Rabu, 14 Juli 2010

Kemendiknas Audit RSBI

Kamis, 15 Juli 2010
Pendidikan Nasional , Banyak Sekolah Unggulan Belum Memenuhi Syarat
JAKARTA – Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terus melakukan audit terhadap sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sepanjang bulan ini. Selain itu, beberapa kriteria yang harus dipenuhi sekolah RSBI juga terus diawasi.

Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Suyanto, untuk menjadi sekolah bertaraf internasional, sekolah negeri harus memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya minimal 10 persen guru untuk tingkat SD harus berjenjang magister (S-2) dan doktoral (S-3), sedangkan untuk SMP harus 20 persen, dan SMA sebesar 30 persen.

Selain itu, menurutnya, juga dengan persyaratan yang harus dimiliki kepala sekolah, minimal berpendidikan S-2 dan mampu berbahasa asing aktif. Sekolah juga harus mendapatkan akreditasi A dari badan standar sekolah terpercaya.

Sarana dan prasarana juga harus lengkap dengan teknologi, informasi, dan komunikasi terdepan. Terkait dengan persyaratan kurikulum, selain menyesuaikan dengan standar nasional juga diperkaya dengan kurikulum negara maju.

Selain itu, RSBI harus mengacu pada sistem bilingual (dua bahasa) serta manajemen sekolah harus berstandar ISO 9001:14000. “Sekolah RSBI juga harus diaudit oleh lembaga independen sehingga transparan dan akuntabel,” papar Suyanto saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/7).

Rumitnya persyaratan yang ada, menurutnya, menyebabkan tidak semua sekolah di Indonesia mampu memiliki status internasional. Namun, sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya Pasal 50 Ayat 3, setiap kabupaten atau kota minimal harus memiliki satu SD, SMP, SMA, dan SMK yang menyandang status RSBI.

Pengamat pendidikan Satria Dharma mengatakan pada dasarnya Dirjen Mandikdasmen membuat rumusan empat model pembinaan SBI tersebut, yakni model sekolah baru (newly developed), model pengembangan pada sekolah yang telah ada (existing school), model terpadu, dan model kemitraan.

Padahal, menurutnya, jika dilihat sebenarnya hanya ada dua model yang dilaksanakan, yakni model sekolah baru dan model sekolah yang telah ada. “Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya,” terang dia.

Dan menurut dia, anehnya, buku panduan penyelenggaraan RSBI yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada model sekolah baru, padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah model pengembangan pada sekolah yang telah ada.

“Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau model,” pungkasnya.

Evaluasi RSBI

Sementara itu, Direktur Pembinaan TK dan SD, Mudjito, mengakui sebagian besar dari total sekitar 200 SD berstatus RSBI belum sepenuhnya memenuhi persyaratan untuk menjadi SBI.

“Sebagian besar memang belum memenuhi syarat, dimaklumi karena namanya juga masih rintisan, tapi yang pasti sudah di atas standar nasional,” kata Mudjito di sela-sela penjemputan tim Olimpiade Primary Mathematics World Contest (PMWC) di Bandara Soekarno Hatta, kemarin.

Dalam evaluasi kali ini Mudjito mengatakan apa pun hasil evaluasi RSBI di jenjang SD, Kemendiknas belum akan memberlakukan sanksi pencabutan status. Sebab, saat ini pelaksanaan RSBI di jenjang SD baru memasuki tahun keempat dalam pelaksanaannya.

Saat ini yang dilakukan Kemendiknas lebih pada pemberdayaan dari sekolah-sekolah tersebut, baik dari sisi tata kelola maupun sumber daya manusia (SDM).

Namun jika setelah lima tahun upaya pemberdayaan tersebut tidak berhasil, baru akan dilakukan tindakan pencabutan. “Tindakan akan diambil kalau pemberdayaan sudah optimal,” terang Mudjito.
cit/N-1

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57291

Tidak ada komentar:

Posting Komentar