Jumat, 26 November 2010

Sertifikasi Guru Bukan Jaminan

Program sertifikasi guru dengan model portofolio yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 2006 lalu pada kenyataan tidak menjamin peningkatkan kualitas guru. Meski hasil penilaian portofolio dinyatakan lulus, namun tidak serta merta mampu meningkatkan kompetensi guru tersebut.

Hasil kajian yang dilakukan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski telah lulus sertifikasi, namun tetap tidak mampu mendongkrak kompetensi guru. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.

“Kenyataan itu menunjukkan bahwa program sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2006 itu tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Bahkan sekalipun guru telah menerima tunjangan profesi bukan berarti mereka telah memilkiki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang,” kata Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi.

Kondisi tersebut terjadi karena banyak faktor, utamanya guru mengikuti program sertifikasi berkaitan dengan masalah finansial. Saat guru yang masuk dalam kuota mengikuti program sertifikasi dinyatakan lulus, maka tunjangan profesi sebesar satu kali gaji akan diperoleh guru tersebut.

Fenomena tersebut terlihat sejak pemerintah pada tahun 2006 mulai menerapkan kebijakan sertifikasi guru, maka bersamaan dengan berlakunya kebijakan itu semakin banyak guru khususnya guru tingkat sekolah dasar (SD) yang beramai-ramai melanjutkan pendidikan demi meraih ijazah sarjana (S1) yang menjadi salah satu persyaratan untuk mengikuti program sertifikasi.

Efeknya banyak guru yang panik dan kemudian secara “sembarangan” mencari perguruan tinggi yang ada di daerahnya masing-masing agar bisa melanjutkan pendidikannya dan secara cepat bisa meraih gelar sarjana tanpa memperdulikan kualitas pendidikan sarjana yang diperolehnya.

Kalangan guru mengakui cara tersebut semata-mata agar bisa lolos tahapan untuk memenuhi pesyaratan seleksi sertifikasi guru dengan model portofolio.

“Kebanyakan dorongan utama untuk melanjutkan kuliah hanya untuk mengejar sertifikasi guru, bukan peningkatan kualitas guru. Dengan memegang ijasah S1, berarti guru sudah memenuhi syarat untuk ikut sertifikasi guru kalau lolos, maka akan ada penambahan gaji pokok 100 persen,” kata Ida Kastiargo, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Cipinang Jakarta Timur.

Terkait dengan peningkatan kualitas guru setelah menyandang gelar sarjana, ujar Ida hal itu masih perlu dipertanyakan sebab perguruan tinggi yang dipilih pun tidak jelas statusnya.

Dalam kondisi normal tanpa ada iming-iming penambahan tunjangan profesi melalui program sertifikasi, kualitas mengajar kebanyakan guru masih perlu dipertanyakan. Dari sekitar 2,6 juta guru hanya sebagian kecil saja yang sudah menyandang gelar S1 bidang yang relevan dengan latar belakang profesinya, bahkan sebanyak 1,2 juta di antaranya adalah guru sekolah dasar (SD) yang sebagian besar belum memiliki pendidikan sarjana (SI).

Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Nanang Fatah menyatakan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena kualifikasi dan kompetensinya tidak sesuai. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di negeri.

Kondisi rendahnya kualitas para guru pun tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi dan geografis yang heterogen kemudian memunculkan kisah ironis terkait program sertifikasi, seperti ruang kuliah yang setiap akhir pekan dipenuhi oleh para “orang tua” alias guru-guru senior, rata-rata guru tersebut bertugas di desa sehingga terpaksa harus mencari tumpangan sana sini serta banyak guru yang mengalami masalah konsentrasi saat kuliah berlangsung akibat terlalu banyak pikiran.

Tantangan

Hasil kajian Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski lolos sertifikasi, nilai kompetensi guru rata-rata di angka kisaran 52-64 persen. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.

Adapun kompetensi yang dinilai pada kajian itu, antara lain, kompetensi pedagogik yang terkait dengan kemampuan mengajar, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Rata-rata nilai untuk kompetensi pedagogik para guru yang lolos sertifikasi sebesar 54,33 persen, nilai kompetensi kepribadian 52,37 persen, kompetensi profesional 64,36 persen dan kompetensi sosial sebesar 53,92 persen.

Kajian tersebut menyatakan guru yang dinyatakan lulus sertifikasi melalui penilaian portofolio menunjukkan tidak meningkat kinerjanya. Bahkan, sebagian guru menunjukkan adanya penurunan kinerja.

Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga kependidikan(PMPTK) Depdiknas, Baedhowi mengakui kondisi tersebut sebagai tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah, yakni bagaimana meningkatkan nilai kompetensi guru-guru yang telah lolos sertifikasi.

Menurut Baedhowi sebenarnya hasil kajian tersebut merupakan kenyataan yang ada di lapangan. Dimana hampir 98 persen guru yang mengikuti sertifikasi dikarenakan alasan finansial.

Kenyataan ini menunjukkan proses sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru. Bahkan meski mereka telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti mereka telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, katanya.

Kondisi itu terlihat sangat wajar jika melihat latar belakang pendidikan guru. Baedhowi menyebutkan dari sekitar 2,6 juta guru pegawai negeri sipil (PNS), baru sekitar 40 persen yang memiliki kualifikasi pendidikan diploma 4 atau sarjana (S-1). Sedangkan sisanya sebanyak 60 persen memiliki kualifikasi di bawah D-4 atau S-1.

Sebanyak 60 persen dari 2.607.311 tenaga pendidik di Indonesia baik guru taman kanak-kanak (TK), pendidikan dasar dan menengah negeri maupun swasta belum memenuhi standar kualifikasi akademik.

“Dari 2.607.311 guru itu baru sekitar 1.043.000 (40 persen) yang telah menyelesaikan pendidikan diploma empat atau sarjana (S 1). Sedangkan sisanya yang berjumlah sekitar 1.564.311 orang (60 persen) belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat atau sarjana,” ujarnya.

Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk program beasiswa bagi para guru yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya hingga S-1. Namun, karena jumlah yang perlu dibantu sangat banyak, prosesnya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana pemerintah, tuturnya.

Guru yang sekarang ini belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat (D4) atau sarjana (S1) agar melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang terakreditasi.

“Bagi guru yang melanjutkan studi harus di perguruan tinggi yang telah terakreditasi, sebab kalau mereka itu asal melanjutkan, ijazahnya tidak akan diakui,” katanya.

Untuk pelaksanaan peningkatan standar kualifikasi akademik guru ini telah dilakukan kerja sama dengan 81 perguruan tinggi negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh tanah air.

“Silakan bagi para guru yang belum memiliki latar belakang pendidikan D4 atau S1 untuk ikut masuk program pendidikan tersebut di perguruan tinggi yang telah ditunjuk, agar tidak keliru di kemudian hari,” katanya.

Namun demikian, menurut Baedhowi terpenting yang harus dilakukan adalah mengubah mindset guru bahwa sertifikasi harus dilihat sebagai upaya untuk mengukur dan meningkatkan kompetensi mereka, tak semata-mata disikapi sebagai upaya memperoleh peningkatan kesejahteraan.

Oleh sebab itu, pihaknya akan terus mendorong para guru untuk meningkatkan kompetensi pasca sertifikasi. Kedua paradigma berpikir guru itu sebenarnya harus ditanamkan pada guru jauh sebelum proses sertifikasi agar tidak terjadi rekayasa yang tidak dibenarkan.

Realita kompetensi guru pascasertifikasi yang belum menunjukkan adanya peningkatan seperti yang diharapkan, seharusnya tidak dianggap sebagai masalah melainkan tantangan terutama bagi guru.

Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional dan kompeten pasca sertifikasi, ujarnya dilaksanakan melalui Program Peningkatan Profesionalisme Berkesinambungan (Continuous Professional Development/CPD).

Program tersebut telah diterapkan banyak negara maju dan berkembang, dan diyakini cukup efektif dalam memelihara dan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru.(*Zita Meirina/an/z)
http://matanews.com/2009/11/23/sertifikasi-guru-bukan-jaminan/
sumber

Kamis, 25 November 2010

Sekolah Partikelir Gugat UU Sisdiknas

JAKARTA, KOMPAS.com — Kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama lewat pendidikan dasar sembilan tahun bagi semua anak bangsa yang masuk dalam usia wajib belajar, dinilai diskriminatif.

Pasalnya, pemerintah tidak memberikan perlakuan yang setara dalam membiayai pelaksanaan pendidikan dasar di sekolah negeri dan partikelir atau swasta.



Padahal, sekitar 80-90 persen sekolah swasta membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan dasar yang berkualitas bagi anak-anak bangsa yang bersekolah di perguruan swasta.

Namun, pemerintah dan pemerintah daerah tidak memberikan kontribusi yang memadai dan tidak memberikan kepastian adanya bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata seperti yang didapat sekolah-sekolah negeri.



E Baskoro Poedjinoegroho dari Tim Advokasi Keadilan Pelayanan Pendidikan Dasar untuk Anak Bangsa di Jakarta, Senin (22/11/2010), menyatakan, sikap pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak merasa wajib memerhatikan sekolah swasta itu karena mengacu pada Pasal 55 Ayat 4 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Di ayat itu disebutkan, lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.



Kata dapat pada pasal tersebut, ujar Baskoro, bermakna jamak, yakni bisa memperoleh bantuan atau bisa tidak memperoleh bantuan. Padahal, dalam Pasal 31 UUD 1945 Pasal 2 disebutkan tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan dasar, termasuk yang diselenggarakan oleh masyarakat.



Sekolah-sekolah swasta pun berjuang menghapuskan diskriminasi pemerintah, terutama di jenjang pendidikan dasar.

Perwakilan masyarakat dari perguruan swasta yang diwakili Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria) menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi UU Sisdiknas Pasal 55 Ayat (4), terutama karena pencantuman kata dapat.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/23/07195184/Sekolah.Partikelir.Gugat.UU.Sisdiknas
sumber:

HARI GURU NASIONAL

Mendiknas: Guru Perlu Introspeksi Diri
Kamis, 25 November 2010 | 10:32 WIB
LASTI KURNIA/KOMPAS IMAGES

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada hari Kamis (25/11/2010) diperingati oleh semua guru Indonesia. Dalam upacara HGN di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengucapkan terima kasih kepada semua guru Indonesia atas dedikasinya terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Meski guru terkadang kurang menerima haknya, kurangnya itu bisa dijadikan investasi ke depan kepada masyarakat.
-- Mohammad Nuh

"Guru memiliki peran penting untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang mampu membangun karakter jujur, teguh, peduli," kata Nuh.

Nuh mengatakan, HGN kali ini mengambil tema "Memacu Peran Strategis Guru dalam Mewujudkan Guru yang Profesional, Bermartabat, dan Sejahtera". Dari tema tersebut, lanjut Nuh, ada tiga hal yang dapat dipetik dari peringatan HGN tahun ini. Pertama, HGN sangat baik untuk dijadikan ajang refleksi diri para guru.

"Meski guru terkadang kurang menerima haknya, kurangnya itu bisa dijadikan investasi ke depan kepada masyarakat," tandas Nuh.

Kedua, HGN diharapkan menjadi upaya introspeksi. Ketiga, HGN sebagai upaya menatap masa depan lebih baik dan menggapai cita-cita luhur. Berdasarkan hal itu, lanjut Nuh, ada tiga tugas penting yang harus diemban oleh seorang guru, yaitu mengajarkan ilmu, membentuk karakter yang mulia, serta menanam optimisme dan cita-cita positif.

"Jika guru berhasil menggabungkan ketiga tugas penting ini, maka sekolah akan menjadi rumah untuk membentuk kepribadian yang mulia bagi anak didik," tambah Nuh.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/25/10321566/Mendiknas:.Guru.Perlu.Introspeksi.Diri

HARI GURU NASIONAL

Zaman Guru dan Guru Zaman
Oleh Rahmah Purwahida

KOMPAS.com - Murid adalah sosok paling dekat dengan guru. Karena itu, ”arti” guru di hadapan murid sesungguhnya kunci sukses pendidikan.

Telah tercatat sekian ”rupa” guru dalam memartabatkan muridnya. Akan tetapi, apakah dari sekian zaman yang dilalui guru itu, ia telah benar-benar dicatat untuk dimartabatkan?

Setiap kali Hari Guru datang menjelang, kali itulah refleksi untuk dan bagi guru selalu didengungkan. Ada yang menyoal penderitaan-peruntungan sampai perjuangan-penghargaan.

Namun, semua itu akan terjawab dengan berbagai versi yang bermula dan bermuara dari arti guru bagi murid dalam setiap zaman. Penentuan arti tersebut tidak terlepas dari peranan perubahan situasi sosial, politik, dan budaya.

Guru dalam lintasan sejarah pendidikan bangsa ini pernah dikenal dalam empat arti, yaitu sepandai-pandainya orang di dunia, kaum cerdik-pandai, mesin transfer doktrin, dan sosok yang mampu mengartikulasikan dirinya sendiri. Ketika kemerdekaan belum menjadi euforia, bangsa ini menyadari bahwa guru adalah orang terpandai di dunia yang mampu mengobarkan semangat ilmu dan kebebasan. Sebab pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, ruang gerak memperoleh ilmu pengetahuan bagi bangsa ini dipersempit.

Sedikit sekali kaum pribumi yang beruntung bisa mengenyam pendidikan. Angka yang sedikit itu menjadikan mereka sangat berharga di hadapan muridnya.

Ki Hajar Dewantara, salah satunya. Ia tersohor dengan konsep Taman Siswa-nya dan menjadi salah satu sosok yang hingga kini dikenal sebagai orang yang sangat pandai. Ketika itu, kemarahan guru adalah hal yang ditakuti muridnya. Perasaan ”durhaka” seakan menghampiri benak para murid bila kemarahan Sang Guru datang, tetapi bukan karena rasa takut melainkan sebab rasa hormat.

Masa itu kemudian bergerak menuju era pencapaian kemerdekaan. Masa sekolah berkembang ke seluruh negeri. Jumlah lulusan yang melanjutkan ke sekolah-sekolah menengah dan berbagai universitas di pusat-pusat kota meningkat pesat. Sedikit bergeserlah arti guru bagi muridnya, menjadi kaum cerdik pandai. Arti itu mulai membuka kesadaran bahwa guru adalah sosok terdidik yang patut dihormati tetapi ia juga memiliki dunia sendiri yang mulai dapat dirambah oleh muridnya.

Murid mulai mengenal guru sebagai sosok yang galak dan semua perintahnya harus dipatuhi. Kepatuhan murid terhadap guru mulai mengembang sebagai bentuk rasa ”takut” yang acap kali nihil dari kesadaran menghormati dan menghargai. Lantas datanglah masa di mana kelas-kelas dijadikan alat melanggengkan ”bapak pembangunan”. Guru dituntut ”berseragam” baik dalam pikir, tindak, dan ucap, sampai me- milih partai politik dalam pemilihan umum.

Begitu pula yang terjadi pada murid, turut diseragamkan pula. Murid-murid yang masuk dengan latar belakang sosial, ekonomi, agama, dan kebudayaan yang berbeda dicetak menjadi sama sesuai versi ”bapak”. Seragam sekolah merupakan suatu kewajiban yang menghapus perbedaan-perbedaan para murid dan menjadikan mereka tampil dengan citra sebagai murid yang manut.

Lama-kelamaan, daya kritis murid-murid itu membeku dan suara mereka mulai menyerupai ”bebek” yang siap menyanyikan ”lagu” kesayangan ”bapak”. Inilah masa guru diartikan sebagai mesin transfer doktrin dari ”bapak pembangunan”.

Kini, tibalah masa di mana reformasi bergulir dan ruang bagi guru untuk mengartikulasikan dirinya sendiri dibuka dengan lebar. Hanya persoalannya apakah ruang-peluang tersebut telah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan, memanusiakan manusia. Itulah tantangan dan pertanyaan yang segera harus dijawab oleh guru zaman.

Guru zaman

Mohammad Natsir adalah sosok guru yang kemurnian sosoknya tak lekang oleh zaman. Hidupnya dipenuhi idealisme memajukan bangsanya melalui dunia pendidikan meskipun ia bukanlah lulusan ”sekolah” kependidikan.

Setelah tamat Algemene Middelbare School (AMS), ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Ia juga giat mendanai, mengajar, dan membuka lapangan kerja bagi guru. Tidak segan ia menggadaikan perhiasan istrinya untuk memperpan- jang kontrak tempat ”sekolah” itu. Ia juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool.

Semangat memberi tanpa mengharap itu hidup dan menghidupi dirinya untuk berjuang mencerdaskan bangsanya. Aura Natsir kini hidup kembali. Lahir dalam rupa Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai Anies Baswedan (Tempo, 21/11). Hanya sebanyak 51 peserta yang dipilih dari 1.383 pemuda dan pemudi yang melamar.

Para pengajar muda ini lulusan strata satu dengan prestasi akademik dan non- akademik skala nasional dan internasional. Mereka rela meninggalkan segala profesi yang menggiurkan dan memilih mendidik murid-murid di daerah yang belum dijamah oleh program kemakmuran pendidikan. Hanya saja, Indonesia tidak cukup dengan 51 ”generasi penerus Natsir” itu.

Bagaimana dengan sekian jumlah penyandang status guru yang tersebar di sekian sekolah kini? Sudahkah semangat Natsir hidup dan menghidupi perjuangan mereka dalam mendidik? Sebab kenyataannya bangsa ini membutuhkan guru zaman yang tidak sedikit jumlahnya untuk mengatasi problem pendidikan yang juga tidak sedikit.

Guru yang hasil perjuangannya tak lekang oleh zaman mampu mendidik murid-murid yang tidak tergilas zaman. Murid-murid itu akan mampu memartabatkan diri dan bangsanya. Tentu penuh kesadaran untuk memartabatkan gurunya. Dengan demikian, persoalan penderitaan-perjuangan guru akan digantikan dengan peruntungan-penghargaan sesuai ”arti” guru yang sesungguhnya. Tabik!

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/25/15074116/Zaman.Guru.dan.Guru.Zaman

Sabtu, 13 November 2010

RSBI/SBI

Ah, Apanya yang Internasional?
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.
Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi pembenar bagi sekolah melakukan pungutan. Ini keliru besar.
-- Mochtar Buhori

Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan. Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.

Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11/2010), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.

Dana melimpah

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.

Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.

Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.

Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.

”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.

Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris. (ELN)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/06/10290178/Ah..Apanya.yang.Internasional.

RSBI

Tak Perlu Mentah-mentah "Copy Paste"

BANGKOK, KOMPAS.com - Untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak perlu melalui pendirian sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Justru akan lebih efektif jika pemerintah memusatkan perhatian pada metode dan proses pengajaran, baik di RSBI maupun non-RSBI.
Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri.
-- Hywel Coleman

Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11/2010) di Bangkok, Thailand.

Bahkan, lanjut Whitehead, RSBI sebenarnya bisa mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan tetap berdasarkan kurikulum nasional. Pemerintah tidak perlu mengambil mentah-mentah contoh kurikulum dari negara lain.

”Jangan justru mendahulukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh,” kata Whitehead.

Hal senada diutarakan konsultan pendidikan di British Council Indonesia, Hywel Coleman. Ia mengaku khawatir RSBI justru menciptakan diskriminasi pendidikan yang semakin lebar. Apalagi, kurikulum RSBI sebagian diambil dari sekolah luar negeri.

”Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri,” kata Coleman.

Ia khawatir, banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan berkualitas baik, seperti di Pakistan dan Thailand. Karena sudah telanjur harus ada sesuai undang-undang, Whitehead dan Coleman menyarankan agar pemerintah mengawasi dan mengevaluasi RSBI, terutama efektivitas dalam pengajaran menggunakan bahasa Inggris.

”Sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah tentang RSBI,” kata Whitehead

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/12/11525916/Tak.Perlu.Mentah.mentah..quot.Copy.Paste.quot.

PENDIDIKAN SEJARAH

Empat Sebab Pelajaran Sejarah Mandek

JAKARTA, KOMPAS.com — Apa pun caranya, minat anak didik terhadap pelajaran Sejarah harus dibangkitkan kendati saat ini pembelajaran sejarah yang ideal masih jauh dari harapan. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menyangkut mulai dari sarana pembelajaran hingga sumber daya manusia atau guru Sejarah.
Materi esensial yang dimaksud adalah materi yang dimengerti oleh siswa untuk membangun nilai-nilai bangsa.
-- Ratna Hapsari

Hal ini terungkap dalam Diskusi Publik Nasional: Mengkaji Ulang Peranan Pendidikan Sejarah, Jumat (12/11/2010), di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).

Staf Program Pendidikan ISSI, Grace Leksana, mengatakan, beberapa faktor penyebab itu, pertama, adalah belum lengkapnya buku-buku dan sumber belajar yang tersedia secara gratis. Kedua, terbatasnya jam tatap muka dan adanya perbedaan materi ajar pendidikan Sejarah di program IPA, IPS, dan Bahasa. Ketiga, masih terbatasnya kegiatan pengembangan profesi guru Sejarah, baik dalam bentuk pelatihan, lokakarya, maupun seminar.

"Keempat, sangat terbatasnya peran guru Sejarah dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan, khususnya terkait dengan pendidikan Sejarah. Kelima, minimnya fasilitas dan pendanaan yang diberikan pemerintah pusat dan daerah terhadap pengembangan organisasi profesi guru Sejarah," urainya.

Ratna Hapsari, Ketua AGSI, mengaku sangat prihatin dengan kondisi kurikulum pendidikan Sejarah Indonesia saat ini yang terlalu padat. Seharusnya, kata dia, materi-materi yang disampaikan adalah materi yang esensial.

"Maksud esensial adalah materi dimengerti oleh siswa untuk membangun nilai-nilai bangsa," ujar Ratna.

Sebagai contoh, lanjut dia, pada materi sejarah zaman Majapahit, toleransi antaragama semestinya bisa dipelajari dan nilai-nilai positifnya bisa diambil anak didik. Namun, sekarang ini pelajaran Sejarah terbelenggu oleh kurikulum yang linear, yaitu bersifat menghafal.

"Setiap sejarah di Indonesia seharusnya dimaknai, dibenahi, dan dikembangkan lewat suatu metode diskusi, misalnya siswa harus bisa mempresentasikan apa yang didapatnya dari materi tersebut," lanjut Ratna.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan bahwa metode pembelajaran bisa dikembangkan melalui pelatihan secara intensif, berkesinambungan, dan yang terpenting harus memiliki kontrol. Ia mengatakan, pelatihan selama berbulan-bulan yang tanpa umpan balik bagi anak didik pada akhirnya hanya akan mengembalikan metode pembelajaran secara hafalan.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/12/16402418/Empat.Sebab.Pelajaran.Sejarah.Mandek

Kepsek penentu kemajuan pendidikan

MEDAN - Kepala sekolah (Kepsek) di Sumatera Utara, dinilai sangat berperan besar terhadap kemajuan dunia pendidikan, sebab dibawah kepemimpinannya yang bijaksana akan tercapai insan-insan yang intelektual.

"Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menerapkan sistem pembelajaran yang berbasis karakater, berbasis sains, berbasis lingkungan serta berbasis Informasi dan Teknologi (IT) di lingkungan sekolah yang dipimpinnya," kata Kepala Dinas Pendidikan, Hasan Basri, tadi malam.

Ia mengatakan, pihaknya telah mempersiapkan sosok kepala sekolah agar dapat membangun sekolah menjadi lebih baik. Dengan demikian sekolah dapat melahirkan insan yang berbudi pekerti, berdaya saing dan mampu memberikan pengabdian di tengah masyarakat melalui profesi yang dipilihnya.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan sosok kepala sekolah dimasa mendatang adalah dengan menggelar diklat calon kepala sekolah. Dengan diklat tersebut, calon kepala sekolah diharapkan dapat menata sekolah menjadi lingkungan belajar yang nyaman, kondusif, sehat dan segar.

Diklat tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas calon kepala sekolah secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi.

Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan calon kepala sekolah yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

"Kita juga berupaya Diklat ini untuk memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan pendidikan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat," katanya.

Menurut dia, karena persoalan pendidikan sangat kompleks, maka perlu dipersiapkan calon-calon kepala sekolah untuk menggantikan kepala sekolah yang telah selesai masa pengabdiannya, maupun untuk menggantikan kepala sekolah yang dianggap tidak cakap dan tidak mampu menjalankan tugasnya untuk memajukan kualitas pendidikan.

Apalagi, lanjut dia, dewasa ini salah satu fokus pembangunan kota Medan kedepannya adalah pembenahan persoalan pendidikan.

Karena memang pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks dan untuk memecahkannya harus dilakukan dengan semangat kebersamaan melalui sinergisitas yang tinggi.

"Untuk itu, program pembenahan pendidikan akan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari pembenahan prasarana dan sarana, peningkatan disiplin dan kualitas serta dedikasi para pelaku pendidikan dan peningkatan disiplin sekolah," katanya

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=156316:kepsek-penentu-kemajuan-pendidikan&catid=15:sumut&Itemid=28

Kamis, 11 November 2010

Festival Bercerita

Ketika Anak-anak Festival Bercerita
KOMPAS.com- Di Pulau Bali yang indah, ada anak laki-laki yang bernama Made. Ia malas berpikir dan sukanya tidur. Ayahnya menyuruh dia gembala ternak... Begitu awal cerita yang dinarasikan. Lalu, semua pengunjung yang memenuhi ruangan Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (11/11/2010) siang, matanya tertuju ke panggung.

Bayangkan, anak-anak yang masih duduk di taman kanak-kanak, bisa menyajikan cerita rakyat yang begitu menarik ditonton di pentas. Mereka anak TKK Penabur 10, Pantai Kapuk, yang mementaskan cerita rakyat Bali berjudul Made dan Keempat Sahabatnya.

Singkat cerita, ketika mengalami kesulitan karena didenda orangtua agar mengganti kehilangan ternak gembalaannya dengan 40 keping emas, Made mendapat pertolongan dari binatang-binatang yang ditolong Made sebelumnya.

Ketika suatu kerajaan menggelar perlombaan berhadiah emas, Made dan empat temannya ikut serta. Keempat teman Made juara di empat jenis perlombaan, tanpa kalah sekali pun. Sehingga, hadiah emas sebagian dari harta kekayaan kerajaan diraih Made dan kawan-kawan.

Dasar Made orangnya baik dan jujur, ia tak mau dikasih emas terlalu banyak. Cukup 40 keping saja. Ketika Made pulang membawa kepingan emas itu, orangtuanya kaget tak percaya. Ternyata Made ketika diberi tantangan, baru diketahui bahwa ia seorang anak yang cerdas, rajin, jujur, dan suka bekerja keras. Tidak seperti gambaran awal, pemalas dan suka tidur.

Kisah Made tersebut ditampilkan di panggung dengan baik, menarik, dan lucu di panggung Festival Bercerita IX, yang digelar Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) bekerjasama dengan BBJ, Grasindo, Kementerian Diknas, dan Mandiri Investasi.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengaku terharu dan bahagia. "Saya terharu dan merasa bahagia. Cerita rakyat membuat hati kita bangga. Selamat buat Pak Raden dan para guru," katanya.

Fasli Jalal, ketika membuka Festival Bercerita IX, membacakan cerita rakyat dari Manokwari, berjudul Masarasenani dan Matahari. Cerita berdurasi sembilan menit itu mampu dibawakan Fasli dengan sangat menggugah. Masing-masing tokoh, dibawakan Fasli dengan warna suara, intonasi dan tekanan, serta karakter yang berbeda.



Upaya mencerdaskan

Festival Bercerita yang rutin digelar sekali dua tahun sejak 20 tahun lalu berdirinya Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA), menurut Ketua KPBA Murti Bunanta, adalah upaya mencerdaskan bangsa lewat beragam acara yang bersifat edukatif.

"Kami menyelenggarakan festival ini selama bertahun-tahun dengan tujuan untuk melestarikan budaya membaca bahasa Indonesia dan keragaman Nusantara. Kami tidak hanya fokus kepada anak-anak, namun juga kepada guru-guru dengan cara memberikan pelatihan kepada pengajar anak-anak usia dini agar mereka memiliki keterampilan dalam menceritakan cerita-cerita yang sarat akan pesan moral kepada anak-anak," jelasnya.

Pada hari pertama Festival Bercerita, Duta Besar Slovakia Stefan Rozkopal, tidak saja menunjukkan kemampuannya bercerita kepada anak-anak, tetapi juga kemampuannya berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Stefan membacakan cerita berjudul Kancil dan Raja Hutan.

Sebaliknya, seorang murid kelas 6 SD di Surabaya bernama Jasmine Wirawan malah bercerita dalam bahasa Inggris. Tampil sendirian mementaskan cerita Suwidak Loro, yang ditulis Murti Bunanta, Jasmine tampil energik, lincah, kocak, dan tentu saja menarik.

Presiden Direktur Mandiri Investasi, Abiprayadi Riyanto, pun tampil membacakan cerita dari Aceh berjudul Anak Kucing yang Manja.

Menurut Abiprayadi, pelestarian budaza membaca bacaan brevaza Indonesia sangatlah penting bagi anak-anak Indonesia. "Di era modernisasi dan teknologi yang semakin canggih ini, anak-anak Indonesia harus tetap diajarkan untuk mengenal dan mencintai cerita dari negerinya. Indonesia Sangat kaya akan cerita rakyat dan pahlawan yang memiliki pesan budi pekerti luhur yang dapat menjadi suri teladan anak dalam berprilaku di masyarakat," ungkapnya.

Melalui festival ini, Mandiri Investasi memberikan bantuan buku cerita rakyat dwibahasa yang akan disumbangkan ke berbagai sekolah dan perpustakaan di 10 kota di Indonesia. Selain itu, buku juga akan diserahkan kepada 30 orang perwakilan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) yang akan berada di Yakarta, untuk mengikuti pelatihan bercerita yang diselenggarakan oleh KPBA. (YURNALDI)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/11/21345626/Ketika.Anak.anak.Festival.Bercerita

KONGRES GURU

Guru bak Seniman, Bukan Tukang
JAKARTA, KOMPAS.com — Proses pendidikan di Indonesia terasa semakin jauh dalam usaha memuliakan kehidupan. Guru semakin tertantang untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Demikian diungkapkan oleh budayawan B Herry Priyono dalam orasi budaya yang disampaikan pada Konferensi Guru Nusantara (KGN) 2010 bertema "Guru Abad 21: Transformasi untuk Menjawab Tantangan Guru", 9-10 November 2010 di Unika Atmajaya, Jakarta.

"Berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan dalam konteks ini bisa dipertukarkan dengan bersekolah, agaknya saat ini menjadi sebuah jalan yang mesti dilalui oleh semua warga masyarakat yang menyebut dirinya modern," ungkap Herry.

Sementara itu, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dr Sonny Keraf mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan, tugas guru bukan semata mengajari, melainkan juga menginspirasi. "Tapi guru yang mampu memberi arahan pendidikan bagi pembangunan berkelanjutan," tandas Sonny.

Lendo Novo, penggagas sekolah alam di Indonesia, punya pendapat sedikit berbeda. Dia mengatakan, guru tidak bekerja laiknya seorang tukang, tetapi bak seniman. "Guru seperti ini tidak sekadar berusaha mencetak murid-murid naik kelas dengan standar angka-angka tertentu, namun ia mampu membekali murid-muridnya dengan inspirasi yang tak penah mati," ujar Lendo.

"Bahkan, jika sang murid terpaksa tak mampu melanjutkan sekolah atau gagal memenuhi standar nilai yang ditetapkan, inspirasi itu tetap hidup dalam diri si murid," lanjutnya.

Adapun penyelenggaraan KGN 2010 merupakan sebuah konferensi pendidikan ilmiah berskala nasional yang diselenggarakan oleh Provisi Education. Dilaksanakan sejak 2006, KGN diperuntukkan bagi guru-guru Indonesia dengan harapan bisa membantu percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia untuk membuka wawasan, pengetahuan, dan pengalaman mengenai konsep-konsep, metode, ataupun praktik-praktik pembelajaran yang mutakhir dan bermutu.
Editor: Erlangga Djumena Dibaca : 569
Sent from Indosat Black

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/10/22312728/Guru.bak.Seniman..Bukan.Tukang

Kualitas Guru Lolos Sertifikasi Tetap Rendah

Surabaya, Kompas - Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun.

Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam pembukaan Seminar dan Pelatihan Guru Menulis di Media Massa yang diadakan harian Kompas dan Surya serta Ikatan Guru Indonesia di Gedung PDAM Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/10). Sepanjang 2006-2009 terdapat 251.326 guru yang disertifikasi melalui portofolio, sedangkan 301.732 melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).

Dalam kajian implementasi sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2009, kemampuan pedagogis guru sertifikasi portofolio sebagian tidak meningkat dan sebagian lainnya malah menurun. Hanya segelintir guru sertifikasi portofolio yang mengalami peningkatan. Di kemampuan sosial, profesional, ataupun kepribadian, tetap saja bagian terbesar adalah mereka yang stagnan kualitasnya, bahkan menurun.

Pada guru-guru yang disertifikasi melalui PLPG, umumnya lebih banyak yang meningkat atau sangat meningkat pada keempat kemampuan tersebut. Kendati demikian, ada pula sekitar 40 persen guru hasil PLPG yang tidak maju dalam kompetensi kepribadian dan sekitar 10 persen lainnya pada kemampuan profesional dan kemampuan sosial.

”Seharusnya sertifikasi itu untuk mengukur dan meningkatkan (kualitas guru),” kata Nuh kepada sekitar 480 guru peserta pelatihan menulis. Menurut Nuh, model portofolio ini tidak akan dihapus. Namun, akan dikaji cara menyaring kualitas guru supaya tunjangan profesi pendidik (TPP) yang diberikan sesuai dengan peningkatan kualitas dan kinerja.

Manusia berkepribadian

Secara terpisah, kemarin, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki mengatakan, PLPG yang hanya 10 hari juga tidak bisa menghasilkan guru yang profesional. Semestinya portofolio bisa menjadi syarat untuk sertifikasi. Sayangnya, sistem portofolio saat ini tidak menunjukkan rekam jejak apa yang sudah dilakukan guru ataupun prestasinya.

”Kalau memang sungguh- sungguh, sertifikasi melalui portofolio akan lebih bagus daripada PLPG yang hanya 10 hari,” ujarnya.

Masalahnya, dalam portofolio guru harus jujur pada diri sendiri. ”Sikap yang tidak terbentuk dalam pendidikan Indonesia sekarang yang lebih mengutamakan nilai tes atau ujian nasional ketimbang kepribadian,” tutur Zainuddin.

Untuk itu, menurut Zainuddin yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, orientasi pendidikan harus diperjelas. Pendidikan perlu menghasilkan manusia yang berkepribadian, berwatak baik, dan kreatif.

Anggaran naik

Tahun 2010, hampir Rp 60 triliun anggaran pendidikan dialokasikan untuk gaji guru pegawai negeri sipil (PNS), tunjangan khusus untuk guru di daerah terpencil, dan TPP. Untuk TPP saja anggarannya mencapai Rp 16 triliun. Tahun 2012, biaya gaji dan tunjangan guru akan sama dengan keseluruhan anggaran pendidikan tahun 2006, sekitar Rp 80 triliun.

Karena itu, menurut Nuh, peningkatan kompetensi guru adalah mutlak perlu. Sebab, hak guru tidak bisa dikurangi kendati anggaran yang diperlukan akan terus melonjak.

Salah satu peningkatan kompetensi adalah menulis. Saat ini jumlah guru golongan IVB hanya 0,087 persen, golongan IVC 0,007 persen, dan IVD 0,002 persen. Kebanyakan guru stagnan di golongan IVA, sekitar 569.611 atau 21,84 persen.

”Banyak guru tidak bisa naik ke golongan IVB karena tidak mampu menulis karya ilmiah,” kata Nuh. Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional memfasilitasi penulisan karya ilmiah online melalui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan,” ujarnya.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/01/06080956/Kualitas.Guru.Lolos.Sertifikasi.Tetap.Rendah

TENAGA DIDIK

Berkaca pada Guru Malaysia

Politisi Malaysia tidak sekadar pandai menyatakan, guru tonggak pembangunan intelektual. Keyakinan itu diwujudkan dengan aturan yang jelas tentang standar dan kualitas guru.

Tidak berhenti di atas kertas, nyatanya guru Malaysia memang memiliki status, kondisi kerja, dan pengembangan diri yang lebih baik dibandingkan guru di Indonesia.

Presiden Persatuan Pendidikan Malaysia Dato Ibrahim bin Ahmad Bajunid yang hadir di Kantor Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, perubahan kebijakan negara yang meningkatkan martabat guru memberikan ruang untuk menghasilkan guru-guru bermutu. Sebab, guru-guru yang berkualitas itu jadi tumpuan bagi Malaysia untuk mewujudkan visi menjadikan warga negaranya berilmu dan berpendapatan tinggi.

”Pendidikan berkualitas bagi semua warga, termasuk yang di perbatasan, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, guru perlu punya pendidikan yang baik, kepribadian yang baik, dan memiliki penguasaan teknologi digital masa kini,” kata Ibrahim.

Deputy President Persatuan Pendidikan Malaysia Dato Hussein bin Ahmad menambahkan, dalam lima tahun terakhir, Malaysia memperkuat dan meningkatkan motivasi serta profesionalisme guru. Perekrutan guru bukan cuma melihat kualitas intelektual, melainkan juga kepribadian.

Guru mesti ikut pelatihan dan pendidikan sekitar 40 jam per tahun untuk pelatihan secara berjenjang yang dibiayai negara. Guru yang mampu mengembangkan diri dan berprestasi dihargai, baik dalam jenjang karier maupun insentif.

Guru-guru pun mulai mengubah cara mengajar yang tradisional dengan cara-cara yang baru dan kreatif. Bahkan, guru-guru telah diarahkan untuk menguasai teknologi digital.

Hussein mengatakan, anggaran pendidikan nasional 22-24 persen dari total anggaran belanja Malaysia. Anggaran militer justru lebih kecil.

Kebijakan memperkuat guru, ditambah lagi dengan menyediakan fasilitas pendidikan, yang kualitasnya merata di seluruh Malaysia membuahkan hasil. Kenyataannya, lompatan Malaysia dalam peningkatan sumber daya manusia lewat peran besar pendidikan di tingkat global melesat jauh dibandingkan Indonesia.

Daya saing Malaysia di tingkat global berada di posisi ke-26, sedangkan Indonesia di urutan ke-44. Indeks pembangunan manusia Malaysia berada di kelompok tinggi di urutan ke-66, sedangkan Indonesia di kelompok medium pada urutan ke-111.

Malaysia berhasil belajar dari pengalaman masa lalu. Malaysia pernah memiliki masalah serius soal guru sehingga meminta bantuan dari Indonesia untuk mengirimkan guru-gurunya ke negeri jiran itu pada 1968.

Indonesia memang mulai mereformasi guru. Namun, sayangnya baru sebatas hal-hal yang bersifat administratif lewat sertifikasi guru.

Ada kebijakan bahwa guru yang mau naik golongan dalam empat tahun harus memiliki bukti ikut diklat 180 jam atau 48 jam per tahun. Tapi, diklat itu mesti dibiayai guru sendiri.

Ada juga kesempatan diklat dari pemerintah. Namun, selain terbatas dan diskriminatif karena mengutamakan guru pegawai negeri sipil, materinya juga tidak menyentuh kebutuhan guru untuk kreatif dan inovatif dalam pembelajaran di kelas.

Ketua Harian Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, program pendidikan dan pelatihan guru berkelanjutan belum berjalan. Adapun Malaysia memiliki rancangan yang jelas dalam peningkatan mutu guru.

Untuk itu, PGRI segera akan membuat pusat pelatihan dan peningkatan profesi guru. Organisasi guru mesti berada di depan untuk bisa memberdayakan diri dan kualitas para guru.

Kerja sama dengan organisasi guru Persatuan Pendidikan Malaysia pun dibangun. Kedua negara ini hendak saling belajar dan saling melengkapi.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mengatakan, persoalan guru Indonesia sangat khas sehingga mesti ditangani secara khas pula. Misalnya soal kualitas guru yang mesti ditingkatkan, tingkat kesejahteraan guru, dan persebaran yang tidak merata. ”Yang terpenting, pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru serta komitmen ini diwujudkan dalam upaya yang konkret,” ujarnya. (ELN)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/10/04250163/Berkaca.pada.Guru.Malaysia

Rabu, 03 November 2010

Permendiknas 28/2010 Pastikan Kepsek Penuhi Standar Kompetensi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah tidak menggantikan kewenangan daerah untuk memilih calon kepala sekolah.''Kewenangan tetap di daerah. Pusat hanya memastikan sebelum ditunjuk menjadi kepala sekolah harus memenuhi standar kompetensi sebagai kepala sekolah,'' tutur Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal kepada Republika, Rabu (3/11).

Guru yang akan menjadi kepala sekolah, kata Fasli tetap dipilih oleh bupati. Yaitu orang-orang yang sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan kriteria yang dimiliki daerah dan siap menjadi kepala sekolah.

Lahirnya Permendiknas No 28 tahun 2010 ini juga melengkapi peraturan sebelumnya yaitu UU Sisdiknas yang di antaranya mengatur bahwa penugasan menjadi kepala sekolah harus sesuai standar karena kepala sekolah memegang peran penting.

Selain itu adanya permen ini pun, menurut Fasli, untuk menjawab adanya keraguan dari masyarakat terhadap pemerintah daerah.''Sering terjadi tuduhan-tuduhan kalau ada bupati baru membawa orang-orangnya,'' tutur dia.

Jumlah guru yang mengikuti ujian standar kompetensi inipun, menurut Fasli, disesuaikan dengan jumlah kepala sekolah yang dibutuhkan.''Tapi tetap ada lebihnya sedikit untuk memberi ruang gerak kepada kepala daerah untuk memilih,'' tutur dia.

Di antara syarat menjadi kepala sekolah, dipaparkan di antaranya harus lulus S-1 dan pada beberapa kasus harus lulus S-2 dan sudah lama menjadi guru serta lulus uji kompetensi menjadi kepala sekolah. Setelah uji kompetensi, kata Fasli, calon kepala sekolah pun harus menjalani serangkaian pelatihan mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah.

sumber: http://id.news.yahoo.com/repu/20101103/tpl-permendiknas-28-2010-pastikan-kepsek-97b2f71.html

BENCANA ALAM

Sekolah Belum Tanamkan Sadar Bencana
JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia seharusnya mengajarkan anak-anak didik untuk hidup harmonis bersama alam. Dengan pengetahuan lingkungan yang kuat, anak-anak Indonesia akan mampu memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan serta menjaga alam sebaik-baiknya guna mencegah terjadinya bencana atau kerugian yang lebih besar dari fenomena alam.
Kunci utama dari persoalan ini sebenarnya bagaimana kurikulum dalam pendidikan kita itu memiliki roh utama tentang lingkungan.
-- Lendo Novo

"Di tengah banyaknya bencana alam yang terjadi, memang, pendidikan kebencanaan mutlak diperkuat di sekolah-sekolah sejak dini. Tetapi, kunci utama dari persoalan ini sebenarnya bagaimana kurikulum dalam pendidikan kita itu memiliki roh utama tentang lingkungan," kata Lendo Novo, pemerhati pendidikan lingkungan yang juga penggagas Sekolah Alam, di Jakarta, Rabu (3/11/2010).

Menurut Lendo, bencana alam yang terutama karena ulah manusia serta ketidaksiagaan masyarakat mengantisipasi bencana, tidak lepas dari kontribusi kesalahan pada sistem pendidikan nasional. Hal itu terjadi karena pemahaman masyarakat soal prinsip-prinsip lingkungan sekitar dan dampak baik-buruknya dalam kehidupan sehari-hari sangat terbatas.

Sekolah sendiri tidak menjadi contoh atau representasi dari peduli lingkungan dan siaga bencana. Bangunan sekolah yang tahan gempa, misalnya, masih minim. Pendidikan bagi siswa untuk mengantisipasi adanya bencana alam juga belum secara sadar dilakukan pihak sekolah.

Lendo menambahkan, sudah semestinya pemerintah mewajibkan sekolah untuk memperkenalkan kepada siswa tentang peta gempa atau bencana nasional yang sebenarnya sudah ada. Siswa akan tahu dan sadar bagaimana lingkungan yang dihadapinya dan dibekali dengan keterampilan untuk mengantisipasi datangnya bencana alam tersebut.

Salah satunya, dengan membuat buku soal daerah rawan bencana dan cara mengantisipasinya. Buku-buku tersebut mesti disebarkan ke sekolah, sambil tetap membiasakan siswa dengan latihan-latihan siaga bencana.

"Coba kita contoh pendidikan di Jepang. Anak-anak sejak usia TK sudah tahu bahwa mereka hidup di daerah rawan gempa dan tahu bagaimana mengantisipasinya. Ketika besar, kesadaran itu ada dengan ketaatan mengikuti aturan membangun rumah tahan gempa, misalnya," ujar Lendo

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/03/1747342/Sekolah.Belum.Tanamkan.Sadar.Bencana