Senin, 12 Desember 2011

MANAJEMEN SEKOLAH RAMAH: SUATU TANTANGAN

Oleh. Dr. Irsan, M.Pd, M.Si.

A. Latar Belakang
Anak-anak adalah pemilik dan pewaris masa depan, tetapi potret kehidupan mereka sangat tragis, karena mereka sering menerima perlakuan yang salah dari orang dewasa. Anak-anak Indonesia perlu dididik menjadi generasi yang memiliki kualitas fisik, mental-spiritual, kecerdasan dan kepribadian yang sehat dan tangguh. Hak anak, yang merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 maupun Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Keppres No.36/1990, belum sepenuhnya dijamin, dilindungi dan dipenuhi baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Pemenuhan hak-hak anak dapat dilaksanakan melalui empat prinsip: (a) non diskrimisasi, (b) kepentingan terbaik untuk anak, (c) hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta (d) menghargai pendapat anak. Di Indonesia, pelaksanaan keempat prinsip hak anak ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti, termasuk di lembaga pendidikan (sekolah).
Kekerasan terhadap anak adalah "semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial yang mengakibatkan gangguan nyata atau potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak atau terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan" (UNICEF dalam Damanik, 2008). Kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai tempat, seperti di rumah tangga, lingkungan sosial, dan sekolah. Anak usia di bawah 18 tahun perlu dilindungi agar terhindar dari berbagai tindakan kekerasan, baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun kelompok. Oleh karena tindakan kekerasan terhadap anak makin meningkat dan situasi kekerasan terhadap anak membutuhkan perhatian serius, maka studi tentang kekerasan terhadap anak dilakukan untuk mengakselerasikan gerakan penghapusan kekerasan terhadap anak (fisik dan non fisik) karena hal itu melanggar hak anak dan mengancam martabat kemanusiaan.
Bagaimanakah model manajemen sekolah yang dibutuhkan untuk menghindari tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah?

B. Kekerasan TerhadapAnak
Kekerasan terhadap anak di sekolah cukup tinggi dan masih terus terjadi di Sumatera Utara khususnya di kota Medan selama manajemen sekolah dan komunitas pendidikan tidak memahami hak-hak anak, demikian menurut Meuthia Fadila Fachruddin, Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Unimed (Waspada, 2 Januari 2008). Salah satu kekerasan yang menonjol, dengan dalih meningkatkan mutu pendidikan, adalah ”memperlama jam pulang siswa”; sementara manajemen sekolah tidak menyediakan tempat istirahat dan fasilitas pengembangan bakat masing-masing siswa. Bentuk kekerasan seperti ini adalah kekerasan struktural. Program sekolah seperti ini, didukung Pemerintah Kota Medan dengan menerapkan “lima hari belajar efektif”.
Hasil pemetaan masalah remaja putri yang dilakukan PSGPA Unimed tahun 2006 ditemukan bahwa kekerasan yang dilakukan manajemen sekolah antara lain membuat program pendidikan yang mengabaikan hak-hak anak dengan dalih untuk meningkatkan mutu lulusan. Misalnya anak dipaksakan berada di sekolah sejak pukul 07.00 sampai 16.00 untuk mengikuti berbagai program tanpa didukung fasilitas yang lengkap termasuk tempat istirahat. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehubungan dengan di atas, Rafdinal (Waspada, 2 Januari 2008) tidak setuju lembaga sekolah dijadikan sebagai tempat melakukan tindakan kekerasan, dan manajemen sekolah tidak boleh membiarkan terjadi tindakan kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan rusaknya SDM guru, SDA sekolah, model pembelajaran, karakter dan budaya siswa
Di sisi lain, peserta didik yang mengalami tindakan kekerasan dari gurunya juga telah dialami siswa di kota Medan. Bagas (10 tahun) telah mengalami tindakan kekerasan dari gurunya berupa cubitan yang mengakibatkan dadanya memar; demikian juga Rajiman Harahap (16 tahun) mengalami mata bengkak dan biram akibat ditonjok oleh guru olahraganya (Pos Metro, 8 September 2007). Kedua peserta didik tersebut bersama keluarganya telah mengadukan guru mereka ke polisi.
Usaha untuk menciptakan sekolah ramah anak telah dilakukan penulis sejak tahun 2007 bekerjasama dengan Dinas pendidikan NAD dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Kegiatan yang dilakukan di Montasik (Kabupaten Aceh Besar) dan Tangse (Kabupaten Pidie) dimulai dengan membuat perencanaan strategis sekolah, pelatihan guru tentang pembelajaran inklusif dan menyenangkan, penataan lingkungan sekolah, sampai program dari anak untuk anak (child to child program) dalam bidang seni, budaya, musik, keterampilan. Child to child program dilakukan dengan orientasi dan konsultasi dengan guru, pendidik sebaya (siswa), merencanakan dan menilai situasi bersama anak-anak, merencanakan dan mengembangkan program bersama anak yang dibimbing oleh guru. Hasil yang diperoleh adalah keharmonisan antara guru dengan peserta didik, antara sesama peserta didik dan peserta didik senang mengikuti pelajaran.
Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk, dan jumlah tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat tinggi. Pada awal 2006, temuan penelitian mengenai kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara menunjukkan, tindak kekerasan di sekolah melibatkan kekerasan fisik dan mental. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid. Semua bentuk hukuman ini mempermalukan dan merendahkan harga diri dan kemampuan anak dan banyak kekerasan terhadap anak yang bersifat tersembunyi dan sering disetujui secara sosial (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006). Dengan demikian, sudah saatnya dilakukan praktek pendidikan yang menyenangkan guna menghindari terjadinya tindakan kekeran terhadap anak di sekolah.

C. Pentingnya Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Minimnya partisipasi dan keterlibatan anak dalam setiap aspek kehidupan menunjukan bahwa kita belum dapat memberikan dan menghormati hak-hak mereka. Dalam proses bernegara, bermasyarakat, dan dalam dunia pendidikan terdapat sistem, struktur, dan mekanisme yang merupakan cerminan dari ideologi dan keyakinan di kalangan ’orang dewasa’ yang menolak partisipasi anak dalam kehidupan sosial, politik dan budaya, karena mereka dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses dalam negara, masyarakat, bahkan dalam penyelenggaraan sekolah di mana secara langsung mereka terlibat di dalamnya (Faqih, 2002). Banyak organisasi negara, masyarakat, sekolah maupun rumah tangga yang menolak untuk mendengarkan anak-anak ketika mereka hendak menetapkan kebijakan yang menyangkut kehidupan anak-anak (Zainani, 2007).
Hari Anak Indonesia (HAI) yang diperingati setiap tanggal 23 Juli kiranya dapat dijadikan momentum untuk merefleksikan kembali tentang anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Namun, kondisi anak Indonesia sampai saat ini sangat memprihatinkan, karena masih banyak anak Indonesia yang hidup tanpa hak dan perlindungan yang layak..
Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak, 2005), melaporkan bahwa dalam tiga tahun (2004-2006) terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Sementara itu, tempat terjadinya tindak kekerasan paling banyak adalah di lingkungan sosial 35,03 %, rumah tangga 32,70 %, dan sekolah 32,27 %. Ini berarti bahwa hampir sepertiga kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan sekolah. Data tentang tiga bentuk kekerasan terhadap anak dapat dilihat pada Tabel 1. Bentuk kekerasan yang paling tinggi peningkatannya adalah adalah kekerasan psihis. Berdasarkan tabel tersebut diketahui pula bahwa setiap tahun terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak lebih dari 50 % (66,89 % dari 2004 ke 2005; dan 52,72 % dari 2005 ke 2006).

Tabel 1.Bentuk dan Jumlah Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia
No Bentuk Kekerasan 2004 2005 2006
1 Kekerasan Fisik 140 233 247
2 Kekerasan Psikhis 80 176 451
3 Kekerasan Seksual 221 327 426
Total 441 736 1.124
Sumber: 1. Pusat Data & Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (2005).
2. Rifah Zainani, ”Potret Buram Anak Indonesia”, Tempo, 24 Juli 2007.

Bentuk kekerasan pada anak dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua sendiri, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketidaksengajaan, kecelakaan, maupun kesengajaan yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental maupun kematian (Gharini, 2004).
Kekerasan terhadap anak (fisik, psikhis, dan seksual) dapat membawa dampak yang permanen bagi anak. Oleh karena itu, upaya mencegah dan menanggulanginya perlu dilaksanakan dengan segera. Secara yuridis formal, perintah melindungi anak-anak dari kekerasan sudah diamanatkan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak; bahkan, pasal 28B ayat 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sekolah seyogianya berfungsi sebagai lembaga pendidikan untuk mendidik anak agar memiliki budi pekerti yang baik serta tumbuh sehat secara mental-spiritual, akan tetapi sekolah juga memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap praktek kekerasan, terutama dalam penegakan disiplin. Guru kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak dengan dalih disiplin. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Kekerasan kepada anak sering "dibungkus" dengan alasan budaya. Misalnya, "anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin." Dalam pandangan sebagian besar guru, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan dapat mengubah perilaku dan prestasi anak menjadi lebih baik. Padahal, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan, justru merupakan bentuk tindakan yang tidak terdidik. Ini merupakan bukti bahwa banyak guru yang tidak memahami batasan kekerasan terhadap anak.
Kekerasan di sekolah yang marak terjadi seringkali dibenarkan oleh masyarakat bahkan orang tua peserta didik karena tindak kekerasan tersebut merupakan bagian dari proses mendidik anak. Padahal, hukuman apapun bentuknya bagi peserta didik, dalam jangka pendek, akan mempengaruhi konsentrasi, persepsi dan perilakunya, hingga tidak tertutup kemungkinan anak menjadi malas belajar, malas sekolah, tinggal kelas atau berhenti sekolah. Secara psikologis, hukuman di lembaga pendidikan dapat menyebabkan anak menjadi trauma atau antipati terhadap sekolah (Syamsuarni, 2004).
Kekerasan merupakan praktek pola asuh authoritarian. Pendidik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku anak sesuai dengan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Pendidik seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa untuk mengekang ‘kehendak diri’ anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan dirinya. Dampak pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, emosional, suka mengganggu, permusuhan secara pasif , menggunakan tipu daya, stres, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, dan tidak terarah (Ire, 2005).
Mengingat masih banyaknya terjadi kekerasan terhadap peserta didik, maka diperlukan pendekatan baru, yakni perlu menempuh pendekatan kelembutan, baik untuk menghindari maupun untuk mengurangi tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Salah satu tempat berlangsungnya pendekatan kelembutan terhadap anak-anak adalah sekolah. Oleh karena itu, sudah waktunya dikembangkan apa yang disebut dengan model manajemen sekolah ramah anak (MESRA). Kunci utama pembuka kemungkinan dilaksanakannya MESRA harus dimulai dari perubahan manajemen sekolah, yaitu manajemen yang selalu mendayagunakan segala potensi/sumberdaya yang ada untuk kepentingan terbaik anak (peserta didik), non diskriminasi, perkembangan anak, menghargai pendapat anak, terutama dalam manajemen pembelajaran dan manajemen pelayanan peserta didik. Dengan menerapkan manajemen sekolah ramah anak, diyakini bahwa kekerasan terhadap peserta didik akan berkurang dengan signifikan.

D. Tipe Kekerasan Terhadap Anak
Johan Galtung (2003) membagi kekerasan menjadi tiga tipe yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah suatu kekerasan yang bersifat permanen. Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi bagi kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Strata berikutnya, kekerasan struktural berupa ritme-ritme kekerasan yang melokal dan merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya, kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap yang lain.
Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan struktural atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya, kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan (Fisher, 2001).
Pengalaman di banyak negara, menunjukkan bahwa kekerasan di dalam masyarakat lahir dari pengabaian-pengabaian terhadap sense of justice (Sihombing, 2005). Kekerasan dengan segala manifestasinya tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan serangan terhadap martabat manusia. Pasal 5 Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Kemudian sebangun dengan ketentuan pasal ini, pasal 7 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Dalam konsepsi hukum internasional kekerasan langsung merupakan tanggung jawab individu (individual responsibility), dalam arti individu yang melakukan tindakan kekerasan akan mendapatkan hukuman (punishment) menurut ketentuan hukum pidana. Di sisi lain, kekerasan struktural dan kekerasan kultural merupakan bentuk tanggung jawab negara (state responsibility), tanggung jawab negaralah mengimplemetasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan/ administrasi, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Dalam konteks kekerasan terhadap anak, kekerasan dapat terjadi baik di ruang privat maupun di ruang publik, dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan emosional dengan anak, bahkan hubungan darah. Kekerasan juga dipraktekkan oleh institusi negara melalui agen-agennya. Kekerasan merupakan salah satu bentuk kontes kekuasaan orang dewasa terhadap anak yang dimaksudkan agar anak merasa takut dan tunduk pada kemauan atau aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Kekerasan juga digunakan sebagai alat disiplin dan penghukuman di banyak institusi termasuk keluarga dan sekolah; bahkan, kekerasan telah dengan sengaja digunakan oleh aparat negara sebagai alat untuk memperoleh keterangan atau pengakuan dari seorang tersangka anak pada saat penyidikan (Arna, 2005).
Secara yuridis perlindungan terhadap martabat anak telah dijamin dalam Konvensi International tentang Hak-Hak Anak, Pasal 19: bahwa negara peserta Konvensi harus melindungi anak dari segala bentuk kekerasan baik fisik maupun mental selama mereka berada dalam kuasa orang tua atau pihak lain. Ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia, harus menggunakan seluruh sumber daya politik, ekonomi dan sosialnya untuk melindungi anak-anak dari segala tindakan kekerasan fisik dan mental karena kekerasan adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi dan martabat anak.
Hasil Konsultasi tentang Kekerasan Terhadap Anak tahun 2005 diikuti kurang lebih 500 anak Indonesia. Dalam konsultasi tersebut anak-anak memberikan konfirmasi bahwa mereka semua pernah mengalami kekerasan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pengalaman mereka adalah pengalaman yang sangat buruk karena susah untuk dilupakan. Luka yang menggores di tubuh dan hati anak-anak tak mudah di pulihkan, karena penderitaan yang di akibatkan oleh kekerasan tidak terbatas rasanya. Rasa malu, marah, sedih, sakit, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu hingga menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan (Arna, 2005). Beratnya beban psikologis yang dirasakan anak akibat tindakan kekerasan dapat membuat mereka bertindak nekat, misalnya mencoba bunuh diri dengan membakar diri atau menggantung diri.
Kekerasan, selain terjadi di rumah, juga terjadi di sekolah; dan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak. Kekerasan dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah umum maupun pesantren. Berbagai bentuk kekerasan fisik seperti dilempar dengan penghapus papan tulis, dipukul dengan mistar, distrap di depan kelas, dan dijemur di lapangan, sering dialami anak-anak di sekolah. Hukuman fisik masih menjadi alat untuk mendisiplinkan murid di sekolah; mulai dari disuruh push up, lari mengelilingi lapangan, hingga pemukulan. Sekolah juga menjadi ajang praktek kekerasan seksual yang dilakukan oleh murid laki-laki kepada murid perempuan, guru terhadap murid perempuan (Arna, 2005). Kekerasan non fisik misalnya diintimidasi, dilecehkan, dimarahi, dipermalukan, dan sebagainya.

E. Kekerasan dalam Pendidikan dan Solusinya
Dilihat dari kacamata waktu dan strata kehidupan, pendidikan mengandung nuansa kebertingkatan. Di satu sisi, pendidikan memiliki proses pentahapan. Di sisi lain, pendidikan mengenal perbedaan status; dan dalam kenyataan, pendidikan amat rentan terhadap kekerasan. Oleh karena itu, pentahapan waktu dan perbedaan status harus dikelola dengan baik, agar pendidikan menjadi sarana pemberdayaan, dan tidak melindas nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan (Wahono, 2003).
Bentuk-bentuk kekerasan dalam pendidikan, sebagaimana tesis Galtung terjadi melalui praktik-praktik dan pelaku yang berbeda ditinjau dari segi ekonomi-sosial dan segi teknologi-manajerial. Dari segi ekonomi-sosial, yang dimaksudkan dengan bangunan pendidikan adalah segala unsur yang membentuk pendidikan, kecuali pelaku utama pendidik dan peserta didik, unsur-unsur itu antara lain adalah pendekatan, sistem, dan metode pendidikan. Tinjauan teknologi-manajerial membedakan bangunan pendidikan ke dalam 3 unsur: kerangka, pranata, dan kurikulum. Jika tinjauan teknologi-manajerial melihat ketiga unsur tersebut secara terpisah, maka tinjauan ekonomi-sosial melihatnya sebagai unsur yang saling berkaitan (Wahono, 2003).
Unsur-unsur pokok bangunan pendidikan, adalah pendidik dan peserta didik, kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. Apabila pendekatan Galtung dijadikan pisau analisis maka kekerasan langsung terjadi pada unsur pelaku utama pendidikan, bersifat horisontal, individu dengan individu. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi dalam kerangka pendidikan,, pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan, bersifat vertikal, karena melibatkan negara melalui aparat, institusi, dan kebijakan. Keterkaitan antar unsur bangunan pendidikan (Gambar 1) menggambarkan bahwa selama ini bangunan pendidikan cenderung ikut memperlancar praktik-praktik kekerasan. Peserta didik menjadi titik pertemuan antara dua bagian. Bagian atas dari diagram, melukiskan keadaan bangunan pendidikan masa kini, dan bagian bawah dari diagram menggambarkan keadaan bangunan pendidikan masa yang akan datang (Wahono, 2003).
Diagram bagian atas secara simbolik mengambarkan bahwa peserta didik berada pada strata paling bawah. Peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan; sementara pendidik dalam berhubungan dengan peserta didik, enggan melakukan secara langsung tetapi bersembunyi dibalik kurikulum. Dari tinjauan ekonomi-sosial, pola ini disebut pendekatan top down, dari atas ke bawah. Asumsi yang digunakan adalah pendidik pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai. Sistem pendidikan yang cocok dengan pendekatan ini adalah sistem pendidikan militer, disiplin seragam, disiplin perintah. Konsekuensinya, metode pendidikan yang dipakai adalah metode anjing; anjing dididik oleh tuannya dengan sistem reward dan punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk pada tuannya. Pendekatan ini telah menjadikan lembaga pendidikan sebagai penghantar kekerasan.

Pada bagian bawah dari diagram, unsur peserta didik diusung di atas dan menjadi pusat kegiatan pendidikan (bottom up approach). Unsur kurikulum tidak langsung mendikte peserta didik, tetapi melalui proses dan penjiwaan pendidik. Pendidik menjadi ujung tombak langsung pendidikan. Pendekatan ini tidak menjadikan kerangka, pranata pendidikan, penyelenggara pendidikan sebagai penentu pendekatan, sistem, dan metode pendidikan; melainkan dibangun berdasarkan kebutuhan peserta didik. Sistem ini mempertemukan peserta didik dengan pendidik secara langsung. Pendidikan ini dinamakan pendidikan sistem petani; petani menghadapi dan memperlakukan tanamannya sesuai dengan konteks kehidupannya di alam. Konsekuensinya metode pendidikan yang digunakan disebut pendidikan metode ayam. Induk ayam tidak pernah mendikte anak ayam agar setia, tetapi induk ayam ingin mendewasakan dan memandirikan anak-anaknya. Pendekatan ini diyakini mampu menciptakan pendidikan di sekolah tanpa kekerasan. Pendidikan harus mampu memberdayakan dan memperkaya peserta didik, dan menjauh dari kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia (Wahono, 2003).
Berbagai tindakan yang dilakukan berupa pemukulan, penghinaan, pengucilan, yang dilakukan kepada peserta didik selalu ada rasionalisasinya, misalnya untuk pendisiplinan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa anak-anak sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan penghukuman fisik sebagai proses pembelajaran dalam hidupnya. Anggapan ini mencerminkan adanya relasi yang dominatif antara orang dewasa dan anak yang pada gilirannya salah satu pihak dapat memamerkan kekuasaannya kepada peserta didik yang dianggap lebih lemah. Fenomena tersebut mendeskripsikan bahwa kekerasan kultural dan kekerasan struktural merupakan akar dari kekerasan langsung.
Dalam konteks praktik sistem pendidikan, meminjam analisis Francis Wahono, peserta didik berada pada strata paling bawah. Peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan. Sistem pendidikan ini menganut “banking concept of education.”. Peserta didik dalam proses pendidikan model bank yang dipraktikkan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontoh para guru. Praktek pendidikan seperti itu, tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan (Faqih, dkk, 2000). Kondisi demikian menempatkan peserta didik benar-benar berada di bawah kendali sekolah, pendidik berada dalam posisi lebih tahu dan mengerti.. Kekerasan diawali dari sini karena pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para peserta didik (Prasetyo, 2004). Kekerasan di lingkungan dunia pendidikan memang berkaitan erat dengan sistem klasifikasi materi pembelajaran yang berdampingan dengan metode pembelajaran bergaya bank.
Kekerasan yang dilakukan guru dapat berbentuk kekerasan fisik dan psikis langsung, berupa kata-kata kasar, makian, ancaman dan labelling. Kata-kata kasar dan makian terhadap siswa sering dilakukan guru, dan guru menganggap tindakannya tersebut bukan sebagai tindak kekerasan. Label negatif juga diberikan guru kepada siswa, misalnya si bodoh, si gaboh (gagah tapi bodoh). Kekerasan lain yang dilakukan guru adalah memberikan tugas berlebihan, dan perlakuan diskriminatif (memberikan “perhatian lebih” terhadap siswa dari kelompok beruntung, misalnya pintar, berpunya).
Kekerasan yang dilakukan siswa, misalnya: mengintimidasi, memukul, memalak atau mengompas yang sering dilakukan siswa yang lebih tinggi usianya atau tingkatan kelasnya. Siswa yang dipalak/dikompas, biasanya tidak berani melaporkan kepada guru/orangtuanya karena ancaman pelaku. Tindakan kekerasan seperti ini disebut bullying yaitu bentuk-bentuk perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat (http:www.anakku.net, 15 Nopember 2007).
Anak-anak pelaku bulllying cenderung memiliki kepribadian antisosial, kriminal, dan suka sewenang-wenang saat mereka dewasa. Di lain pihak, anak kerap menjadi korban bullying akan tumbuh menjadi orang yang mudah cemas. Dampak langsung dari bullying pada anak antara lain sulit konsentrasi, mudah gugup, takut, dan tak bisa atau sulit bicara. Anak yang menjadi korban bullying atau tindakan kkerasan fisik atau psikologis di skolah akan mengalami trauma besar dan depresi yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan mental di masa datang (Kompas, 15 Nopember 2007).
Untuk menghindari berbagai tindakan tindakan kekerasan di sekolah diperlukan pola pendidikan yang mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, meletakkan konsep pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan,dan membangkitkan kesadaran kritis murid terhadap ketidakadilan. Dengan demikian, praktik pendidikan di sekolah sudah saatnya dikelola dengan menggunakan model manajemen sekolah ramah anak (MeSRA), agar tindakan kekerasan terhadap anak dapat dihindari dan potensi mereka dapat dikembangkan secara optimal.

5.1.3. Model Manajemen Sekolah Ramah Anak
Model adalah gambaran yang ditimbulkan dari kenyataan yang mempunyai susunan dan urutan tertentu. Model dapat digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dari berbagai sumber dan dipakai sebagai stimulus untuk mengembangkan hipotesis dan membangun teori ke dalam keadaan kongkrit untuk menerapkannya pada praktik atau menguji teori.
Manajemen sekolah adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan sekolah melalui fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Perencanaan merupakan kegiatan menetapkan tujuan yang akan dicapai dan cara-cara mencapainya. Pengorganisasian merupakan tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kegiatan yang efektif antar orang-orang sehingga mereka dapat bekerja secara efisien. Pelaksanaan merupakan usaha menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai sasaran; sedangkan pengawasan merupakan tindakan mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana (Handoko, 1995). Keseluruhan fungsi manajemen tersebut diarahkan pada kesuksesan pelayanan sekolah seperti pelayanan peserta didik, kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, dan tenaga kependidikan.
Model bangunan pendidikan yang dikemukakan oleh Francis Wahono di atas dengan menggunakan sistem petani dan metode ayam adalah salah satu alternatif dalam membangun manajemen sekolah ramah anak. Dalam hal ini, peneliti akan menggunakan konsep tersebut dengan memfokuskan pada: (1) sikap terhadap siswa, (2) metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan menyenangkan, (3) pengelolaan kelas yang kondusif, (4) lingkungan yang sehat, (5) bebas kekerasan, (6) peran orangtua dan masyarakat, serta (7) langkah-langkah yang diusulkan oleh Rudolf Dreikurs (Taruna, 2007). Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju Sekolah Ramah Anak, yaitu: (a) menjadikan guru sebagai pembimbing kelas/mata pelajaran; (b) mengutamakan keramahtamahan/kelembutan suara; (c) memperbanyak ajakan dari pada perintah, (d) mengindari hal-hal yang menekan peserta didik, (e) memberi motivasi dan stimulasi, (f) menjauhkan sikap guru yang ingin "menguasai" siswa diganti dengan membangun keberanian/kepercayaan diri peserta didik; (g) menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan peserta didik, dan mengakui prestasi sekecil apa pun; (h) mengganti kata-kata guru, "Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”, dengan "Saya anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga"; (i) melibatkan peserta didik menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun peserta didik; dan (j) melibatkan pihak orangtua (stakeholder pendidikan) dalam memfasilitasi hal-hal yang bermanfaat kepada sekolah.
Singkatnya, MeSRA (manajemen sekolah ramah anak) merupakan komplemen dari manajemen berbasis sekolah. Dengan menerapkan MeSRA, diharapkan sekolah bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak-anak, baik fisik maupun non fisik, oleh siapa pun. Sekolah adalah wadah untuk mencapai harapan dan cita-cita sehingga sekolah seharusnya menjadi sahabat yang selalu dicintai dan disenangi, serta sekolah tidak semena-mena membuat peraturan yang mengekang kebebasan berpikir.



KESIMPULAN
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi di berbagai tempat, seperti di rumah tangga, lingkungan sosial, dan sekolah. Anak usia di bawah 18 tahun perlu dilindungi agar terhindar dari berbagai tindakan kekerasan, baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun kelompok. Untuk menghindari berbagai tindakan tindakan kekerasan di sekolah diperlukan pola pendidikan yang mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, meletakkan konsep pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan, dan membangkitkan kesadaran kritis murid terhadap ketidakadilan.
Praktik pendidikan di sekolah sudah saatnya dikelola dengan menggunakan model manajemen sekolah ramah anak (MeSRA), agar tindakan kekerasan terhadap anak dapat dihindari dan potensi mereka dapat dikembangkan secara optimal. Model adalah gambaran yang ditimbulkan dari kenyataan yang mempunyai susunan dan urutan tertentu. Model dapat digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dari berbagai sumber dan dipakai sebagai stimulus untuk mengembangkan hipotesis dan membangun teori ke dalam keadaan kongkrit.
Model pendidikan yang dikemukakan oleh Francis Wahono dengan menggunakan sistem petani dan metode ayam adalah salah satu alternatif dalam membangun manajemen sekolah ramah anak yang difokuskan pada: (1) sikap terhadap siswa, (2) metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan menyenangkan, (3) pengelolaan kelas yang kondusif, (4) lingkungan yang sehat, (5) bebas dari kekerasan, dan(6) optimalisasi peran orangtua dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Arna, Antarini, 2005. Analisis Hasil Konsultasi Anak Regional dan Nasional: Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta: YPHA.

Damanik, Sulaiman Zuhdi, 2008. Sekolah Ramah Anak. Banda Aceh: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.

Faqih, Mansour, dkk., 2000.Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: REaD Book.

Faqih, Mansour, 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Jakarta:INFID.

Fisher, Simon, et.al, 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta, The British Council.

Galtung, Johan, 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka.

“Guru Dipolisikan Karena Cubit Siswa”, dalam Pos Metro, 8 September 2007.
Handoko, T. Hani, 1995. Manajemen, Yogyakarta: BPFE.

Ire, John Th. Anakmu Bukanlah Anakmu, www.indomedia.com/poskup/2005/ 11/09 /edisi11pm1.html.

Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2005. Refleksi Akhir Tahun 2005: Hentikan Kekerasan Terhadap Anak, Sekarang dan Selamanya, (Jakarta: Komnas, PA).

“Kekerasan Terhadap Anak Di Sekolah Cukup Tinggi”, Waspada, 2 Januari 2008.

“Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak”, terjemahan, PBB, 2001.

Prasetyo, Eko, 2004.Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Insist Press

Syamsuarni, ”Hukuman di Sekolah dan Hak Anak Atas Pendidikan”, dalam Kalingga, Edisi Maret-April 2004 (Medan: PKPA).

Sihombing, Justin, 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Marjinal, Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Taruna, J. Tukiman, ”Sekolah Ramah Anak”, Kompas, 29 Nopember 2007.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Wahono, Francis, 2003. “Kekerasan Dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Sosial Ekonomi Didaktika”, dalam Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.

YPHA, 2006. Draft Position Paper tentang Kekerasan Anak di Institusi Pendidikan. Jakarta: YPHA.

Zainani, Rifah, ”Potret Buram Anak Indonesia”, Tempo, 24 Juli 2007.

Gharini, Putrika P. R., ”Kekerasan Pada Anak Ditinjau Dari Aspek Medis”, Makalah disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3,dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama, Dunia Maya, 13-19 September 2004.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, PBB: Angka Kekerasan Anak di Indonesia Tinggi, http://www.menegpp.go.id/menegpp.php? cat=detail&id =media&dat=495, diakses 19 Desember 2007.

”Bullying: Kekerasan Terselubung di Sekolah”, http://www. anakku.net
”Bullying Sebabkan Gangguan Mental Pada Anak”, Kompas, 15 Nopember 2007.