30 menit dari jam sekolah pada umumnya membuat para siswa lebih konsentrasi terhadap pelajaran di kelas. Suasana hati siswa pun cenderung baik, selain juga dapat mengurangi kasus keterlambatan dan membuat para murid menyempatkan diri untuk sarapan sehat.
Para peneliti mengatakan, banyak alasan yang membuat pemunduran 30 menit itu dapat membuat perbedaan besar. Dikatakan para peneliti itu, remaja cenderung tengah berada dalam kondisi tidur lelap ketika mereka harus bangun untuk pergi sekolah di pagi hari. Kekurangan tidur ini dapat membuat mereka linglung, terutama yang sulit tidur sebelum pukul 11.00 malam.
Dr Judith Owens, peneliti sekaligus dokter anak di Hasbro Children's Hospital di Providence mengatakan, temuan ini adalah sesuatu yang ilmiah dan menguatkan bukti, bahwa mengubah jam masuk sekolah memberikan manfaat bagi anak remaja.
Owens bilang, adalah sebuah fakta, bahwa studi eksklusif yang hanya dilakukan di St. George's School, Middletown, ini tidak melemahkan hasil penelitian. Namun dia mengakui, akan ada banyak tantangan bagi sekolah-sekolah umum untuk menerapkan usulan ini, seperti padatnya jadwal angkutan dan kesibukan orang tua.
Kendati begitu, beberapa sekolah di Minneapolis dan West Des Moines telah menerapkan usulan ini. Dalam risetnya, para peneliti melakukan survei terhadap kebiasaan tidur pada 201 siswa SMA selama 9 minggu.
Hasil survei tersebut ternyata mengesankan. Sekolah-sekolah pun lantas membuat perubahan permanen terhadap jam masuk sekolah. Jam masuk yang biasanya pukul 08.00, dibuat mundur menjadi 08.30.
Kemudian, setiap jam pelajaran dipotong 5 hingga 10 menit. Ini dilakukan agar jam pulang sekolah tetap pada jam normal dan mencegah jam pulang lebih siang sehingga akan mengganggu aktivitas anak di luar sekolah.
Hasilnya, terdapat peningkatan laporan pada siswa yang tidur sedikitnya selama delapan jam dari 16 persen menjadi hampir 55 persen. Laporan siswa yang mengantuk di siang hari pun turun dari 49 persen menjadi 20 persen.
Laporan siswa yang kesiangan juga dilaporkan menurun hingga setengah. Para siswa juga mengaku tak lagi merasa terlalu tertekan atau kesal. Plus, kunjungan pada bagian kesehatan yang kini menurun drastis. Sementara permintaan sarapan pagi yang disiapkan bagi siswa meningkat dua kali lipat.
Moss mengatakan, siswa yang menyempatkan sarapan sehat dapat membantu konsentrasinya saat pelajaran. Penelitian mengatakan, jika sekolah masuk siang murid akan mudah konstresi.
Tidak cocok
Sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat keputusan memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB, banyak pelajar harus bangun lebih pagi sehingga waktu tidur mereka berkurang. Dan memang, sampai saat ini belum ada studi khusus tentang dampak dimajukannya jam masuk sekolah di Jakarta.
"Tidak usah dilakukan penelitian juga memang akan begitu”, ujar pakar pendidikan Dr Anita Lie kepada Kompas.com di Jakarta, Kamis (8/7/2010), menanggapi hasil penelitian tersebut.
Anita mengatakan, hal tersebut dikarenakan stamina siswa telah meningkat sehingga mereka menjadi lebih konsentrasi. Di luar negeri, sekolah siang diterapkan karena mereka hanya bersekolah saat musim gugur dan semi, sedangkan pada musim panas siswa diliburkan selama dua bulan.
Menurutnya, di Indonesia pengaturan waktu seperti itu tidak cocok. Indonesia merupakan negara tropis, sehingga kelembaban udaranya tinggi dan membuat tubuh mudah letih.
“Di Indonesia masuk siang tidak cocok, sekolah cukup satu shift saja, sedangkan untuk siang hari seharusnya kegiatan ekstrakulikuler,” ujar dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Widya Mandala Surabaya ini.
Dia melanjutkan, sekolah full day pun tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal itu karena sekolah di Indonesia rata-rata sudah menggunakan AC, sehingga akan berdampak pada pemanasan global yang semakin parah. Apalagi, kata dia, sekarang sekolah tidak punya pilihan lain selain menggunakan AC.
"Contoh saja Singapura, yang merupakan negara maju, sekolah tidak menggunakan AC," ujar peraih gelar Doktor Bidang Kurikulum dan Pengajaran dari Baylor University, Texas, AS, ini.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/07/08/18201832/Sekolah..Lebih.Siang.Lebih.Bermanfaat

Minggu, 04 Juli 2010

Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan

Oleh
INOM NASUTION

Abstrak

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pergeseran ke desentralisasi membuat daerah memiliki otonomi penuh. Pendidikan merupakan salah satu komponen dalam pembangunan daerah. Berdasarkan UU otonomi pendidikan juga memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Walaupun dalam arti menjadi bagian dari komponen-komponen pembangunan daerah. Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ialah semakin optimalnya pengelolaan sekolah dan makin meningkatnya kualitas pendidikan. Namun, dalam perjalanan awal otonomi daerah yang meliputi juga otonomi pendidikan muncul fenomena berdampak semakin dinomorduakan pendidikan. Hal itu dapat dilihat dari semakin melemahnya kualitas pendidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui otonomi daerah mencakup antara lain sarana prasarana, kesejahtaraan guru, rekrutmen guru dan penempatan guru, kurikulum , peran serta masyarakat, serta dana operasional.



A. Pendahuluan

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pergeseran ke desentralisasi membuat daerah memiliki otonomi penuh. Otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan potensi daerah masing-masing, serta masyarakat, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan daerah atas prakarsa sendiri.
Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi mengisyaratkan peran serta masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Selain itu wujud otonomi berada pada titik sentral di tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota.
Realisasi otonomi daerah sudah dimulai sejak keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Tentang pemerintahan di daerah yang mengatur tiga jenis asas pemerintahan di daerah, yaitu 1) asas desentralisasi, 2) asas dekonsentrasi, dan 3) asas perbantuan. Lebih lanjut undang-undang ini menegaskan tentang pokok-pokok pemerintahan otonomi daerah dimaksudkan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Silverius, 2002: 1) . Namun, konsep ini dipandang tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan keadaan, sehingga konsep penggantinya tertuang dalam UU No.22, Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Di dalam undang-undang ini diberikan beberapa batasan istilah, diantaranya 1) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 2) daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara kesatuan RI. Ternyata realisasi otonomi daerah masih menghadapi kendala sehingga muncul Undang-Undang Otonomi Daerah No 32 tahun 2004. Dalam UU tersebut Bab VII, Pasal 150 (1) menyatakan “Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional”. (Fokus Media, 2004:91) . Berarti semua komponen pemerintahan yang termasuk dalam wilayah otonomi menjadi satu kesatuan dalam pembangunan daerah.
Pendidikan merupakan salah satu komponen dalam pembangunan daerah. Berdasarkan UU otonomi pendidikan juga memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Walaupun dalam arti menjadi bagian dari komponen-komponen pembangunan daerah.
Bagaimana sebenarnya realisasi pelaksanaan otonomi pendidikan menjadi bagian otonomi daerah. Inilah permasalahan yang dikaji dalam makalah ini.

B. Pembahasan
1. Proses otonomi pendidikan
Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ialah semakin optimalnya pengelolaan sekolah dan makin meningkatnya kualitas pendidikan. Namun, dalam perjalanan awal otonomi daerah yang meliputi juga otonomi pendidikan muncul fenomena berdampak semakin dinomorduakan pendidikan. Hal itu dapat dilihat dari semakin melemahnya kualitas pendidikan.
Tidak semua daerah memiliki kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sama. Ada daerah yang memiliki sumber daya yang cukup untuk segera merealisasi otonomi dalam semua komponen, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun ada daerah yang tidak atau belum memiliki sumber daya yang memadai untuk merealisasi otonomi baik untuk daerah maupun untuk pendidikan. Dengan demikian pemerintah pusat belum melepaskan komponen daerah yang masih dalam kondisi belum memiliki sumber daya yang memadai. Antara lain komponen yang dimaksud adalah sektor pendidikan.
Berdasarkan pengamatan penulis dari berbagai media menunjukkan bahwa pendidikan sebagai komponen otonomi daerah masih belum memiliki sumber daya manusia yang memadai. Tenaga kependidikan dan guru masih memiliki latar belakang pendidikan yang belum memenuhi ketentuan.
Kondisi Sektor pendidikan yang demikian jika dilepaskan dari pemerintah pusat menurut hemat penulis dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pendidikan daerah. Penurunan itu sekaligus akan mempengaruhi kualitas pendidikan nasional. Apalagi kalau dilihat komponen aparat pemerintahan di daerah yang ternyata sangat sedikit memiliki latar belakang kualifikasi dalam bidang pendidikan. Akibatnya sektor pendidikan di daerah tidak dijadikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan daerah.
Sebenarnya komponen pendidikan merupakan komponen utama pembangunan daerah. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah, pendidikan harus menjadi ujung tombak pembangunan daerah.
Hadiyanto mengemukakan bahwa “Sisi lain dari kesiapan sumber daya manusia adalah belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada.” (Hadiyanto, 2004: 43) Selanjutnya Sidiyanto mengatakan bahwa “ . . . . . kemampuan pemerintah untuk mengangkat pendidikan sebagai wahana penting perbaikan sumber daya manusia Indonesia, masih terasa berat” (Hadiyanto:2004:45) . Hal ini juga sebagai dampak dari Negara kita belum mampunyai target dalam mengejar laju pertumbuhan ekonomi nasional dan kemampuan keuangan Negara yang masih terasa tersendat.
Meskipun otonomi pendidikan sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum menunjukkan suatu sinkronisasi. Pemerintah Daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan bahwa otonomi pendidikan masih memerlukan waktu untuk sosialisasi bagi Dinas Pendidikan di tingkat daerah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat pada umumnya.

2. Upaya peningkatan mutu pendidikan
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui otonomi daerah mencakup antara lain sarana prasarana, kesejahtaraan guru, rekrutmen guru dan penempatan guru, kurikulum , peran serta masyarakat, serta dana operasional.
Sarana dan prasarana merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Ruang kelas, ruang praktek, laboratorim, perpustakaan, gedung administrasi, buku pelajaran, alat dan media pendidikan dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh dan standar sesuai dengan kebutuhan sekolah. Dalam hal ini termasuk juga pengadaan seperangkat computer dan internet. Dengan demikian untuk meningkatkan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan sekolah yang memerlukan. Terutama didaerah terpencil harus lebih utama diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Peran serta masyarakat dalam masyarakat sesungguhnya adalah konsep pendidikan yang lebih banyak menggunakan masyarakat itu sendiri sebagai wahana pendidikannya. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi mengatakan bahwa “Pendidikan berbasis masyarakat hanya dapat berlangsung efektif apabila diawali dari kebutuhan-kebutuhan akan produk-produk pendidikan tertentu yang memang ada di masyarakat tersebut” (Depdiknas: 2001:215) . Dari kutipan ini dipahami bahwa dasar pendidikan yang akan dikembangkan sebenarnya telah ada dalam setiap masyarakat, dan untuk mengoptimalkan produk pendidikan tersebut diperlukan perhatian, dukungan, bimbingan, pengawasan, dan evaluasi dari pemerintah terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan Daerah di bawah dukungan Pemerintah Daerah.
Dana operasional untuk pengembangan program pendidikan sekaligus peningkatan kualitas pendidikan di daerah memerlukan dukungan dana baik dari Pemerintah Daerah maupun dari Pemerintah Pusat. Dalam periode transisi otonomi pendidikan, tentu saja tidak semua daerah mampu untuk berotonomi secara finansial secara drastis, tetapi memerlukan waktu hingga mampu untuk berjalan secara otonomi penuh. Sebagaimana dicatumkan dalam Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 46, ayat 1, bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.” (Depdiknas, 2003: 31) . Selanjutnya pada Pasal 46, ayat 2 dikatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31, ayat 4, UUD 1945.” (Depdiknas, 2003: 31) . Seyogyanya masyarakat dibebaskan dari beban biaya pendidikan bagi anak-anaknya, jika seandainya pemerintah benar-benar konsekwen dengan apa yang dimaktubkannya dalam Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, pada Pasal 49, ayat 1 yang mengatakan bahwa “dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. (Depdiknas: 2003:32)
Melalui otonomi pendidikan maka sekolah diberikan peluang dan kewenangan untuk mengelola sumber daya dengan cara mengalokasikannya sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Terkait dengan hal itu, kurikulum berbasis kompetensi memberi peluang dan kewenangan pada Pemerintah Daerah dan/atau sekolah untuk lebih otonom dalam mengembangkan dan mengoperasionalisasikan pembelajaran di sekolah sesuai dengan potensi yang ada di daerah atau di sekolah masing-masing. Sebelum berotonomi pendidikan, isi kurikulum pendidikan di sekolah ditentukan oleh pemerintah dan tidak bebas dari keinginan atau orientasi pemerintah sebagai penguasa Negara dengan tujuan-tujuannya. Sementara Suparno, et al mengatakan bahwa “Kurikulum mesti dikritisi sehingga memberi peluang kepada siswa untuk memilih bahan pelajaran yang paling sesuai dengan minat dan peluang karir di masa depan.” (Suparno, et al, 2002:70). Dengan demikian pendapat yang berbeda dapat ditampung agar dapat mengakses kajian bila terdapat kesenjangan antara realitas dan pemahaman isi kurikulum dikalangan para siswa. Dengan program otonomi pendidikan, diharapkan formulasi kurikulum dapat lebih diarahkan kepada kebutuhan dan potensi daerah masing-masing.
Guru berkualitas tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan sesuai bidang keahliannya, tetapi juga yang mampu memperhatikan proses mentransfer ilmu pengetahuan tersebut, sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan suasana hati yang nyaman, memahami dan mampu melaksanakan kegiatan secara ilmiah sesuai jenjang pendidikannya. Guru yang berkualitas memadai adalah yang dapat berkonsentrasi penuh dengan tugas dan kewajibannya sebagai tenaga pendidik setelah kebutuhan pokok hidupnya telah terpenuhi. Bangsa Indonesia sejauh ini belum mampu menghargai guru sebagaimana mestinya dengan imbalan gaji yang memadai. Apa yang dibalik semua ini adalah menjadi guru merupakan pilihan profesi terakhir. Hadiyanto mengemukakan bahwa “Akibat dari penghargaan masyarakat terhadap guru yang rendah itu maka guru tidak mampu bangkit untuk meng-update ilmunya sehingga menjadi seperti lingkaran syetan, kualitas mereka rendah dan kembali lagi dibayar murah.” (Hadiyanto, 2004: 27). Untuk mendapatkan tenaga guru dengan kualitas tinggi, pemerintah mau tidak mau harus memperhatikan kesejahteraan mereka.
Berkenaan dengan rekrutmen dan penempatan guru, Jalal mengemukakan:
Untuk mendukung kebijakan rekrutmen calon guru yang mengutamakan daerah asal, maka rekrutmen calon mahasiswa LPTK harus pula memperhatikan peta pesebaran guru di setiap kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan untuk itu, calon mahasiswa direkrut berdasarkan kebutuhan daerah-daerah yang dilayaninya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa “perlu dibelakukan sistem pengangkatan, penempatan, dan pembainaan tenaga kependidikan yang memungkinkan para guru untuk mengembangkan diri dan karirnya secara lebih luas sehingga, sebagai tenaga profesional, mereka dapat menyandarkan kesejahteraan hidupnya melalui pengabdian optimal bagi layanan profesionalnya” (Jalal dan Dedi Supriadi, 2001: 223)

Walaupun terlihat bahwa di tingkat provinsi kebutuhan guru sudah mencukupi, misalnya karena standar guru SD mengajar dalam kelas, tetapi di beberapa daerah terpencil masih kekurangan guru. Pemecahan masalah ini dilakukan dengan memindahkan guru dari daerah yang berlebihan guru. Namun setelah dilaksanakannya otonomi daerah, cara ini menjadi sulit dilakukan, karena di beberapa daerah menolak menerima guru dari daerah lain. Lagipula tenaga guru yang ada masih terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota di luar Jawa. Dengan demikian diperlukan kebijakan pemerintah untuk mempermudah pemindahan dari satu daerah ke daerah lain.

C. Kesimpulan

Dari uaraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, Pemberian wewenang otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan potensi daerah masing-masing, serta masyarakat, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan atas prakarsa sendiri. Otonomi pada tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota.
Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ialah semakin optimalnya pengelolaan sekolah dan makin meningkatnya kualitas pendidikan. Namun, dalam perjalanan awal otonomi daerah yang meliputi juga pendidikan telah terjadi fenomena yang dapat berdampak semakin dinomor duakan pendidikan dan semakin melemahnya kualitas pendidikan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui otonomi daerah mencakup antara lain sarana prasarana, kesejahteraan guru, rekrutmen guru dan penempatan guru, kurikulum, peran serta masyarakat, serta dana operasional.