Kamis, 12 Agustus 2010

Nestapa Sekolah Swasta

Oleh Sidharta Susila
Dulu, sekolah swasta pernah jadi idola. Banyak calon guru berusaha. Waktu itu gaji guru di sejumlah sekolah swasta lebih tinggi ketimbang sekolah negeri. Situasi hari-hari ini tak lagi begitu. Gaji guru sekolah negeri jauh lebih tinggi. Menjadi guru sekolah negeri lebih dirindukan. Apa dampaknya bagi sekolah swasta? Siapa yang pada akhirnya paling dirugikan? Apa yang harus kita sikapi dan lakukan?
Waspadai gajimu. Penulis tak pernah lupa dengan pesan saat menerima honor menulis dari suatu majalah. Pada surat wesel tertulis, "Kontrakreasi artikel Anda pada edisi...". Berulang-ulang penulis merenungkan pernyataan itu. Mengapa honor (baca: gaji) itu justru disebut kontrakreasi? Tidakkah semua kreasi (baca: kerja) pantas mendapat imbalannya?
Hari-hari ini penulis makin sadar makna pernyataan itu. Honor atau gaji ternyata memang bisa menjadi kontra kreativitas. Ketika gaji menjadi pertimbangan utama, seseorang bisa menjadi pengabdi uang (gaji atau honor). Pola ini berbalikan dengan prinsip hidup efektif yang mengedepankan kerja serta kreativitas.
Ketika gaji menjadi target utama, kreasi dan kualitas kerja cenderung dikemudiankan. Dalam dunia pendidikan, kualitas mengajar menjadi setengah hati. Paling tidak guru selalu mempunyai alasan untuk tidak optimal dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Tentang ini kita ingat kisah angsa emas dalam buku Seven Habits-nya Steven Covey. Guru yang begitu terpusat pada gaji dan honor adalah perwujudan sikap petani miskin yang lebih memilih mendulang telur emas sehabis-habisnya ketimbang merawat si angsa yang menghasilkan telur emas. Guru semacam itu terancam pertumbuhan karakternya. Itulah guru yang miskin sejati.
Kalau demikian, gaji atau honor memang bisa menghambat kerja, kreativitas, dan kualitas. Gaji dan honor bisa mengaburkan pergulatan jati diri guru sebagai sang pendidik. Tak heran kalau kita memang semestinya mewaspadai gaji kita.
Kepayahan sekolah swasta
Ketika gaji guru sekolah negeri kian melambung, banyak sekolah swasta mulai kepayahan. Pundi-pundi sekolah swasta yang salah satunya bergantung pada kesanggupan uang sekolah tak seagung pundi-pundi sekolah negeri yang mengalir dari pajak rakyat. Setiap kali pemerintah mengisyaratkan kenaikan gaji dan tunjangan guru, sesungguhnya itu menjadi genta sekarat sekolah swasta.
Genta itu terus bergaung. Gaungnya menyusupi kesadaran para guru sekolah swasta. Akibatnya, tidak sedikit guru sekolah swasta yang harus berjuang untuk bertahan "mengabdi" di sekolahnya. Sebulan yang lalu, seorang sahabat di Pekanbaru, Riau, kebingungan gara-gara sebagian besar guru di sekolah swasta tempat anaknya belajar memutuskan berhenti mengajar dengan tiba-tiba. Beberapa hari yang lalu beberapa teman kepala sekolah geram bukan kepalang karena beberapa guru muda di sekolahnya tiba-tiba memutuskan berhenti karena tergiur gaji tinggi di sekolah lain. Sekolah swasta praktis telah menjadi batu loncatan sejumlah calon guru.
Pengalaman di atas terjadi di sekolah swasta dengan gaji yang lumayan baik. Murid-murid yang diajar pun tergolong baik, bahkan menyenangkan. Yayasan yang menaungi sekolah swasta itu pun memberi perhatian dan jaminan bagi masa depan guru. Namun, semua itu tak mampu menahan guru-guru itu untuk hengkang.
Dari semua itu, pada akhirnya para muridlah yang menjadi korbannya. Para guru yang "semaunya" hengkang dengan alasan gaji dan janji-janji manis telah mencampakkan proses membangun masa depan sejumlah orang muda di negeri ini. Guru semacam ini tak lagi mampu meloloskan roh pengabdian dan kepedulian demi kehidupan para siswa dari ruang jiwanya.
Pada akhirnya, para guru, khususnya guru swasta, mesti kian sadar akan kondisi ini. Rasanya beban pengelolaan sekolah swasta kian berat. Menaikkan uang sekolah jelas kian mustahil. Belum lagi sejumlah sekolah swasta mulai kekurangan peminat. Dampak akhirnya sumber daya pengelolaan sekolah kian rawan. Bagaimanapun kebermaknaan hidup para guru swasta sebagian digurat dengan menjadi guru.
Pemerintah pun semestinya kian cermat lagi bijak dalam mengambil keputusan. Bagaimanapun tidak sedikit anak bangsa ini yang belajar di sekolah swasta. Ketika kebijakan itu membuat kritis proses penyelenggaraan dan pembelajaran di sekolah swasta, sesungguhnya negara telah mencampakkan masa depan sejumlah warganya.

SIDHARTA SUSILA Guru STM Pangudi Luhur Muntilan

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/07/28/18442024/Nestapa.Sekolah.Swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar