Kamis, 23 September 2010

Pendidikan Ganti Muscle Memory dengan Brain Memory

JAKARTA, KOMPAS.com - Sistem pendidikan di Indonesia yang mengutamakan brain memory menyebabkan anak-anak Indonesia hanya mahir di bidang teori, namun tidak pada praktek. Padahal metode tersebut salah. Metode pendidikan yang tepat ialah muscle memory di mana anak-anak diajak menyeimbangkan antara teori dan praktek. Namun untuk mencapai kesusksesan metode tersebut harus dimulai dari perubahan kultur kelas.

Muscle memory sendiri didapat karena orang tersebut terlibat latihan dan bukan hanya sekadar menghafal.
-- Rhenald Kasali

Menurut Prof Rhenald Kasali, Ph.D, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) di sela acara Education Fair SMA Kanisius, Jakarta, Kamis (23/9/2010), kebanyakan sekolah hanya menerapkan brain memory. Yaitu hanya sebatas teori, menghafal rumus, mengetahui formula atau rumus, dan bukan menjalankan rumus atau menguji sendiri di lapangan.
"Sementara rumus hanya berhenti sampai di laboratorium. Kalau muscle memory, itu ingatan yang berada di otot. Muscle memory sendiri didapat karena orang tersebut terlibat latihan dan bukan hanya sekedar menghafal," kata Rhenald.
Rhenald mencontohkan Jepang, dimana metode pembelajarannya menggunakan origami, sehingga ketika mereka dewasa dampaknya engineering mereka bagus. "Mereka bisa bikin otomotif, mekanisasi bagus sekali karena mereka terlatih untuk bergerak. Sementara di Indonesia tidak," katanya.
Sementara anak Indonesia kurang motorik. "Jadi kalau di kelas anak-anaknya hanya diam saja. Sementara negara yang mengutamakan muscle memory tadi mengharuskan muridnya aktif bicara, angkat tangan, ngomong, sifatnya interaktif di kelas," kata Rhenald.
Apabila proses belajar brain memory terus dilanjutkan maka akan berakibat buruk pada generasi mendatang, "Salah satu contoh nyatanya ialah mencari petani di Indonesia itu susah. Karena menjadi petani itu bukan teori pertanian, Sistem Penjamin Mutu Akademik (SPMA) yang awalnya di Departemen Pertanian sekarang di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Metode belajarnya menjadi brain memory padahal harusnya muscle memory.
"Dampak lainnya adalah pembatik di Indonesia, membatik jarang dan susah sekali karena di sekolah tidak mengajarkan langsung orang membatik pakai canting. Akibatnya banyak orang ingin buat usaha batik namun tidak bisa karena tangannya tidak aktif, tidak terbiasa," paparnya.
Untuk itu, lanjut Rhenald, kultur belajar di kelas harus berubah. "Biasanya guru bicara, murid pasif. Sekarang diubah murid juga harus aktif. Budaya kita kan budaya lecture, seperti ngasih kuliah terus murid mencatat. Guru itu harusnya memberi pertanyaan bukan memberi kuliah. Kultur itu harus diubah, guru harus bertanya, murid mencari jawabnya sendiri di rumah," katanya.
Selain itu dalam tiap mata pelajaran harus memperbanyak bobot latihan, "Dalam setiap mata pelajaran harus ada motoriknya. Motoriknya itu latihan, turun ke lapangan, bergerak. Pengajar jangan memberi porsi teori yang terlalu besar," tambah Rhenald.

Sumber; http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/23/2040350/Ganti.Muscle.Memory.dengan.Brain.Memory

Jangan Bangga Jadi Guru "Killer"

JAKARTA, KOMPAS.com — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri. Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.


Jadi, kalau orang enggak bisa, enggak dibantu cari jalan keluarnya tapi malah dibikin jadi panik, dibuat makin tidak mengerti dengan dikasih nilai jelek.
-- Rhenal Kasali


Hal itu diungkapkan Prof Rhenald Kasali, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), di sela-sela acara Education Fair SMA Kanisius, Jakarta, Kamis (23/9/2010).
Menurut Rhenald, keadaan ini masih terus berlaku di Indonesia. "Sampai hari ini dosen atau guru masih melakukan seperti itu. Jadi, kalau orang enggak bisa, enggak dibantu cari jalan keluarnya, tapi malah dibikin jadi panik, dibuat makin tidak mengerti dengan dikasih nilai jelek. Rasanya ada kebanggaan jadi dosen killer," katanya.
Rhenald melanjutkan, di luar negeri justru kebalikannya. "Di negara maju (Amerika), anak saya bahasa Inggrisnya jelek justru dikasih nilai exellent. Tujuannya mendorong memberikan kesempatan sehingga akhirnya dia menjadi lebih percaya diri. Metode mereka (sekolah luar negeri) ialah orang di-encourage supaya bersemangat dan akhirnya mau menjadi exellent," katanya.
Apabila Indonesia menerapkan metode ini, dampaknya sangat besar bagi murid karena mereka akan menjadi lebih percaya diri. "Sebenarnya anak-anak kita pintar, cuma tidak punya rasa percaya diri karena yang nilainya A kan hanya 5 sampai 6 persen, sementara yang 90 persen nilainya rata-rata," kata Rhenald.
Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku dosen atau guru di Indonesia yang menerapkan metode model penjajah. "Perilaku dosen atau guru-guru di Indonesia terjadi karena belajar dari dosen-dosen sebelumnya, model penjajah bahwa anak itu bodoh, anak itu tertindas," katanya.
Selain itu, banyak orang menjadi guru atau dosen bukan karena panggilan diri, melainkan karena tidak punya pilihan dalam hidup. "Dengan begitu, ketika mereka menjadi guru atau dosen, mereka menjadi cenderung sangat berkuasa. Karena juga dibayar rendah, mereka merasa dirinya berkuasa. Ketika muridnya ternyata kurang cerdas, mereka cenderung ingin menghukum dan menendang ke luar kelas. Mereka hanya bangga pada mereka yang mendapat nilai A," papar Rhenald.
Menurut Rhenald, keadaan itu bisa diubah dengan seleksi ulang bagi para guru. "Harus ada seleksi ulang bagi para guru, jadi ada penataran atau pelatihan sehingga modal menjadi guru tidak hanya mengacu pada hard skill, tetapi soft skill-nya juga," ujarnya.
Yang dimaksud soft skill, lanjut Rhenald, adalah motivasi, penggilan hidup sebagai tenaga pendidik, dan keinginan untuk mengembangkan orang lain. "Tidak hanya memandang dari segi akademisnya. Jadi, harus ada penilaian pada behavioral competencies," tambah Rhenald.


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/23/17080441/Jangan.Bangga.Jadi.Guru..quot.Killer.quot.

Rabu, 22 September 2010

Anginkah yang Membelah Laut Merah Buat Nabi Musa A.S?

Antara - Rabu, 22 September
Washington, AS (ANTARA/Reuters) - Angin dari timur yang berhembus kencang dikabarkan membantu terbelahnya Laut Merah oleh Nabi Musa seperti yang tertulis pada kitab suci agama Samawi, kata para ilmuwan Amerika Serikat, Selasa.
Simulasi komputer memperlihatkan bagaimana angin dapat menghempaskan air laut sehingga mencapai dasar lautan dan membentuk laguna, kata kelompok peneliti di Badan Nasional Penelitian Atmosfir dan Universitas Colorado di Boulder.
"Simulasi tersebut hampir cocok dengan bukti pada rombongan Musa," kata pemimpin penelitian itu, Carl Drews dari NCAR.
Menurut Carl, berdasarkan ilmu fisika, angin dapat menghempaskan air menjadi sebuah jalur yang aman untuk dilintasi karena sifatnya yang luwes, kemudian kembali mengalir seperti semula.
Menurut tulisan dari kitab suci Islam maupun Kristen, Nabi Musa AS. memimpin umat Yahudi keluar dari Mesir atas kejaran Firaun pada 3.000 tahun yang lalu. Laut Merah saat itu terbelah sementara untuk membantu rombongan Musa melintas dan langsung menutup kembali, menenggelamkan para tentara Firaun.
Drews dan kelompoknya meneliti tentang angin topan yang berasal dari Samudera Pasifik menciptakan badai besar yang dapat menghempaskan air di laut dalam.
Kelompoknya menunjukkan kawasan selatan Laut Mediterania yang diduga menjadi tempat penyeberangan itu, dan memaparkan bentuk tanah yang berbeda karena terbentuk setelahnya serta memicu isu mengenai lautan yang terbelah.
Pemaparan tersebut membutuhkan bentuk tapal kuda Sungai Nil dan laguna dangkal di sepanjang garis pantai. Hal ini memperlihatkan angin berkecepatan sekitar 101 kilometer per jam yang berhembus selama 12 jam, dapat menghempaskan air pada kedalaman sekitar dua meter.
"Laguna itu memiliki panjang sejauh 3-4 kilometer dan lebar sejauh lima kilometer yang terbelah selama empat jam," kata mereka di dalam Jurnal Perpustakaan Umum Ilmu Pengetahuan, PloS ONE.
"Masyarakat telah dibuat kagum atas cerita pembelahan laut itu, membayangkan bahwa hal itu terjadi secara nyata," kata Drew menambahkan bahwa penelitian ini menjelaskan tentang pembelahan laut tersebut berdasarkan hukum fisika.

sumber: http://id.news.yahoo.com/antr/20100922/twl-anginkah-yang-membelah-laut-merah-bu-bbfa48e.html

Rabu, 15 September 2010

KONDISI PENDIDIKAN

Menanti "Malaikat" Mampir di Entikong...

ENTIKONG, KOMPAS.com - Ada satu ungkapan bernada canda di kalangan masyarakat Entikong yang sebenarnya ”menyindir” tajam pemerintah. Pejabat hingga warga Entikong tak pernah bosan menyampaikannya dalam perbincangan ringan hingga kata sambutan kepada tamu.
”Rasanya tidak ada pejabat yang tidak pernah mampir ke Entikong. Tapi, tak juga ada kemajuan di daerah ini. Cuma malaikat yang belum mampir ke Entikong.”
Yang mendengar tak kuasa menahan tawa. Namun, secepat kilat tawa itu juga bisa berubah jadi rasa kasihan dan geram.
Bagi guru-guru Sejarah dan Geografi se-Indonesia yang terpilih dalam program Kemah Wilayah Perbatasan Entikong (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)-Malaysia yang diprakarsai Direktorat Geografi Sejarah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, beberapa waktu lalu, kondisi serambi muka Indonesia yang ”suram” itu terasa mengenaskan. Dan, kenyataan itu mesti tersampaikan kepada siswa mereka bahwa daerah perbatasan tak pernah dianggap halaman muka negara yang seharusnya indah, tetapi justru jadi bagian belakang yang tak terurus.
Warga Entikong menanti ”malaikat” yang bisa menyediakan infrastruktur, seperti jalan, alat transportasi, listrik, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai untuk menghalau keterisolasian dan keterbelakangan. Sebab, mereka cuma bisa gigit jari jika membandingkan dengan kondisi warga di perbatasan Malaysia yang keadaannya bertolak belakang dengan warga Indonesia di perbatasan kedua negara serumpun itu.
Suharna, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Entikong, mengatakan, Entikong juga menanti ”malaikat” yang berpihak pada kemajuan pendidikan di sini. Bagaimana tidak timbul rasa iri jika di depan mata, mereka melihat sebuah sekolah pendidikan dasar di perbatasan Malaysia punya siswa 120 orang, tetapi disediakan 15 guru dan satu tenaga administrasi. Siswa kelas III SD saja sudah kenal internet. Selain itu, ada asrama untuk siswa dari desa.
Di SMPN 4 Entikong yang berjarak 8 kilometer dari Kecamatan Entikong, siswa diajar guru-guru yang tidak sesuai kualifikasinya. Suharna mengatakan, ada lulusan SMA yang dijadikan guru honor untuk mengajar Bahasa Inggris dan Kesenian. Setiap guru mengajar dua-tiga mata pelajaran.
Kepala Desa Suruh Tembawang Imran Manuk mengatakan, di daerahnya ada satu guru yang harus mengajar 111 siswa SD. Warga yang hendak ke Entikong mesti lewat jalur sungai sekitar 8 jam dengan biaya bisa mencapai Rp 1,5 juta. Desa itu berpenduduk 2.795 orang. Sebanyak 963 orang buta huruf, tidak tamat SD 689 orang, tamat SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), dan sarjana (1).
Budi Suri, guru SMPN 2 Suruh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu belajar teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah melihat komputer. Aliran listrik pun belum dinikmati warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalimantan Barat dan bola dunia. (ELN)


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/16/09002249/Menanti..quot.Malaikat.quot..Mampir.di.Entikong....

Jumat, 03 September 2010

Ayatollah Hidayat

Kenalkan, Penemu Mesin Pencari Planet...
Laporan wartawan Kompas.com M.Latief
Senin, 2 Agustus 2010 | 17:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Daya ingat siswa lebih mudah terangsang dan tajam ketika seorang pendidik mampu mengolah materi ajarnya dengan cara yang unik dan menarik. Inilah yang dibuktikan Ayatollah Hidayat, salah satu guru finalis Lomba Karya Ilmiah Guru (LKIG) 2010, dengan alat ciptaannya; Mesin Pencari Planet (MP2).
Dengan alat tersebut, guru kelas 6 SDN Ma'lengu, Kecamatan Bontolemapangan, Gowa, Sulawesi Selatan, ini menjadikan pelajaran tentang planet dan sususan tata surya tak sesulit yang dibayangkan murid-muridnya lantaran harus menghafalnya.
Sejak setahun lalu Ayatollah menggunakan MP2 sebagai alat peraga menyampaikan materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di dalam kelasnya. Khususnya, pengetahuan tentang susunan tata surya.
Ayatollah mengungkapkan, ciptaannya itu tercetus murid-muridnya mengaku kesulitan menghafal nama-nama planet dan susunannya di tata surya. Berbekal itulah, ia pun secara sederhana menciptakan alat tersebut dengan bahan-bahan yang sederhana.
Delapan planet dalam lingkaran tata surya dibuatnya menggunakan tutup botol plastik bekas beragam ukuran. Planet-planet dari tutup botol itu kemudian direkatkan dengan rangkaian kabel paralel. Rangkaian kabel itu masing-masing berujung pada paku buku yang diletakan pada sebuah bidang nama planet di bawah lingkaran tata surya dengan bahan tampah bambu untuk mengayak beras.
Kabel-kabel itu kemudian dipusatkan pada baterai sebagai power yang akan menyuplai aliran listrik. Aliran listrik inilah yang akan membuat lampu indikator menyala saat dua kutub panel disatukan lewat dua pen penunjuk.
"Pen hitam untuk mencari gambar planet, sedangkan pen merah untuk mencari nama planet. Satu pen harus ditempelkan pada kutub panel nama planet, satunya lagi ditempelkan pada planet-planet tutup botol," ujar Ayatulloh, di depan dewan juri Lomba Kreativitas Ilmiah Guru (LKIG) ke-18 yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Hotel Bumiwiyata, Depok, Senin (2/8/2010).
"Jika lampu indikator tidak menyala, berarti pen yang ditempel tidak sesuai dengan kutubnya. Sebaliknya, jika planet yang ditunjuk benar dan sesuai dengan nama planet yang dicari, lampu indikator di tengah alat tersebut akan secara otomatis menyala," kata pria kelahiran Gowa, kelahiran Oktober 1985 itu.
Modifikasi
Ayatollah menuturkan, sejak menggunakan ciptaannya itu di dalam kelas, siswa pun mulai lebih memerhatikan pelajaran IPA. Dia mengakui, bahwa dengan cara yang unik itulah dirinya bisa membuat siswa senang belajar.
"Pola tingkah laku mereka mulai berubah dalam belajar. Daya ingat dan daya tangkapnya juga jauh lebih baik," kata Ayatollah.
Alat tersebut, kata dia, kini menjadi pendukung Lembar Kerja Siswa (LKS) bidang IPA. Karena, kata dia, teori yang ada di dalam LKS pun menjadi lebih mudah dipahami ketimbang menghapal susunan huruf dan gambar planet.
"Akhirnya bisa saya simpulkan, bahwa metode ini pun bisa digunakan untuk memperlajari pelajaran lain seperti mengenal nama-nama negara dan ibukota pada pelajaran IPS," imbuh Ayatollah.
Untuk itu, ujarnya, MP2 diharapkannya bisa menjadi alternatif baru sarana praktik belajar di dalam kelas. Ke depan, setelah LKIG 2010 ini, ia masih ingin memodifikasi MP2 agar lebih baik lagi untuk kemajuan peserta didiknya.
"Maunya bisa berbunyi seperti bel, tetapi itu nanti saja, masih saya pelajari," ujar Ayatollah.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/02/17382193/Kenalkan..Penemu.Mesin.Pencari.Planet...

Pendidikan Karakter Diintegrasikan

Selasa, 31 Agustus 2010 | 19:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter yang bakal digencarkan dan diberi perhatian khusus dalam praksis pendidikan nasional ini dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal di Jakarta, Selasa (31/8/2010), mengatakan pendidikan karakter yang didorong pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat.
"Kita mintakan pada guru supaya nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler itu disampaikan dengan jelas pada siswa. Pendidikan karakter itu bisa terintegrasi juga menjadi budaya sekolah. Jadi, pendidikan karakter yang hendak kita terapkan secara nasional tidak membebani kurikulum yang ada saat ini," jelas Fasli.
Pendidikan karakter yang diminta yang dapat membangun wawasan kebangsaan serta mendorong inovasi dan kreasi siswa. Selain itu, nilai-nilai yang perlu dibangun dalam diri generasi penerus bangsa secara nasional yakni kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi, dan disiplin.
Menurut Fasli, sekolah bebas untuk memilih dan menerapkan nilai-nilai yang hendak dibangun dalam diri siswa. Bahkan, pemerintah mendorong muculnya keragaman bentuk pelaksanaan pendidikan karakter.
Kementeraian Pendidikan Nasional, tambah Fasli, telah mengumpulkan contoh-contoh pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah berjalan di sekolah. Setidaknya ada 139 contoh praktis pendidikan karakter dari berbagai lembaga pendidikan yang bisa juga diterapakan di sekolah lain.
Program-program di sekolah seperti pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.
Untuk menyukseskan program pendidikan karater, pemerintah menggelar pelatihan bagi 263 ribu pengawas dan kepala sekolah. Selai itu, setiap tahun akan dilaksanaakan pertemuan nasional untuk membahas pendidikan karakter

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/31/19585479/Pendidikan.Karakter.Diintegrasikan