Selasa, 09 Maret 2010

MENGUSIR BOSAN PARA SISWA JENIUS

Anak-anak jenius memiliki kemampuan di atas rata-rata anak-anak seusia mereka. Karena itu, mereka membutuhkan perlakuan khusus agar kejeniusannya bisa dioptimalkan. Ainan Cawley, bocah jenius berusia sembilan tahun, sempat membuat Singapura dan Malaysia bersitegang beberapa pekan lalu. Kedua negara bertetangga itu saling memperebutkan Ainan yang dianggap sebagai aset berharga karena kejeniusannya. Ainan yang warga negara Singapura itu kini menempuh studi di Universitas Help, Malaysia. Di usianya yang terbilang belia, Ainan telah menguasai bidang studi kimia yang lazimnya diberikan kepada mahasiswa tingkat perguruan tinggi.

Dia bahkan tengah merancang mobil olah raga berkecepatan tinggi. Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia juga ada anak-anak jenius seperti Ainan. March Boedihardjo, contohnya, bocah berusia sembilan tahun itu kini tengah kuliah di Hong Kong’s Baptist University (HKBU). Anak-anak berotak encer itu memang memiliki kemampuan di atas rata-rata anak-anak seusia mereka.

Karena kemampuannya yang super itu pula anak-anak jenius kerap merasa bosan jika harus mempelajari hal-hal yang sama dengan anak-anak seusia mereka. Tidak heran jika akhirnya mereka memilih menempuh studi di perguruan tinggi, bukan di sekolah dasar atau sekolah menengah yang sesuai dengan usia mereka. Demi mengakomodasikan kebutuhan anak-anak jenius dan berkemampuan khusus itu, baru-baru ini Singapura merancang pola pendidikan khusus.

Dalam pandangan Yohanes Surya, pendiri Surya Institut dan pembimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), anak-anak berkemampuan khusus memang memerlukan penanganan khusus. Tujuannya, agar kemampuan anak-anak itu terus berkembang maksimal. Memaksimalkan Potensi Umumnya, kata Yohanes, cara berpikir anak-anak jenius atau anak-anak super itu lebih jauh dari apa yang dipikirkan anak-anak umumnya. Alhasil, jika tidak ditampung di sekolah khusus, dikhawatirkan mereka akan merasa bosan dengan materi atau ilmu yang diberikan. “Hal tersebut justru bisa menghambat perkembangan anak-anak jenius untuk menggali dan memaksimalkan potensi yang mereka miliki,” kata Yohanes.

Lebih lanjut, Yohanes menyatakan anak-anak yang memiliki kemampuan super di bidang sains biasanya mampu mengerjakan soal-soal fisika atau matematika selama berjam-jam. Dengan kemampuan tersebut, apabila mereka “dipaksa” belajar di sekolah umum hal itu membuat mereka merasa terganggu. Selain terganggu dari sisi waktu yang terbatas juga dari materi pelajaran yang tidak sepadan dengan kemampuan mereka. Tidak hanya itu, konsentrasi mereka juga akan terpecah apabila harus mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang lazim diajarkan di sekolahsekolah umum.

Betsy Eliane, ibunda Christa Lorenzia Soesanto, pemenang medali emas dalam Thailand Elementary Mathematic International Competition di Chiangmai, Thailand, mengatakan keberadaan kelas-kelas khusus bagi anak-anak jenius dinilainya dapat memaksimalkan potensi anak-anak itu. Selain itu, anak-anak juga menjadi lebih fokus karena tidak terlalu dibebankan dengan mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. “Bagi Christa, sejarah sebenarnya juga bisa dibuatkan matriknya sehingga bisa lebih gampang dipelajari,” katanya.

Sebagai orang tua dari anak jenius, Betsy mengaku sering mendapatkan keluhan dari putrinya. Christa sering merasa jenuh menghadapi cara belajar mengajar yang diberikan guru sekolah yang dinilainya bertele-tele. “Kalau sudah begitu, saya menyarankan agar Christa mengikuti lomba. Karena jalurnya harus dari sekolah, jadi mau tidak mau dia harus tetap bersekolah,” katanya. Dalam kacamata Yohanes, keberadaan sekolah-sekolah super untuk anak-anak jenius itu sangat diperlukan.

Peranan sekolahsekolah tersebut bukan hanya untuk memaksimalkan kemampuan anak-anak jenius, melainkan juga untuk menggali potensi anakanak berkemampuan super yang berpeluang menjadi ilmuwanilmuwan andal atau berprestasi tinggi di bidang keahlian mereka. Menurut dia, sebenarnya tidak ada anak Indonesia yang bodoh. Yohanes memaparkan bukti, ketika menangani beberapa anak asal Papua, dirinya mendapati dua dari lima anak itu tergolong sebagai anak jenius.

“Bisa jadi mutiara itu tidak akan ditemukan kalau mereka tetap berada di sekolah-sekolah asal mereka.” Di Indonesia, sekolah-sekolah yang khusus menampung anakanak jenius jumlahnya memang masih sedikit. Kalaupun ada, sifatnya bukan sekolah khusus melainkan kelas khusus. Di Jakarta, misalnya SMA Husni Tamrin, SMA BPK Penabur, dan SMA Negeri 3 telah menyediakan kelas-kelas super.

Siswa-siswi yang belajar di kelas-kelas super itu, papar Yohanes, diharapkan nantinya bisa melanjutkan studi di universitas-universitas top di dunia dan menjadi murid para ilmuwan hebat peraih Nobel.

Apabila dibandingkan antara jumlah kelas-kelas super dengan anak-anak jenius yang ada di Indonesia, kondisinya masih belum ideal. Menurut Yohanes, idealnya kelas-kelas super itu diadakan mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) dan tersebar di semua provinsi. Dengan demikian, makin banyak siswa-siswi jenius yang mendapatkan pengajaran yang sepadan dengan kemampuan mereka.

Alhasil, Indonesia akan kebanjiran ilmuwan-ilmuwan andal pada masa depan. “Untuk menjadi negara maju pada 2030, setidaknya diperlukan 30 ribu ilmuwan yang menguasai sains dan teknologi,” papar Yohanes. Angka itu merujuk pada kemajuan yang dialami China. Negeri Tirai Bambu itu menargetkan dalam waktu 20 tahun setidaknya ada 30 ribu ilmuwan yang dihasilkan. Dalam perhitungan Yohanes, idealnya Indonesia bisa menghasilkan 3 ribu ilmuwan per tahun dan masing-masing provinsi “menyumbang” 100 ilmuwan. “Katakanlah 100 orang itu sama dengan satu kelas.” Selain mengakomodasikan kepintaran otak anak-anak jenius itu dengan menyediakan kelaskelas khusus, hal lain yang juga harus diperhatikan ialah pemenuhan kebutuhan psikologis mereka.

Pasalnya, walau bagaimanapun jiwa mereka masih anak-anak yang belum memiliki kematangan psikologis. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang bisa menyalurkan kemampuan otak anak-anak super itu sekaligus juga mengakomodasi kebutuhan mereka sebagai anak-anak. Yohanes mengatakan sembari menunggu hasil pembahasan mengenai metode penanganan yang paling tepat bagi anak-anak jenius itu, saat ini diterapkan program yang menyeimbangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan mereka. Anak-anak itu, kata Yohanes, diberi kebebasan untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan seni, baik seni musik, seni lukis, atau belajar mengapresiasi karya-karya seni.
nik/L-2

sumber://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=44800/Rabu, 10 Februari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar