Senin, 12 Desember 2011

MANAJEMEN SEKOLAH RAMAH: SUATU TANTANGAN

Oleh. Dr. Irsan, M.Pd, M.Si.

A. Latar Belakang
Anak-anak adalah pemilik dan pewaris masa depan, tetapi potret kehidupan mereka sangat tragis, karena mereka sering menerima perlakuan yang salah dari orang dewasa. Anak-anak Indonesia perlu dididik menjadi generasi yang memiliki kualitas fisik, mental-spiritual, kecerdasan dan kepribadian yang sehat dan tangguh. Hak anak, yang merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 maupun Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Keppres No.36/1990, belum sepenuhnya dijamin, dilindungi dan dipenuhi baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Pemenuhan hak-hak anak dapat dilaksanakan melalui empat prinsip: (a) non diskrimisasi, (b) kepentingan terbaik untuk anak, (c) hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta (d) menghargai pendapat anak. Di Indonesia, pelaksanaan keempat prinsip hak anak ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti, termasuk di lembaga pendidikan (sekolah).
Kekerasan terhadap anak adalah "semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial yang mengakibatkan gangguan nyata atau potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak atau terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan" (UNICEF dalam Damanik, 2008). Kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai tempat, seperti di rumah tangga, lingkungan sosial, dan sekolah. Anak usia di bawah 18 tahun perlu dilindungi agar terhindar dari berbagai tindakan kekerasan, baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun kelompok. Oleh karena tindakan kekerasan terhadap anak makin meningkat dan situasi kekerasan terhadap anak membutuhkan perhatian serius, maka studi tentang kekerasan terhadap anak dilakukan untuk mengakselerasikan gerakan penghapusan kekerasan terhadap anak (fisik dan non fisik) karena hal itu melanggar hak anak dan mengancam martabat kemanusiaan.
Bagaimanakah model manajemen sekolah yang dibutuhkan untuk menghindari tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah?

B. Kekerasan TerhadapAnak
Kekerasan terhadap anak di sekolah cukup tinggi dan masih terus terjadi di Sumatera Utara khususnya di kota Medan selama manajemen sekolah dan komunitas pendidikan tidak memahami hak-hak anak, demikian menurut Meuthia Fadila Fachruddin, Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Unimed (Waspada, 2 Januari 2008). Salah satu kekerasan yang menonjol, dengan dalih meningkatkan mutu pendidikan, adalah ”memperlama jam pulang siswa”; sementara manajemen sekolah tidak menyediakan tempat istirahat dan fasilitas pengembangan bakat masing-masing siswa. Bentuk kekerasan seperti ini adalah kekerasan struktural. Program sekolah seperti ini, didukung Pemerintah Kota Medan dengan menerapkan “lima hari belajar efektif”.
Hasil pemetaan masalah remaja putri yang dilakukan PSGPA Unimed tahun 2006 ditemukan bahwa kekerasan yang dilakukan manajemen sekolah antara lain membuat program pendidikan yang mengabaikan hak-hak anak dengan dalih untuk meningkatkan mutu lulusan. Misalnya anak dipaksakan berada di sekolah sejak pukul 07.00 sampai 16.00 untuk mengikuti berbagai program tanpa didukung fasilitas yang lengkap termasuk tempat istirahat. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehubungan dengan di atas, Rafdinal (Waspada, 2 Januari 2008) tidak setuju lembaga sekolah dijadikan sebagai tempat melakukan tindakan kekerasan, dan manajemen sekolah tidak boleh membiarkan terjadi tindakan kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan rusaknya SDM guru, SDA sekolah, model pembelajaran, karakter dan budaya siswa
Di sisi lain, peserta didik yang mengalami tindakan kekerasan dari gurunya juga telah dialami siswa di kota Medan. Bagas (10 tahun) telah mengalami tindakan kekerasan dari gurunya berupa cubitan yang mengakibatkan dadanya memar; demikian juga Rajiman Harahap (16 tahun) mengalami mata bengkak dan biram akibat ditonjok oleh guru olahraganya (Pos Metro, 8 September 2007). Kedua peserta didik tersebut bersama keluarganya telah mengadukan guru mereka ke polisi.
Usaha untuk menciptakan sekolah ramah anak telah dilakukan penulis sejak tahun 2007 bekerjasama dengan Dinas pendidikan NAD dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Kegiatan yang dilakukan di Montasik (Kabupaten Aceh Besar) dan Tangse (Kabupaten Pidie) dimulai dengan membuat perencanaan strategis sekolah, pelatihan guru tentang pembelajaran inklusif dan menyenangkan, penataan lingkungan sekolah, sampai program dari anak untuk anak (child to child program) dalam bidang seni, budaya, musik, keterampilan. Child to child program dilakukan dengan orientasi dan konsultasi dengan guru, pendidik sebaya (siswa), merencanakan dan menilai situasi bersama anak-anak, merencanakan dan mengembangkan program bersama anak yang dibimbing oleh guru. Hasil yang diperoleh adalah keharmonisan antara guru dengan peserta didik, antara sesama peserta didik dan peserta didik senang mengikuti pelajaran.
Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk, dan jumlah tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat tinggi. Pada awal 2006, temuan penelitian mengenai kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara menunjukkan, tindak kekerasan di sekolah melibatkan kekerasan fisik dan mental. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid. Semua bentuk hukuman ini mempermalukan dan merendahkan harga diri dan kemampuan anak dan banyak kekerasan terhadap anak yang bersifat tersembunyi dan sering disetujui secara sosial (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006). Dengan demikian, sudah saatnya dilakukan praktek pendidikan yang menyenangkan guna menghindari terjadinya tindakan kekeran terhadap anak di sekolah.

C. Pentingnya Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Minimnya partisipasi dan keterlibatan anak dalam setiap aspek kehidupan menunjukan bahwa kita belum dapat memberikan dan menghormati hak-hak mereka. Dalam proses bernegara, bermasyarakat, dan dalam dunia pendidikan terdapat sistem, struktur, dan mekanisme yang merupakan cerminan dari ideologi dan keyakinan di kalangan ’orang dewasa’ yang menolak partisipasi anak dalam kehidupan sosial, politik dan budaya, karena mereka dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses dalam negara, masyarakat, bahkan dalam penyelenggaraan sekolah di mana secara langsung mereka terlibat di dalamnya (Faqih, 2002). Banyak organisasi negara, masyarakat, sekolah maupun rumah tangga yang menolak untuk mendengarkan anak-anak ketika mereka hendak menetapkan kebijakan yang menyangkut kehidupan anak-anak (Zainani, 2007).
Hari Anak Indonesia (HAI) yang diperingati setiap tanggal 23 Juli kiranya dapat dijadikan momentum untuk merefleksikan kembali tentang anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Namun, kondisi anak Indonesia sampai saat ini sangat memprihatinkan, karena masih banyak anak Indonesia yang hidup tanpa hak dan perlindungan yang layak..
Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak, 2005), melaporkan bahwa dalam tiga tahun (2004-2006) terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Sementara itu, tempat terjadinya tindak kekerasan paling banyak adalah di lingkungan sosial 35,03 %, rumah tangga 32,70 %, dan sekolah 32,27 %. Ini berarti bahwa hampir sepertiga kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan sekolah. Data tentang tiga bentuk kekerasan terhadap anak dapat dilihat pada Tabel 1. Bentuk kekerasan yang paling tinggi peningkatannya adalah adalah kekerasan psihis. Berdasarkan tabel tersebut diketahui pula bahwa setiap tahun terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak lebih dari 50 % (66,89 % dari 2004 ke 2005; dan 52,72 % dari 2005 ke 2006).

Tabel 1.Bentuk dan Jumlah Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia
No Bentuk Kekerasan 2004 2005 2006
1 Kekerasan Fisik 140 233 247
2 Kekerasan Psikhis 80 176 451
3 Kekerasan Seksual 221 327 426
Total 441 736 1.124
Sumber: 1. Pusat Data & Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (2005).
2. Rifah Zainani, ”Potret Buram Anak Indonesia”, Tempo, 24 Juli 2007.

Bentuk kekerasan pada anak dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua sendiri, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketidaksengajaan, kecelakaan, maupun kesengajaan yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental maupun kematian (Gharini, 2004).
Kekerasan terhadap anak (fisik, psikhis, dan seksual) dapat membawa dampak yang permanen bagi anak. Oleh karena itu, upaya mencegah dan menanggulanginya perlu dilaksanakan dengan segera. Secara yuridis formal, perintah melindungi anak-anak dari kekerasan sudah diamanatkan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak; bahkan, pasal 28B ayat 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sekolah seyogianya berfungsi sebagai lembaga pendidikan untuk mendidik anak agar memiliki budi pekerti yang baik serta tumbuh sehat secara mental-spiritual, akan tetapi sekolah juga memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap praktek kekerasan, terutama dalam penegakan disiplin. Guru kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak dengan dalih disiplin. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Kekerasan kepada anak sering "dibungkus" dengan alasan budaya. Misalnya, "anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin." Dalam pandangan sebagian besar guru, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan dapat mengubah perilaku dan prestasi anak menjadi lebih baik. Padahal, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan, justru merupakan bentuk tindakan yang tidak terdidik. Ini merupakan bukti bahwa banyak guru yang tidak memahami batasan kekerasan terhadap anak.
Kekerasan di sekolah yang marak terjadi seringkali dibenarkan oleh masyarakat bahkan orang tua peserta didik karena tindak kekerasan tersebut merupakan bagian dari proses mendidik anak. Padahal, hukuman apapun bentuknya bagi peserta didik, dalam jangka pendek, akan mempengaruhi konsentrasi, persepsi dan perilakunya, hingga tidak tertutup kemungkinan anak menjadi malas belajar, malas sekolah, tinggal kelas atau berhenti sekolah. Secara psikologis, hukuman di lembaga pendidikan dapat menyebabkan anak menjadi trauma atau antipati terhadap sekolah (Syamsuarni, 2004).
Kekerasan merupakan praktek pola asuh authoritarian. Pendidik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku anak sesuai dengan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Pendidik seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa untuk mengekang ‘kehendak diri’ anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan dirinya. Dampak pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, emosional, suka mengganggu, permusuhan secara pasif , menggunakan tipu daya, stres, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, dan tidak terarah (Ire, 2005).
Mengingat masih banyaknya terjadi kekerasan terhadap peserta didik, maka diperlukan pendekatan baru, yakni perlu menempuh pendekatan kelembutan, baik untuk menghindari maupun untuk mengurangi tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Salah satu tempat berlangsungnya pendekatan kelembutan terhadap anak-anak adalah sekolah. Oleh karena itu, sudah waktunya dikembangkan apa yang disebut dengan model manajemen sekolah ramah anak (MESRA). Kunci utama pembuka kemungkinan dilaksanakannya MESRA harus dimulai dari perubahan manajemen sekolah, yaitu manajemen yang selalu mendayagunakan segala potensi/sumberdaya yang ada untuk kepentingan terbaik anak (peserta didik), non diskriminasi, perkembangan anak, menghargai pendapat anak, terutama dalam manajemen pembelajaran dan manajemen pelayanan peserta didik. Dengan menerapkan manajemen sekolah ramah anak, diyakini bahwa kekerasan terhadap peserta didik akan berkurang dengan signifikan.

D. Tipe Kekerasan Terhadap Anak
Johan Galtung (2003) membagi kekerasan menjadi tiga tipe yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah suatu kekerasan yang bersifat permanen. Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi bagi kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Strata berikutnya, kekerasan struktural berupa ritme-ritme kekerasan yang melokal dan merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya, kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap yang lain.
Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan struktural atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya, kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan (Fisher, 2001).
Pengalaman di banyak negara, menunjukkan bahwa kekerasan di dalam masyarakat lahir dari pengabaian-pengabaian terhadap sense of justice (Sihombing, 2005). Kekerasan dengan segala manifestasinya tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan serangan terhadap martabat manusia. Pasal 5 Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Kemudian sebangun dengan ketentuan pasal ini, pasal 7 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Dalam konsepsi hukum internasional kekerasan langsung merupakan tanggung jawab individu (individual responsibility), dalam arti individu yang melakukan tindakan kekerasan akan mendapatkan hukuman (punishment) menurut ketentuan hukum pidana. Di sisi lain, kekerasan struktural dan kekerasan kultural merupakan bentuk tanggung jawab negara (state responsibility), tanggung jawab negaralah mengimplemetasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan/ administrasi, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Dalam konteks kekerasan terhadap anak, kekerasan dapat terjadi baik di ruang privat maupun di ruang publik, dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan emosional dengan anak, bahkan hubungan darah. Kekerasan juga dipraktekkan oleh institusi negara melalui agen-agennya. Kekerasan merupakan salah satu bentuk kontes kekuasaan orang dewasa terhadap anak yang dimaksudkan agar anak merasa takut dan tunduk pada kemauan atau aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Kekerasan juga digunakan sebagai alat disiplin dan penghukuman di banyak institusi termasuk keluarga dan sekolah; bahkan, kekerasan telah dengan sengaja digunakan oleh aparat negara sebagai alat untuk memperoleh keterangan atau pengakuan dari seorang tersangka anak pada saat penyidikan (Arna, 2005).
Secara yuridis perlindungan terhadap martabat anak telah dijamin dalam Konvensi International tentang Hak-Hak Anak, Pasal 19: bahwa negara peserta Konvensi harus melindungi anak dari segala bentuk kekerasan baik fisik maupun mental selama mereka berada dalam kuasa orang tua atau pihak lain. Ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia, harus menggunakan seluruh sumber daya politik, ekonomi dan sosialnya untuk melindungi anak-anak dari segala tindakan kekerasan fisik dan mental karena kekerasan adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi dan martabat anak.
Hasil Konsultasi tentang Kekerasan Terhadap Anak tahun 2005 diikuti kurang lebih 500 anak Indonesia. Dalam konsultasi tersebut anak-anak memberikan konfirmasi bahwa mereka semua pernah mengalami kekerasan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pengalaman mereka adalah pengalaman yang sangat buruk karena susah untuk dilupakan. Luka yang menggores di tubuh dan hati anak-anak tak mudah di pulihkan, karena penderitaan yang di akibatkan oleh kekerasan tidak terbatas rasanya. Rasa malu, marah, sedih, sakit, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu hingga menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan (Arna, 2005). Beratnya beban psikologis yang dirasakan anak akibat tindakan kekerasan dapat membuat mereka bertindak nekat, misalnya mencoba bunuh diri dengan membakar diri atau menggantung diri.
Kekerasan, selain terjadi di rumah, juga terjadi di sekolah; dan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak. Kekerasan dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah umum maupun pesantren. Berbagai bentuk kekerasan fisik seperti dilempar dengan penghapus papan tulis, dipukul dengan mistar, distrap di depan kelas, dan dijemur di lapangan, sering dialami anak-anak di sekolah. Hukuman fisik masih menjadi alat untuk mendisiplinkan murid di sekolah; mulai dari disuruh push up, lari mengelilingi lapangan, hingga pemukulan. Sekolah juga menjadi ajang praktek kekerasan seksual yang dilakukan oleh murid laki-laki kepada murid perempuan, guru terhadap murid perempuan (Arna, 2005). Kekerasan non fisik misalnya diintimidasi, dilecehkan, dimarahi, dipermalukan, dan sebagainya.

E. Kekerasan dalam Pendidikan dan Solusinya
Dilihat dari kacamata waktu dan strata kehidupan, pendidikan mengandung nuansa kebertingkatan. Di satu sisi, pendidikan memiliki proses pentahapan. Di sisi lain, pendidikan mengenal perbedaan status; dan dalam kenyataan, pendidikan amat rentan terhadap kekerasan. Oleh karena itu, pentahapan waktu dan perbedaan status harus dikelola dengan baik, agar pendidikan menjadi sarana pemberdayaan, dan tidak melindas nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan (Wahono, 2003).
Bentuk-bentuk kekerasan dalam pendidikan, sebagaimana tesis Galtung terjadi melalui praktik-praktik dan pelaku yang berbeda ditinjau dari segi ekonomi-sosial dan segi teknologi-manajerial. Dari segi ekonomi-sosial, yang dimaksudkan dengan bangunan pendidikan adalah segala unsur yang membentuk pendidikan, kecuali pelaku utama pendidik dan peserta didik, unsur-unsur itu antara lain adalah pendekatan, sistem, dan metode pendidikan. Tinjauan teknologi-manajerial membedakan bangunan pendidikan ke dalam 3 unsur: kerangka, pranata, dan kurikulum. Jika tinjauan teknologi-manajerial melihat ketiga unsur tersebut secara terpisah, maka tinjauan ekonomi-sosial melihatnya sebagai unsur yang saling berkaitan (Wahono, 2003).
Unsur-unsur pokok bangunan pendidikan, adalah pendidik dan peserta didik, kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. Apabila pendekatan Galtung dijadikan pisau analisis maka kekerasan langsung terjadi pada unsur pelaku utama pendidikan, bersifat horisontal, individu dengan individu. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi dalam kerangka pendidikan,, pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan, bersifat vertikal, karena melibatkan negara melalui aparat, institusi, dan kebijakan. Keterkaitan antar unsur bangunan pendidikan (Gambar 1) menggambarkan bahwa selama ini bangunan pendidikan cenderung ikut memperlancar praktik-praktik kekerasan. Peserta didik menjadi titik pertemuan antara dua bagian. Bagian atas dari diagram, melukiskan keadaan bangunan pendidikan masa kini, dan bagian bawah dari diagram menggambarkan keadaan bangunan pendidikan masa yang akan datang (Wahono, 2003).
Diagram bagian atas secara simbolik mengambarkan bahwa peserta didik berada pada strata paling bawah. Peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan; sementara pendidik dalam berhubungan dengan peserta didik, enggan melakukan secara langsung tetapi bersembunyi dibalik kurikulum. Dari tinjauan ekonomi-sosial, pola ini disebut pendekatan top down, dari atas ke bawah. Asumsi yang digunakan adalah pendidik pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai. Sistem pendidikan yang cocok dengan pendekatan ini adalah sistem pendidikan militer, disiplin seragam, disiplin perintah. Konsekuensinya, metode pendidikan yang dipakai adalah metode anjing; anjing dididik oleh tuannya dengan sistem reward dan punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk pada tuannya. Pendekatan ini telah menjadikan lembaga pendidikan sebagai penghantar kekerasan.

Pada bagian bawah dari diagram, unsur peserta didik diusung di atas dan menjadi pusat kegiatan pendidikan (bottom up approach). Unsur kurikulum tidak langsung mendikte peserta didik, tetapi melalui proses dan penjiwaan pendidik. Pendidik menjadi ujung tombak langsung pendidikan. Pendekatan ini tidak menjadikan kerangka, pranata pendidikan, penyelenggara pendidikan sebagai penentu pendekatan, sistem, dan metode pendidikan; melainkan dibangun berdasarkan kebutuhan peserta didik. Sistem ini mempertemukan peserta didik dengan pendidik secara langsung. Pendidikan ini dinamakan pendidikan sistem petani; petani menghadapi dan memperlakukan tanamannya sesuai dengan konteks kehidupannya di alam. Konsekuensinya metode pendidikan yang digunakan disebut pendidikan metode ayam. Induk ayam tidak pernah mendikte anak ayam agar setia, tetapi induk ayam ingin mendewasakan dan memandirikan anak-anaknya. Pendekatan ini diyakini mampu menciptakan pendidikan di sekolah tanpa kekerasan. Pendidikan harus mampu memberdayakan dan memperkaya peserta didik, dan menjauh dari kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia (Wahono, 2003).
Berbagai tindakan yang dilakukan berupa pemukulan, penghinaan, pengucilan, yang dilakukan kepada peserta didik selalu ada rasionalisasinya, misalnya untuk pendisiplinan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa anak-anak sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan penghukuman fisik sebagai proses pembelajaran dalam hidupnya. Anggapan ini mencerminkan adanya relasi yang dominatif antara orang dewasa dan anak yang pada gilirannya salah satu pihak dapat memamerkan kekuasaannya kepada peserta didik yang dianggap lebih lemah. Fenomena tersebut mendeskripsikan bahwa kekerasan kultural dan kekerasan struktural merupakan akar dari kekerasan langsung.
Dalam konteks praktik sistem pendidikan, meminjam analisis Francis Wahono, peserta didik berada pada strata paling bawah. Peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan. Sistem pendidikan ini menganut “banking concept of education.”. Peserta didik dalam proses pendidikan model bank yang dipraktikkan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontoh para guru. Praktek pendidikan seperti itu, tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan (Faqih, dkk, 2000). Kondisi demikian menempatkan peserta didik benar-benar berada di bawah kendali sekolah, pendidik berada dalam posisi lebih tahu dan mengerti.. Kekerasan diawali dari sini karena pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para peserta didik (Prasetyo, 2004). Kekerasan di lingkungan dunia pendidikan memang berkaitan erat dengan sistem klasifikasi materi pembelajaran yang berdampingan dengan metode pembelajaran bergaya bank.
Kekerasan yang dilakukan guru dapat berbentuk kekerasan fisik dan psikis langsung, berupa kata-kata kasar, makian, ancaman dan labelling. Kata-kata kasar dan makian terhadap siswa sering dilakukan guru, dan guru menganggap tindakannya tersebut bukan sebagai tindak kekerasan. Label negatif juga diberikan guru kepada siswa, misalnya si bodoh, si gaboh (gagah tapi bodoh). Kekerasan lain yang dilakukan guru adalah memberikan tugas berlebihan, dan perlakuan diskriminatif (memberikan “perhatian lebih” terhadap siswa dari kelompok beruntung, misalnya pintar, berpunya).
Kekerasan yang dilakukan siswa, misalnya: mengintimidasi, memukul, memalak atau mengompas yang sering dilakukan siswa yang lebih tinggi usianya atau tingkatan kelasnya. Siswa yang dipalak/dikompas, biasanya tidak berani melaporkan kepada guru/orangtuanya karena ancaman pelaku. Tindakan kekerasan seperti ini disebut bullying yaitu bentuk-bentuk perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat (http:www.anakku.net, 15 Nopember 2007).
Anak-anak pelaku bulllying cenderung memiliki kepribadian antisosial, kriminal, dan suka sewenang-wenang saat mereka dewasa. Di lain pihak, anak kerap menjadi korban bullying akan tumbuh menjadi orang yang mudah cemas. Dampak langsung dari bullying pada anak antara lain sulit konsentrasi, mudah gugup, takut, dan tak bisa atau sulit bicara. Anak yang menjadi korban bullying atau tindakan kkerasan fisik atau psikologis di skolah akan mengalami trauma besar dan depresi yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan mental di masa datang (Kompas, 15 Nopember 2007).
Untuk menghindari berbagai tindakan tindakan kekerasan di sekolah diperlukan pola pendidikan yang mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, meletakkan konsep pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan,dan membangkitkan kesadaran kritis murid terhadap ketidakadilan. Dengan demikian, praktik pendidikan di sekolah sudah saatnya dikelola dengan menggunakan model manajemen sekolah ramah anak (MeSRA), agar tindakan kekerasan terhadap anak dapat dihindari dan potensi mereka dapat dikembangkan secara optimal.

5.1.3. Model Manajemen Sekolah Ramah Anak
Model adalah gambaran yang ditimbulkan dari kenyataan yang mempunyai susunan dan urutan tertentu. Model dapat digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dari berbagai sumber dan dipakai sebagai stimulus untuk mengembangkan hipotesis dan membangun teori ke dalam keadaan kongkrit untuk menerapkannya pada praktik atau menguji teori.
Manajemen sekolah adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan sekolah melalui fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Perencanaan merupakan kegiatan menetapkan tujuan yang akan dicapai dan cara-cara mencapainya. Pengorganisasian merupakan tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kegiatan yang efektif antar orang-orang sehingga mereka dapat bekerja secara efisien. Pelaksanaan merupakan usaha menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai sasaran; sedangkan pengawasan merupakan tindakan mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana (Handoko, 1995). Keseluruhan fungsi manajemen tersebut diarahkan pada kesuksesan pelayanan sekolah seperti pelayanan peserta didik, kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, dan tenaga kependidikan.
Model bangunan pendidikan yang dikemukakan oleh Francis Wahono di atas dengan menggunakan sistem petani dan metode ayam adalah salah satu alternatif dalam membangun manajemen sekolah ramah anak. Dalam hal ini, peneliti akan menggunakan konsep tersebut dengan memfokuskan pada: (1) sikap terhadap siswa, (2) metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan menyenangkan, (3) pengelolaan kelas yang kondusif, (4) lingkungan yang sehat, (5) bebas kekerasan, (6) peran orangtua dan masyarakat, serta (7) langkah-langkah yang diusulkan oleh Rudolf Dreikurs (Taruna, 2007). Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju Sekolah Ramah Anak, yaitu: (a) menjadikan guru sebagai pembimbing kelas/mata pelajaran; (b) mengutamakan keramahtamahan/kelembutan suara; (c) memperbanyak ajakan dari pada perintah, (d) mengindari hal-hal yang menekan peserta didik, (e) memberi motivasi dan stimulasi, (f) menjauhkan sikap guru yang ingin "menguasai" siswa diganti dengan membangun keberanian/kepercayaan diri peserta didik; (g) menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan peserta didik, dan mengakui prestasi sekecil apa pun; (h) mengganti kata-kata guru, "Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”, dengan "Saya anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga"; (i) melibatkan peserta didik menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun peserta didik; dan (j) melibatkan pihak orangtua (stakeholder pendidikan) dalam memfasilitasi hal-hal yang bermanfaat kepada sekolah.
Singkatnya, MeSRA (manajemen sekolah ramah anak) merupakan komplemen dari manajemen berbasis sekolah. Dengan menerapkan MeSRA, diharapkan sekolah bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak-anak, baik fisik maupun non fisik, oleh siapa pun. Sekolah adalah wadah untuk mencapai harapan dan cita-cita sehingga sekolah seharusnya menjadi sahabat yang selalu dicintai dan disenangi, serta sekolah tidak semena-mena membuat peraturan yang mengekang kebebasan berpikir.



KESIMPULAN
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai tempat, seperti di rumah tangga, lingkungan sosial, dan sekolah. Anak usia di bawah 18 tahun perlu dilindungi agar terhindar dari berbagai tindakan kekerasan, baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun kelompok. Untuk menghindari berbagai tindakan tindakan kekerasan di sekolah diperlukan pola pendidikan yang mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, meletakkan konsep pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan, dan membangkitkan kesadaran kritis murid terhadap ketidakadilan.
Praktik pendidikan di sekolah sudah saatnya dikelola dengan menggunakan model manajemen sekolah ramah anak (MeSRA), agar tindakan kekerasan terhadap anak dapat dihindari dan potensi mereka dapat dikembangkan secara optimal. Model adalah gambaran yang ditimbulkan dari kenyataan yang mempunyai susunan dan urutan tertentu. Model dapat digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dari berbagai sumber dan dipakai sebagai stimulus untuk mengembangkan hipotesis dan membangun teori ke dalam keadaan kongkrit.
Model pendidikan yang dikemukakan oleh Francis Wahono dengan menggunakan sistem petani dan metode ayam adalah salah satu alternatif dalam membangun manajemen sekolah ramah anak yang difokuskan pada: (1) sikap terhadap siswa, (2) metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan menyenangkan, (3) pengelolaan kelas yang kondusif, (4) lingkungan yang sehat, (5) bebas dari kekerasan, dan(6) optimalisasi peran orangtua dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Arna, Antarini, 2005. Analisis Hasil Konsultasi Anak Regional dan Nasional: Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta: YPHA.

Damanik, Sulaiman Zuhdi, 2008. Sekolah Ramah Anak. Banda Aceh: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.

Faqih, Mansour, dkk., 2000.Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: REaD Book.

Faqih, Mansour, 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Jakarta:INFID.

Fisher, Simon, et.al, 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta, The British Council.

Galtung, Johan, 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka.

“Guru Dipolisikan Karena Cubit Siswa”, dalam Pos Metro, 8 September 2007.
Handoko, T. Hani, 1995. Manajemen, Yogyakarta: BPFE.

Ire, John Th. Anakmu Bukanlah Anakmu, www.indomedia.com/poskup/2005/ 11/09 /edisi11pm1.html.

Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2005. Refleksi Akhir Tahun 2005: Hentikan Kekerasan Terhadap Anak, Sekarang dan Selamanya, (Jakarta: Komnas, PA).

“Kekerasan Terhadap Anak Di Sekolah Cukup Tinggi”, Waspada, 2 Januari 2008.

“Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak”, terjemahan, PBB, 2001.

Prasetyo, Eko, 2004.Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Insist Press

Syamsuarni, ”Hukuman di Sekolah dan Hak Anak Atas Pendidikan”, dalam Kalingga, Edisi Maret-April 2004 (Medan: PKPA).

Sihombing, Justin, 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Marjinal, Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Taruna, J. Tukiman, ”Sekolah Ramah Anak”, Kompas, 29 Nopember 2007.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Wahono, Francis, 2003. “Kekerasan Dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Sosial Ekonomi Didaktika”, dalam Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.

YPHA, 2006. Draft Position Paper tentang Kekerasan Anak di Institusi Pendidikan. Jakarta: YPHA.

Zainani, Rifah, ”Potret Buram Anak Indonesia”, Tempo, 24 Juli 2007.

Gharini, Putrika P. R., ”Kekerasan Pada Anak Ditinjau Dari Aspek Medis”, Makalah disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3,dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama, Dunia Maya, 13-19 September 2004.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, PBB: Angka Kekerasan Anak di Indonesia Tinggi, http://www.menegpp.go.id/menegpp.php? cat=detail&id =media&dat=495, diakses 19 Desember 2007.

”Bullying: Kekerasan Terselubung di Sekolah”, http://www. anakku.net
”Bullying Sebabkan Gangguan Mental Pada Anak”, Kompas, 15 Nopember 2007.

Selasa, 22 November 2011

mengapa orang malas membaca

Inom Nasution

Memabaca belum menjadi tren bagi kita. baik pelajar, mahassiswa, guru, dosen, orangtua maupun masyarakat. banyak diantara yang hanya gemar menontot sinetron di TV, dari pada membaca buku, majalah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan bacaan. padahal dengan membaca banyak yang kita dapat manfaatnya. dengan membaca pengetahauan kitapun akan bertambah luas, kepribadian kita lebih dewasa. dengan membaca banyak pengetahuan yang kita peroleh dan kita tau.

lalu kenapa orang lebih gemar menonton tv berjam-jam dibandingkan dengan membaca?
diantara penyebabnya adalah
- membaca mungkin kurang menarik.
- membaca membuat mata cepat lelah dan mengantuk, sementara menonton tv mata tahan
berjam-jam.
- membaca harus mengeluarkan uang lebih banyak dibanding nonton tv
- membaca tidak diiringi gambar yang menerik seperti nonton tv.
- membaca tidak membauat banyak orang penasaran
- membaca belum menjadi kebutuhan semua orang

demikian semoga bermanfaat

Senin, 24 Oktober 2011

Ilmuwan Indonesia Diincar

Jakarta, Kompas - Sejumlah ilmuwan dan peneliti muda asal Indonesia diincar sejumlah negara. Mereka diiming-imingi berbagai fasilitas, tempat riset yang memadai, dan gaji besar asalkan bekerja di sana.

Perburuan terhadap ilmuwan-ilmuwan muda tersebut sangat agresif. Selain datang ke kampus-kampus di luar negeri dan berburu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air.

Mereka mengetahui, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti sangat minim. Selain gaji kecil dan fasilitas penelitian sangat terbatas, peneliti juga sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan yang sudah dilakukan. Mengetahui kelemahan ini, negara lain menawarkan fasilitas yang tidak diberikan oleh Pemerintah Indonesia.

”Perguruan tinggi di Malaysia sempat menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp 45 juta) per bulan,” kata Lukijanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Jakarta, Sabtu (22/10). Tawaran itu disampaikan saat Lukijanto akan ujian akhir doktoral di bidang pesisir dan kelautan di Kyushu University, Jepang, tahun 2009. Sejumlah mahasiswa doktoral lainnya mengungkapkan hal yang sama, ditawari menjadi dosen atau peneliti di negara lain dengan fasilitas sangat memadai.

Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengatakan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.

Namun, selain gaji, yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai. ”Fasilitas ini yang sangat kurang di Indonesia,” kata Endang Sukara. Tak heran jika kemudian, pada tahun 1990-1992, ada 177 peneliti LIPI yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri.

Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan.

”Selama 2001-2010, paten milik 237 juta penduduk Indonesia hanya 115,” kata Nani Grace Berliana dari Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI.

Perhatian kurang

Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas dan berprestasi, termasuk ilmuwan dan peneliti, hingga saat ini masih minim. Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya.

Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juaranya tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade internasional.

Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doktor.

”Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri,” kata Penasihat Tim Olimpiade Fisika Indonesia Yohanes Surya.

Anggaran minim

Bukan cuma perhatian yang kurang. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk kegiatan penelitian juga sangat kecil. Selama 1999-2007, anggaran penelitian hanya sekitar 0,3 persen dari APBN.

Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya.

”Berbagai kendala ini, ditambah suasana lembaga penelitian yang tidak kondusif, menyebabkan peneliti-peneliti menerima tawaran dari luar negeri,” kata Fahmi Amhar, profesor Riset Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, negara sebenarnya bisa memanfaatkan orang-orang berprestasi tersebut asalkan diberikan kesempatan. Namun, sayangnya, kesempatan itu sangat kecil sehingga mereka memilih mengembangkan kemampuan di luar negeri.

Meski demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa orang-orang berprestasi tersebut kembali ke Indonesia.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso juga tidak keberatan jika siswa-siswa berprestasi di Indonesia memilih bekerja di luar negeri. ”Namun, penerima beasiswa memang seharusnya pulang karena pendidikannya sudah dibiayai oleh pemerintah,” kata Djoko.

Namun, Djoko tidak sependapat jika keterbatasan sarana menjadi alasan kepindahan ke luar negeri. ”Keterbatasan sarana mestinya menjadi tantangan untuk tetap bekerja,” ujarnya.

(AIK/MZW/LUK/NAW/ISW/YUN)

sumber; http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/24/05043579/Ilmuwan.Indonesia.Diincar

Kamis, 13 Oktober 2011

Masker Wajah Alami Buatan Sendiri

Yahoo SheOleh Amelia Ayu Kinanti | Yahoo! She – Kam, 6 Okt 2011 11.53 WIB

*
* tweet43
* Email
* Cetak

Meski banyak masker siap pakai yang kini ditawarkan di pasaran, sesungguhnya Anda dapat membuat masker sendiri dengan mudah. Selain murah, berkhasiat, bahan alami yang dipakai juga tidak memiliki efek berbahaya bagi kulit.

Berikut beberapa jenis masker yang bisa Anda buat sendiri juga dapat diaplikasikan di semua jenis kulit.

Masker putih telur
Campurkan dua sendok makan putih telur dengan dua sendok makan yoghurt tanpa rasa. Aduk hingga merata, lalu oleskan ke kutit wajah Anda. Setelah lima menit, basuh wajah dengan handuk yang telah direndam di air hangat.

Manfaat masker ini adalah untuk menambah kelembapan serta kehalusan kulit wajah.

Masker oatmeal
Campurkan satu sendok makan oatmeal dengan satu sendok yoghurt tanpa rasa. Aduk hingga merata. Setelah itu teteskan dua hingga tiga tetes madu. Lalu campurkan kembali hingga merata. Oleskan masker tadi pada wajah Anda dan diamkan selama 10 menit. Setelah itu basuhlah dengan handuk yang telah direndam dengan air hangat.

Selain melembapkan dan menghaluskan kulit, masker ini juga berfungsi untuk mengganti sel-sel kulit yang mati dengan sel yang baru, sehingga kulit Anda akan tampak bercahaya.

Masker gula
Masker gula ini termasuk yang paling sederhana, karena hanya membutuhkan dua sendok makan gula serta tiga sendok makan air hangat. Campurkan kedua bahan hingga merata, lalu gosok masker pada kulit wajah, hingga kadar airnya habis. Setelah itu basuh wajah dengan handuk yang telah direndam di air hangat.

Layaknya scrub, masker alami ini dapat membantu mengangkat sel kulit mati pada kulit wajah, serta membantu kulit mengalami pengelupasan yang lebih alami dan aman. Selain itu, masker ini juga mampu membersihkan kulit hingga ke dalam pori-pori.

Mudah bukan? Silakan mencoba!

sumber: http://id.she.yahoo.com/masker-wajah-alami-buatan-sendiri.html

Sabtu, 10 September 2011

Belajar Sambil Bermain di TK Pak Kasur

Liputan6.com, Jakarta: Dunia anak-anak adalah sebuah dunia yang penuh dengan keceriaan, dalam bermain dan juga belajar. Hal inilah yang diterapkan di Taman Kanak-kanak Mini Pak Kasur yang mengusung konsep pengajaran dengan cara yang unik, yaitu bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Hasilnya, saat belajar mereka bernyanyi dan menari, sebuah dunia yang penuh dengan keceriaan.

Dengan metode pengajaran yang sederhana ini diharapkan dapat menggali minat dan bakat kemampuan anak-anak. Orangtua murid bahkan diharapkan untuk bisa terlibat langsung dalam proses belajar sehari-hari di sekolah.

TK Mini Pak Kasur bisa jadi adalah cikal bakal sekolah taman kanak-kanak saat ini. Kecintaan Pak Kasur pada dunia anak-anak sudah diwujudkan sejak 1953. Di mana ia mengumpulkan anak-anak di halaman rumahnya untuk diajak bermain dan menamakannya sebagai kebun kanak-kanak. Semua perjuangan, semangat dan kecintaan Pak Kasur pada dunia anak-anak tidak lepas dari dukungan sang istri, Bu Kasur.

Setelah Pak Kasur dan Bu Kasur tiada, kelima anaknyalah yang meneruskan apa yang telah dirintis oleh kedua orangtuanya dan menjadikannya sebagai pedoman pendidikan ala Pak Kasur. Semoga semangat dan kecintaan mereka pada dunia anak-anak bisa menjadi inspirasi bagi dunia pendidikan saat ini.(ADO)

sumber: http://id.berita.yahoo.com/belajar-sambil-bermain-di-tk-pak-kasur-231700089.html

Sabtu, 20 Agustus 2011

Kisah Nyata

Laporan Wartawan Tribun Jambi, Sukandar

TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Apa rasanya jadi seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka pada upacara 17 Agustus di Istana Merdeka? Jelas sebuah pengalaman membanggakan. Dan itulah yang dirasakan duta Provinsi Jambi, Mariati Uli Sitompul, siswi SMA Titian Teras.

Mimpi itu jadi kenyataan. Mimpi mengikuti upacara bendera di Istana Kemerdekaan tak melulu milik mereka yang berasal dari gedongan. Mariati pun memiliki mimpi itu dan ternyata, anak seorang tukang tambal ban ini mampu meraih mimpinya tersebut.

Rasa bangga pun tak hanya dirasakan Mariati. Sang ayah, Sudung Sitompul mengaku sangat bangga dengan putrinya itu. Bahkan saking bahagianya, Sudung rela ke Jakarta dengan merogoh kocek sendiri. Ini demi memberi semangat agar anaknya makin percaya diri.

Kini, tugas mengibarkan dan menurunkan bendera dalam upacara HUT ke-66 Kemerdekaan RI di Istana Kemerdekaan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah usai. Namun kegiatan Mariati masih sibuk. Usai mengikuti jamuan makan malam di Istana Kepresidenan, dia masih memiliki segudang agenda.

Sudung pun tidak bisa leluasa bertemu Mariati. Menurutnya,Mariati masih berada dalam pengawasan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sudung mengaku hanya bisa menemui Mariati sekitar lima menit pada Rabu (17/8) sore selepas Parade Senja atau upacara penurunan bendera.

Sudung mengatakan setelah menjalankan tugas, Mariati mendapat jamuan makan malam di Istana Kepresidenan. Selain itu, Sudung juga mengatakan Mariati mendapat undangan jamuan makan dari banyak instansi dan pejabat negara satu di antaranya bersama Menpora Andi Mallarangeng. "Kita dapat dua undangan untuk besok, tapi di Cibubur," ujar Sudung.

Sebagai orangtua, Sudung mengaku bangga akan capaian anaknya mewakili Provinsi Jambi di tingkat nasional, terlebih menjadi anggota Paskibraka. Selain bangga, Sudung juga mengaku bahagia.

Bagi Sudung prestasi Mariati merupakan sebuah berkah langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia memandang prestasi Mariati sebagai berkah lantaran status sosial ekonomi dirasa tidak layak dan cukup untuk mengantar Mariati meraih satu posisi dalam Paskibraka.

Sudung mengatakan, diri dan keluarganya tidaklah masuk kategori keluarga kaya. Sudung mengatakan, penghasilannya sangatlah pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Sudung mengaku hanya menjadi tukang tambal ban untuk mencukupi kebutuhannya.

Walau hanya bekerja sebagai tukang tambal ban, Sudung mengaku ikhlas dan siap mendukung perkembangan anak-anaknya. Sudung pun mengatakan untuk memenuhi undangan Presiden ke Jakarta dan mendukung anaknya, ia rela merogoh kocek sendiri untuk biaya ke Jakarta.

"Tidak ada akomodasi atau tiket dari pemerintah, semua uang pribadi," ujar Sudung.

Agar bekal perjalanannya cukup, Sudung pun mengaku menumpang tinggal di rumah keluarganya yang ada di Jakarta

"Saya sudah tahu. Kita berharap agar jadwal pelantikan bisa ditentukan"
sumber:http://id.berita.yahoo.com/kisah-anak-tukang-tambal-ban-ikut-jamuan-makan-222042076.html

Sabtu, 23 Juli 2011

Kualitas Guru Tak Cukup Cuma Sertifikasi

BANTUL, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui sertifikasi tidak akan banyak berpengaruh bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk menilai kualitas seorang guru tidak cukup melalui sertifikasi, tetapi seharusnya melalui uji kompetensi dan kinerjanya.
Hal itu dapat dilihat dari bidang yang diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Demikian dikatakan oleh Fauzil Adhim, pemerhati pendidikan anak dan keluarga, di Bantul, Selasa (15/6/2010). "Saya tidak setuju dengan sertifikasi. Kebijakan itu memerlukan anggaran yang mahal tetapi tidak akan membuat pendidikan kita maju. Sangat mudah bagi seorang guru untuk mengumpulkan sertifikat, tetapi apakah mereka benar-benar paham dengan materi dan diaplikasikan dalam pendidikan? Sertifikasi jelas tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kompetensi seorang guru," tegas Fauzil.
Fauzil mengatakan, saat ini kualitas pendidikan di Indonesia berada pada ranking 16 di antara negara-negara Asia Pasifik. "Kita kalah dengan Malasyia, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Papua Nugini, Selandia Baru dan lain-lain. Sekarang dosen-dosen UGM merasa bangga jika kuliah di Malasyia, padahal pada tahun 80-an, mereka sangat bangga jika dapat kuliah di Indonesia, di universitas mana pun," katanya.
Kunci keberhasilan mereka, menurut Fauzil, adalah adanya keinginan untuk berubah. Malasyia mengimpor guru-guru terbaik dari Indonesia untuk merancang pendidikan di Malasyia, dan mereka benar-benar menjalankannya. "Sebaliknya, kehancuran akan terjadi jika kita sudah merasa puas, menutupi kelemahan-kelemahan," ujarnya

sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/15/19275548/Kualitas.Guru.Tak.Cukup.Cuma.Sertifikasi

Sabtu, 02 April 2011

KUNJUNGAN KERJA DPR

Studi Banding Dinilai Punya Alasan Jelas

Jakarta, Kompas - Tim studi banding Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat membantah tudingan menghambur-hamburkan uang negara. Alasan dan target studi banding jelas, yaitu mencari masukan untuk mereformasi sistem keuangan di Indonesia.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi melalui pesan singkat (SMS), Selasa (22/3). Achsanul yang memimpin rombongan studi banding menjelaskan, rangkaian studi banding dimulai Selasa pukul 09.00 waktu Amerika Serikat. ”Pertemuan akan dilaksanakan Selasa pagi ini dengan American Institute of Certified Public Accountans (AIPCA). Sorenya rapat dengan Government Accounting Office (GAO),” katanya kemarin.

Jadwal studi banding, lanjut dia, tergolong padat. Pada Rabu tim studi banding dijadwalkan bertemu parlemen Amerika Serikat untuk mengetahui proses regulasi akuntan publik. Pada Kamis tim akan bertemu dengan Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB), dan malamnya diagendakan bertemu dengan Konsulat Jenderal dan Atase Ekonomi RI. ”Jumat, 25 Maret pukul 11.20, baru take off menuju Jakarta,” ujarnya.

Achsanul menegaskan, Panja RUU Akuntan Publik memiliki target jelas, yakni mencari masukan untuk kepentingan reformasi sistem keuangan di Indonesia. Menurut dia, RUU Akuntan Publik merupakan salah satu bagian dari reformasi keuangan.

Setidaknya, ada tiga masalah yang belum diputuskan dalam RUU Akuntan Publik. Masalah itu antara lain peraturan tentang perizinan, akuntan publik asing, dan sanksi pidana. Oleh karena itu, Panja RUU Akuntan Publik memilih Amerika Serikat dan Inggris sebagai tujuan studi banding. ”Tiga masalah itu terkait dengan akuntan publik asing yang berasal dari kedua negara tersebut,” kata anggota Fraksi Partai Demokrat tersebut. Studi banding itu untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU.

Namun, DPR dituding memanipulasi informasi terkait dengan kunjungan studi banding. ”DPR kembali memanipulasi informasi dengan mengadakan studi banding. Mereka menjadikan studi banding sebagai alasan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Rancangan undang-undang yang hendak distudibandingkan sebenarnya sudah 95 persen selesai. Mereka pulang dari luar negeri, RUU-nya tinggal ketuk palu untuk disahkan,” ujar Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang di Jakarta, Selasa.

Sebastian mengatakan, semestinya studi banding dilakukan pada awal penyusunan RUU. (BIL/NTA)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/23/02580152/Studi.Banding.Dinilai.Punya.Alasan.Jelas

Minggu, 13 Maret 2011

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Akhirnya... Izin Baru RSBI Distop!

Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mulai 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.
Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional, tetapi masih rintisan SBI.
-- Fasli Jalal

"Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, dalam acara "Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3/2011).

Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Fasli mengatakan, dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim.

RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan.

Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen.

Adapun soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level notice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah.

Fasli mengatakan, SBI bukanlah tujuan akhir.

"Jadi, tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi, tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi," katanya.


http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/10/11202738/Akhirnya.Izin.Baru.RSBI.Distop
sumber:

Rabu, 23 Februari 2011

TENAGA KEPENDIDIKAN

2011, Pendidikan Profesi Guru Tak Jelas

Pendidikan profesi guru dalam jabatan pertengahan 2011 ini terancam terkatung-katung. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang ditunjuk pemerintah masih menunggu kejelasan pelaksanaan hingga pendanaan.

Wakil Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia, Bedjo Sujanto, mengatakan, hingga kini belum ada kejelasan penanggung biaya pendidikan profesi guru (PPG) itu.

"Jika guru yang harus bayar, kasihan. Nanti hanya guru mampu yang ikut. Tidak adil," kata Bedjo yang juga Rektor Universitas Negeri Jakarta, Senin (21/2/2011).

Hal sama diungkapkan Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi.

"Banyak yang belum jelas, apakah guru mendaftar langsung ke LPTK atau dinas pendidikan. Juga soal biaya. Kami tunggu kepastian pemerintah, baru menjaring peserta PPG," kata dia.

Pendidikan profesi guru yang dimaksud hanya bisa diikuti guru-guru dalam jabatan yang masuk database Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Untuk guru SD memenuhi kualifikasi pendidikan D-IV/S-1, PPG enam bulan. Adapun guru SMP/SMA sederajat atau guru bidang studi butuh satu tahun.

Penyelenggaraan PPG untuk mempercepat penyelesaian sertifikasi guru yang harus tuntas tahun 2015. November tahun lalu, tercatat 800.000 dari 2,6 juta guru yang disertifikasi lewat penilaian berkas (portofolio).

Pelaksanaan sertifikasi lewat penilaian portofolio, juga pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) sekitar sembilan hari dibiayai penuh pemerintah. Untuk PPG guru dalam jabatan, justru guru yang harus membiayai sendiri. (ELN)



sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2011/02/22/10574324/2011.Pendidikan.Profesi.Guru.Tak.Jelas

Minggu, 13 Februari 2011

Lunturnya Penanaman Nilai Pendidikan Agama Anak Sejak Usia Dini

oleh: Inom Nasution


Fenoma saat sekarang ini, banyak di kalangan orang tua bangga terhadap anaknya yang berhasil pada usia dini. Keberhasilan dimaksud adalah orang tua bangga bila anaknya dapat berbahasa inggris, menjadi model, menyanyi, menari, berhitung sempoa dan lain sebagainya.
Tapi mereka lupa akan kebanggaan anak dapat melaksanakan sholat dengan baik, bisa azan yang baik, dapat melaksanakan puasa, hapal ayat-ayat pendek dan lain sebaginya yang berkaitan dengan agama. Mereka lupa menanamkan nilai-nilai agama pada anak sejak usia dini. Padahal selayaknyalah orang tua menanamkan nilai-nilai agama sejak dini agar tertanam di dalam hatinya keyakinan akan ke Esaan Allah SWT, kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan kegemaran membaca kita suci Alqur’anul karim.
Dikalangan remaja saja saat ini, bila kita amati pada saat hari jumat dan bulan suci ramadan. Penghuni mesjid pada saat sholat jumat masih didominasi orang tua. sementara anak muda atau remaja masih banyak berkeliaran pada saat umat islam melaksanakan ibadah sholat jumat. Banyak dikalangan remaja muslim kurang menyadari arti pentingnya sholat jumat. Mereka beranggapan bahwa sholat jumat miliknya orang tua, persepsi yang keliru.
Demikian juga bila kita perhatikan pada saat bulan ramadan, penghuni masjid juga masih didominasi oleh kalangan orang tua. Sebab anak-anak muda juga beranggapan yang sama bahwa masjid di bulan ramadan hanya miliknya orang tua saja.
Semua ini tidak terlepas dari didikan dan asuhan orang tua sejak dini. Bagaimana seharusnya orang tua menanamkan nilai-nilai pendidikan agama pada anak sejak usia dini. Memberikan contoh yang baik dalam keluarga bagaimana cara melaksanakan dan mengerjakan sholat yang baik. Melaksanakan puasa di bulan ramadan, berakhlak yang baik, menanamkan agar anak gemar membaca. Semua ini tidak terlepas dari peran oarantua dalam menenamkan nilai pendidikan agama sejak usia dini. Agar anak kelak dimasa depan tidak kehilangan agama sebagai pegangan hidup.
Bila kita perhatikan lagi, saat ini pada pendidikan madrasah sekalipun. Anak-anak yang belajar di madrasah masih banyak yang belum dapat melaksanakan sholat lima waktu dengan sempurna. Diantara mereka hanya dapat mengerjakan sholat ada yang 2, 3 kali sehari semalam. Padahal kita tau sholat itu 5 kali sehari semalam. Belum lagi pada saat bulan ramadan, diantara mereka bahkan tidak melaksanakan puasa selama bulan ramadan, masya Allah....
Bila keadaan ini terus berlanjut, tipis harapan para anak muda dapat menegakkan dan meneruskan agama islam di muka bumi ini. Selayaknyalah orang tua, maupun sekolah saling mendukung untuk menanamkan nilai pendidikan agama pada anak. Agar pendidikan agama selalu melekat pada diri anak dan tidak mudah luntur oleh perkembangan zaman.

Sabtu, 01 Januari 2011

DANA PENDIDIKAN

Dana Pendidikan Disimpan di Bank BUMN

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan Soritaon Siregar mengatakan, dana pengembangan pendidikan akan disimpan di deposito salah satu bank BUMN dengan bunga dibayar di muka. Pendapatan bunga deposito inilah yang akan digunakan sebagai dana beasiswa, sedangkan dana Rp 1 triliun tetap disimpan sebagai dana abadi.
Pada 2011 kami akan memperoleh tambahan dana abadi Rp 1 triliun lagi yang akan dialokasikan untuk dana pengembangan dan dana cadangan pendidikan masing-masing Rp 500 miliar.
-- Soritaon Siregar

”Pada 2011, kami akan memperoleh tambahan dana abadi sebesar Rp 1 triliun lagi. Kali ini dana tersebut akan dialokasikan untuk dana pengembangan pendidikan (endowment fund) dan dana cadangan pendidikan, masing-masing Rp 500 miliar. Dana cadangan pendidikan ini dialokasikan untuk kebutuhan darurat di daerah yang dilanda bencana alam,” ujar Soritaon.

Diberitakan sebelumnya, bunga dari dana abadi pendidikan sebesar Rp 1 triliun akan dipakai untuk beasiswa mahasiswa program S-2 dan S-3, serta dana penelitian. Adapun beasiswa untuk siswa pendidikan dasar dan menengah, serta mahasiswa S-1 sudah ada dana lain yang berbeda sumbernya.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan hal itu dalam jumpa pers, Kamis (30/12/2010) kemarin di Jakarta. Dana abadi beasiswa sebesar Rp 1 triliun tersebut berasal dari lonjakan penerimaan negara akibat kenaikan harga minyak mentah awal 2010.

Semula, dalam RAPBN ditetapkan Rp 2,4 triliun. Tetapi, dalam APBN jumlahnya menjadi Rp 1 triliun.

”Dana ini sudah bisa dicairkan. Tidak ada masalah. Komite Pendidikan sudah dibentuk segera setelah APBN Perubahan 2010,” kata Nuh.

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/31/16353365/Dana.Pendidikan.Disimpan.di.Bank.BUMN

DANA PENDIDIKAN

Yes... Dana Abadi Beasiswa S-2 dan S-3!

JAKARTA, KOMPAS.com - Bunga dari dana abadi pendidikan sebesar Rp 1 triliun akan dipakai untuk beasiswa mahasiswa program S-2 dan S-3, serta dana penelitian. Adapun beasiswa untuk siswa pendidikan dasar dan menengah, serta mahasiswa S-1 sudah ada dana lain yang berbeda sumbernya.
Dana ini sudah bisa dicairkan. Tidak ada masalah. Komite Pendidikan sudah dibentuk segera setelah APBN Perubahan 2010.
-- Mohammad Nuh

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan hal itu dalam jumpa pers, Kamis (30/12/2010) kemarin di Jakarta. Dana abadi beasiswa sebesar Rp 1 triliun tersebut berasal dari lonjakan penerimaan negara akibat kenaikan harga minyak mentah awal 2010.

Semula, dalam RAPBN ditetapkan Rp 2,4 triliun. Tetapi, dalam APBN jumlahnya menjadi Rp 1 triliun.

”Dana ini sudah bisa dicairkan. Tidak ada masalah. Komite Pendidikan sudah dibentuk segera setelah APBN Perubahan 2010,” kata Nuh.

Komite Pendidikan yang dimaksud adalah lembaga intrapemerintah gabungan antardepartemen yang mengelola dana pendidikan. Komite Pendidikan yang dibentuk Agustus 2010 itu dipimpin Wakil Presiden Boediono. Komite Pendidikan bertugas merumuskan kebijakan pendanaan pendidikan.

”Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai pelaksananya. Komite ini berbeda dari Dewan Pendidikan,” kata Nuh. (LUK/OIN)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/31/15242353/Yes....Dana.Abadi.Beasiswa.S.2.dan.S.3..

Nilai Murni UN Syarat Siswa Daftar Sekolah

YOGYAKARTA, KOMPAS - Nilai murni ujian nasional akan tetap digunakan sebagai syarat mendaftar sekolah di DIY. Ketetapan ini didasarkan pada keyakinan nilai ujian nasional lebih obyektif daripada nilai rapor maupun nilai ujian yang dilakukan setiap sekolah.

Kepala Perencanaan dan Standardisasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Baskara Aji mengatakan, hasil ujian nasional (UN) ditetapkan sebagai syarat mendaftar di SD, SMP, dan SMA di seluruh DIY. ”Nilai UN cukup obyek- tif. Soal dan standar penilaian sama untuk tiap sekolah. Se- dangkan standar nilai rapor dan ujian sekolah bisa berbeda-beda untuk masing-masing sekolah,” katanya di Yogyakarta, Selasa (28/12).

Hasil UN juga dinilai efek- tif karena telah dapat me- nunjukkan kemampuan akademis pelajar secara umum. Di samping itu, penggunaan UN sebagai syarat mendaftar sekolah masih dapat diterima masyarakat DIY.

Menurut Baskara, nilai UN juga dipertimbangkan sebagai salah satu syarat mendaftar ke perguruan tinggi. ”Hal ini akan dibahas bersama perguruan tinggi,” tuturnya.

Berbeda dengan sekolah umum, pendaftaran masuk SMK dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) akan menggunakan tes bakat dan minat. Hal ini karena dibutuhkan kompetensi khusus di dua sekolah tersebut.

Tunggu perubahan

Baskara mengemukakan, diperkirakan terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan UN pada tahun ajaran ini. Di antara kemungkinan itu adalah penggabungan nilai ujian sekolah, nilai rapor, dan UN sebagai syarat kelulusan serta tidak adanya UN ulangan seperti tahun sebelumnya.

Akan tetapi, kepastian mengenai perubahan itu belum diperoleh karena pedoman operasional standar (POS) belum diperoleh. ”Masih banyak ketidakpastian soal UN tahun ini, termasuk soal standar kelulusan. Untuk mengantisipasinya, sekolah-sekolah sudah kami imbau untuk mempersiapkan sebaik-baiknya,” ujarnya.

Secara terpisah, Pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah Provinsi DIY Timbul Mulyono mengatakan, sekolah-sekolah sangat menantikan kepastian perubahan pelaksanaan UN tersebut. Sejauh ini, sekolah mempersiapkan UN dengan memberi tambahan pelajaran dan uji coba (try out).

Kepala Seksi Supervisi dan Evaluasi Bidang Madrasah dan Pendidikan Dasar Kementerian Agama DIY Akhmad Subkhi menuturkan, ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) Pelajaran Agama Islam yang tahun ini diberlakukan serentak di seluruh DIY akan dilaksanakan mengikuti jadwal UN. ”UASBN Agama Islam sudah pasti akan dilaksanakan setelah UN dan UASBN SD,” katanya.

Untuk tahun ajaran ini, UASBN agama hanya diberlakukan untuk Pendidikan Agama Islam. Menurut Akhmad, hal ini bukan sebagai bentuk diskriminasi pada pelajar beragama lain. ”Ke depan, UASBN akan diberlakukan untuk semua agama. Tahun ini baru Agama Islam karena pusat belum siap untuk UASBN seluruh agama,” katanya.

Menurut Akhmad, pemberlakuan UASBN agama dimaksudkan agar pelajar lebih memberi perhatian pada Pendidikan Agama Islam. UASBN Pendidikan Agama Islam telah diujikan di 33 provinsi di Indonesia. Di DIY, UASBN Pendidkan Agama Islam telah dilaksanakan di Bantul pada tahun ajaran 2009/2010. (IRE)

sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/29/02464757/Nilai.Murni.UN.Syarat.Siswa.Daftar.Sekolah