Sabtu, 10 Juli 2010

Tes untuk si Upik dan si Buyung

Minggu, 04 Juli 2010
Pagi itu wajah Yuyun tampak berseri. Bersama anak-anak tetangga lainnya, bocah perempuan berusia enam tahun itu riang memasuki pekarangan SD 03 Cipulir, Jakarta Selatan. Halimah, ibu Yuyun, ikut mendampingi putrinya itu.

Dia membawa berkas-berkas untuk pendaftaran siswa baru, seperti akte kelahiran dan kartu keluarga. Yuyun mau bersekolah.

Namun, kata Halimah, setelah melengkapi berkas-berkas ternyata putrinya diminta untuk mengikuti tes membaca, menulis, dan berhitung.

“Saya kaget kok pakai tes segala, setahu saya dulu-dulu tidak, dan saya pun bingung, karena kebetulan anak saya ini memang belum bisa baca tulis dan berhitung, ya karena belum sekolah (belum pernah masuk TK),” ujarnya.

Karena disyaratkan, Halimah pun pasrah meski dia pesimis anaknya bakal lulus. Dan ternyata benar saja, Yuyun yang diminta membaca tulisan yang tertera di papan tulis nampak kebingungan karena dia memang belum mengenal huruf.

Halimah yang seharihari bekerja sebagai buruh cuci, mengaku tidak pernah mengajarkan putrinya membaca. Begitu pun dengan sang ayah yang bekerja serabutan.

“Karena tidak tega saya pun masuk ke ruangan kelas dan menjelaskan kepada guru yang ada di dalam bahwa anak saya memang belum bisa baca.

Saya jelaskan kepada guru itu bahwa kami orang tidak mampu, jadi tolong dipertimbangkan untuk bisa masuk, tetapi dia hanya menjawab ya nanti ditunggu saja pengumumannya,” ungkap Halimah.

Tiga hari berselang, Halimah kembali datang ke sekolah dan ternyata benar anaknya tidak diterima. Menurut Halimah, selain membaca, Yuyun juga harus mengikuti tes berhitung sederhana serta menulis. Halimah lalu minta kebijaksanaan pihak sekolah agar anaknya diluluskan. Namun, pihak sekolah bergeming.

“Mereka bilang tidak bisa sebab sudah prosedurnya seperti itu,” tutur Halimah pasrah. Pengalaman serupa juga dialami Farida yang mendaftarkan anak ketiganya, Syifa Nuraini ke SD 09 Cipulir, Kebayoran Lama.

Namun, berbeda dengan Yuyun, Syifa yang sebelumnya mengenyam pendidikan taman kanak-kanak, diterima karena dia bisa mengikuti tes yang disyaratkan (membaca, menulis dan berhitung).

“Saya juga baru tahu kalau sekarang masuk SD harus mengikuti tes seperti itu, padahal ketika anak pertama dan kedua saya masuk SD, hanya cukup mendaftar dan membayar uang seragam saja,” ungkap Farida.

Memang tidak semua sekolah memberlakukan tes ini. Di SD Gunung 02 Petang, Kebayoran Baru, misalnya, calon siswa hanya diwajibkan membawa berkas-berkas pendaftaran seperti akte kelahiran dan sebagainya. Begitu pun di SD Pondok Kopi 04 Jakarta Timur.

“Ya, minimal usianya 6 tahun per tanggal 12 Juli,’’ kata Djumiati S.Pd, anggota tim Penerimaan Siswa Baru SD Gunung 02 Petang, Rabu, pekan lalu.

Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, Suyanto, Kemendiknas memang melarang tes atau ujian masuk seperti berhitung dan membaca bagi calon murid sekolah dasar. Sebab, katanya, hal itu memang belum boleh dilakukan.

“Gak boleh itu, itu melanggar Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2010,” katanya saat ditemui di Gedung E Lantai 5 Kemendiknas, Kamis pekan lalu.

Menurutnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pihak se kolah tidak tidak diperkenankan melakukan tes atau ujian masuk.

“Dasarnya adalah umur (minimal 6 tahun), kalau tahunnya sama bedakan jam,” tegas Suyanto. Hal ini, kata dia, berlaku tanpa kecuali baik untuk SD negeri maupun swasta.

Namun, Suyanto tidak bisa menjelaskan apa sanksi yang akan diberikan bila ada sekolah yang melanggar. Sebab, kata dia, itu bukan wewenang Kemendiknas, tetapi pemerintah daerah setempat.

Tes Observasi Berdasarkan penelusuran Koran Jakarta, di beberapa SD negeri maupun swasta juga diberlakukan tes untuk menyaring calon siswa. Mereka umumnya beralasan, lantaran jumlah peminat dan daya tampung sangat tidak sebanding.

Di SD Al Azhar 4 Kebayoran Lama, misalnya, calon siswa yang men daftar harus mengikuti tahap ob servasi. Selain karena peminatnya membeludak, tes ini memang merupakan syarat di sekolah ini.

Memang ben tuknya bukan tes membaca dan berhitung, tapi semacam pengenalan potensi calon siswa tentang keterampilan berpikir, auditori (pengamatan, ingatan), visual (pengamatan, ingat an), sosial emosional dan pe nge tahuan mengenai agama Islam.

“Jadi ini sekali lagi bukan tes,’’ ujar Zainal Arifin S.Pd, Kepala Sekolah Al-Azhar 4 Kebayoran Lama. Menurutnya, dasar dilakukannya observasi ini adalah untuk menyaring siswa apakah memenuhi standar atau tidak untuk Al-Azhar.

Menyaring di sini maksudnya jika nanti jumlah murid yang mendaftar melebihi kuota yang ditetapkan, maka pihak sekolah bakal menentukan berdasarkan nilai observasinya yang terbaik.

Selain itu, kata Zainal, obervasi ini bertujuan mengetahui potensi sang anak. “Jadi untuk melihat anak ini memiliki kemampuan apa, makanya nanti diformulirnya ditulis anak itu pernah punya prestasi apa, kemampuan atau bakat apa, yang nantinya bisa kita maksimalkan.”

Menurut Zainal, materi observasinya antara lain siswa diberikan kertas yang berisikan bentuk gambargambar, lalu diminta menyebutkan atau menunjuk gambar yang dimaksud.

Misalnya, gambar pensil atau bola yang mana. Selain itu, katanya, calon siswa disuruh berjalan di titian untuk observasi keseimbangan. Juga melempar bola.

“Sebetulnya itu materi yang memang sudah ada di Taman Kanak-kanak pada umumnya,” kata Zainal. Menurutnya, yang membuat materi dari pihak sekolah sendiri namun berdasarkan garis besar yang telah ditentukan oleh pihak yayasan Al-Azhar pusat, untuk observasinya diawasi oleh guru-guru.

Dari hasil observasi tersebut, pihak sekolah bakal memberikan nilai antara 1,2,3, misalkan auditori melempar bola, dia tidak bisa melempar sama sekali maka nilainya satu, lalu bisa melempar tetapi tidak masuk nilai nya 2, dan melempar terus masuk itu nilainya 3, “Jadi setiap materi obser vasi ada nilainya yang nanti kita akumulasikan,” ujarnya.

Seperti di Al Azhar, di SD RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) Palembang, juga diberlakukan tes, namun bentuknya berupa psi kotes dan wawancara dengan orang tua dan calon siswa.

Pengamat pendidikan Arief Rachman mengaku bisa memahami jika ada sekolah yang melakukan pemetaan untuk mengetahui potensi calon muridnya.

Misalnya, potensi membaca, menulis dan berhitung. “Tapi, ini bukan tes seleksi. Sekadar memetakan,’’ tegasnya.

Menurut Arief, pada dasarnya sekolah itu semuanya harus mempunyai mutu yang sama, sehingga orang itu tidak milih-milih sekolah. Kalau tidak diterima SD 1, dia bisa ambil di SD 2. Dan seterusnya.

Namun, faktanya tidak semua SD mutunya sama. Akhirnya ada SD Negeri favorit, akhirnya lari ke situ. “Akhirnya, babak belur.

Bagaimana sekolah harus menyeleksi? Lalu dibuat seleksi untuk masuk ke SD,” ujarnya. Kata Arief, secara falsafah siswa yang ingin masuk SD itu bukan tidak boleh dites, tetapi tidak dipersyaratkan untuk tidak bisa sekolah.

Karena itu dia menganjurkan dari masyarakat ada kemauan masuk sekolah mana saja dan tidak pilih-pilih, “Tapi kalau dia mau sekolah yang bermutu yang siswanya membeludak, dia harus mau diseleksi,” tegasnya. Ya, Arief boleh jadi benar.

Di SDN Sidoarum Bantul Jogyakarta misalnya, antara daya tampung dan calon siswa sangatlah timpang, sehingga mereka terpaksa melakukan tes seleksi.

“Jumlah pendaftar mencapai 54 calon siswa, padahal kuota di sekolah ini hanya 36 siswa, itupun dikurangi satu karena terdapat satu siswa yang tidak naik kelas pada tahun ajaran lalu.

Nah, bagaiamana kalau tidak diseleksi, dari 54 calon siswa itu kan semua pingin masuk sini,” kata Kepala Sekolah SDN Sidoarum, Ngadri.
ayyi achmad hidayah/ mochamad ade maulidin/henry agrahadi/eko s putro (yogyakarta)/ noverta salyadi (palembang)
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56401

Tidak ada komentar:

Posting Komentar